Senin, 05 November 2012

Antara Feodalisme dengan Birokrasi



Feodalisme dan Birokrasi di Indonesia
Menurut Wikipedia, Feodalisme adalah struktur pendelegasian kekuasaan sosiopolitik yang dijalankan kalangan bangsawan/monarki untuk mengendalikan berbagai wilayah yang diklaimnya melalui kerja sama dengan pemimpin-pemimpin lokal sebagai mitra. Dalam pengertian yang asli, struktur ini disematkan oleh sejarawan pada sistem politik di Eropa pada Abad Pertengahan, yang menempatkan kalangan kesatria dan kelas bangsawan lainnya (vassal) sebagai penguasa kawasan atau hak tertentu (disebut fief atau, dalam bahasa Latin, feodum) yang ditunjuk oleh monarki (biasanya raja atau lord).
Istilah feodalisme sendiri dipakai sejak abad ke-17 dan oleh pelakunya sendiri tidak pernah dipakai. Semenjak tahun 1960-an, para sejarawan memperluas penggunaan istilah ini dengan memasukkan pula aspek kehidupan sosial para pekerja lahan di lahan yang dikuasai oleh tuan tanah, sehingga muncul istilah "masyarakat feodal". Karena penggunaan istilah feodalisme semakin lama semakin berkonotasi negatif, oleh para pengkritiknya istilah ini sekarang dianggap tidak membantu memperjelas keadaan dan dianjurkan untuk tidak dipakai tanpa kualifikasi yang jelas.
Dalam penggunaan bahasa sehari-hari di Indonesia, seringkali kata ini digunakan untuk merujuk pada perilaku-perilaku negatif yang mirip dengan perilaku para penguasa yang lalim, seperti 'kolot', 'selalu ingin dihormati', atau 'bertahan pada nilai-nilai lama yang sudah banyak ditinggalkan'. Praktek fedoalisme di Indonesia sangat nyata terjadi di dunia birokrasi di Indonesia. Para pemimpin lembaga, kepala pemerintahan menganggap para bawahan