Senin, 12 November 2012

Copas Artikel nih

MENCARI DAN MENGHINDARI JABATAN
Oleh : Moh. Safrudin, S.Ag, M.PdI
(Ketua Departemen Gerakan Idiologi dan Agama Gerakan Pemuda Ansor Sultra dan peneliti
Sangia Institute)
Sekarang ini umumnya orang mencari- cari jabatan. Baik itu
di tempat kerja, organisasi sosial masyarakat, jabatan partai
politik, atau jabatan publik lainnya. Sebab status sebagai
pemimpin dianggap banyak mendatangkan keuntungan,
mulai dari yang sifatnya sederhana, misalnya
mengumpulkan kekayaan hingga lainnya seperti popularitas,
prestise, kehormatan, bergening posisi dan lain-lain. Oleh
karena itu, banyak cara dilakukan orang untuk
mendapatkan status itu, mulai dari mencari koneksi,
dukungan, dan bahkan juga membeli suara berapapun
banyaknya orang rela mengeluarkan uang .
di sisi lain Para elite dan anak-anak negeri banyak berburu dan mencari-cari jabatan-jabatan
publik dengan penuh percaya diri. Demokrasi telah mengajarkan secara fasih bagaimana para
elite berebut posisi politik tanpa rasa sungkan, tidak jarang dengan sikap narsis, dan gampang
beriklan diri bahkan lebih banyak balihonya daripada karyanya demi menarik simpati publik.
Demi posisi tinggi, politik uang dan upeti pun menjadi tradisi, yang tidak jarang diperoleh
dengan korupsi. Semuanya seolah serbamudah dan sekadar jalan mobilitas diri seakan tanpa
konsekuensi.
Semoga niat utama meraih posisi-posisi publik yang penting dan strategis itu benar-benar
bermotif mengabdi pada negeri dan mengurus hajat hidup rakyat. Sebagai jalan mewujudkan
cita-cita nasional yang diletakkan oleh para pendiri bangsa ini. Lebih bermakna lagi manakala
menjadi jalan menuju rida Tuhan. Sebab, setiap posisi publik selain dibayar dengan uang rakyat,
seluruhnya memang untuk mengurus hajat hidup orang banyak sehingga negeri ini semakin
maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat.
Alangkah naif manakala jabatan-jabatan publik itu hanya dijadikan lahan mobilitas diri untuk
meraih kuasa, harta, dan kejayaan duniawi. Sejumlah kasus tragis menunjukkan mereka yang
sudah di posisi-posisi publik itu kalau tidak korupsi dan menyalahgunakan kekuasaan, kemudian
pindah posisi, bahkan lompat jabatan baru ke yang lebih tinggi sebelum jabatan lama usai.
Jabatan-jabatan penting itu malah dijadikan "bancakan" untuk bagi-bagi uang dan posisi,
sekaligus memperkaya diri dan kroni. Mereka lupa posisi yang ditempati bukanlah miliknya
sendiri, melainkan sekadar titipan rakyat untuk ditunaikan sebagai amanah terpuji.
Tahun 2014, pasti akan menjadi masa paling krusial di negeri ini. Para menteri dan politisi sudah
bersiap diri 'nampang' posisi hingga iklan diri dengan uang dari kementeriannya. Janji dan
pesona diri tentu akan semakin bertaburan. Para wakil rakyat pun malah giat bangun toilet dan
ruang sidang miliaran rupiah seolah uang negara adalah miliknya sendiri. Rupanya jabatan
bukan lagi amanat yang harus dipertanggungjawabkan secara jujur dan penuh komitmen,
kecuali menjadi sarana bermegah-megah di tengah derita rakyat yang diwakili dalam hidup
miskin dan teraniaya sistem.
Kita tidak tahu persis apa yang bersarang dalam benak pikiran para elite dan anak negeri yang
menempati jabatan-jabatan publik di negeri ini. Bagaimana mereka menjiwai, memahami,
memaknai, dan melaksanakan fungsi jabatan yang diembannya dengan pertanggungjawaban
total. Apa yang mereka cari? Jangan-jangan Max Weber benar ketika mengatakan, profesi
politik itu mata pencaharian. Orang banyak mengejar dan memperebutkannya sekadar untuk
kenyang diri dan kroni. Lalu, nilai dan idealisme sekadar ornamen indah tanpa makna, karena
yang dikejar ialah posisi, materi, dan mobilitas diri yang tak bertepi.
lemahnya mental sepiritual
Rakyat sesungguhnya gundah dengan perangai para elitenya yang banyak polah. Sebelum
menduduki posisi mereka mungkin banyak sosok idealis. Bahwa politik dan jabatan publik itu
jalan berkhidmat untuk kemajuan bangsa dan negara, bukan mengejar harta dan takhta. Uang
dan jabatan pun diperoleh dengan cara halal, bukan dengan muslihat dan upeti. Jabatan pun
ketika sudah di tangan dimanfaatkan untuk pengkhidmatan, sekaligus dapat
dipertanggungjawabkan sebagai amanah di hadapan Tuhan. Tunaikan amanah karena tak ada
iman bagi yang tak menunaikan amanah, sabda Nabi.
Bagi mereka yang idealis jabatan bukan diburu dan di cari-cari, apalagi dipertukarkan dengan
uang dan jabatan lain yang menggiurkan. Jabatan pantang diselewengkan dan dijadikan lahan
korupsi dan penyimpangan. Sekali jabatan diterima maka saat itu jabatan berubah menjadi
amanah dan janji yang wajib ditunaikan dengan kesungguhan. Taruhannya kehormatan diri,
bahkan jiwa. Jabatan bukanlah kejayaan dan kemegahan diri. Jabatan bukan dijadikan jalan tol
memenuhi hasrat-hasrat loba dan tamak.
Ketika banyak pejabat publik menyelewengkan jabatan dan menjadikannya lumbung uang serta
kemegahan tanpa rasa sungkan, sesungguhnya akar masalahnya bukan pada sistem belaka,
tetapi pada penyakit mental mereka. Penyakit lemahnya karakter diri selaku manusia-manusia
yang tangguh dengan prinsip dan makna hidup, sekaligus tahan cobaan dan godaan duniawi.
Mereka kehilangan karakter amanah, kejujujuran, kesetiaan, kesahajaan, kebaikan, kesatriaan,
dan kepatutan. Mereka bahkan kehilangan rasa malu dan kehormatan diri.
Penyakit lemah karakter yang menumbuhkan jiwa korup, penyimpangan, kemegahan, dan lupa
diri boleh jadi tumbuh dalam virus keterbelakangan mentalitas laksana orang yang tiba-tiba
dalam bahasa jawa disebut “munggah bale”(naik takhta) kemudian mengalami kejutan budaya.
Penyakit naik tahtatidak mengenal latar belakang suku, ras, dan golongan. Tidak pula mereka
yang sekuler atau agamis. Bagi mereka yang agamis bahkan penyakit jenis ini diperkuat dengan
spirit dan dalih keagamaan sehingga terkesan sakral dan sarat pesona moral.
Penyakit naik tahtatelanjur meluas dan diproduksi lewat berbagai media yang populer,
mengundang hasrat anak-anak bangsa lainnya untuk mengikuti jejak berebut takhta tanpa
pertanggungjawaban moral yang tinggi. Banyak anak negeri bahkan belajar menjadi broker
guna menapaki tangga politik, yang mengorbankan idealisme kebeliaan. Seolah jabatan dan
mobilitas hidup itu sekadar nilai guna, yang harus diraih dengan cara apa saja untuk
kesenangan dan kejayaan diri minus nilai dan makna utama.
Namun ternyata tidak semua status pemimpin atau jabatan selalu dikejar-kejar dan di cari-cari
orang. Di daerah tertentu, seperti kampung saya tidak sedikit orang menghindar jika ditunjuk
menduduki jabatan tertentu, misalnya menjadi pengurus Masjid, menjadi ketua RT atau RW.
Sebagai ketua RT atau RW selain tidak akan memperoleh imbalan, tanggung jawabnya tidak
ringan. Akibatnya, banyak ketua RT atau RW, sekalipun masa jabatannya habis, tidak pernah
ada yang mau mengganti. Sehingga pada saat pemilihan, orang lebih suka menetapkan kembali
pejabat lama. Baru dilakukan pergantian, jika ketua RT atau RW lama pindah tempat,
meninggal atau telah melakukan kesalahan yang dianggap fatal. RT diplesetkan sebagai Rugi
Tenaga, dan RW Rugi waktu sehingga orang tidak berminat, namun sekarang jabatan RT dan
sudah ada Insetifnya maka ramai-ramai orang mau jadi ketua RT dan RW.
itulah sebabnya Mentalitas naik tahta dipersubur oleh hasrat berlebih melahirkan akumulasi
ketamakan kuasa. Orang biasa dan terpandang, elite sekuler dan agamis, setelah berkuasa
sama-sama lapar takhta dan harta. Pada setiap kemegahan dan ketamakan selalu ada dalih
pembenar yang meyakinkan publik. Kata pepatah Arab, singa-singa lapar tak mendekat ke
telaga bila anjing-anjing telah menjilatnya. Tapi, bagi para singa berdasi, apa saja boleh tanpa
rasa sungkan. Alhakumu at-takatsur, hatta jurtumu al-makabir wallahu alam bissawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar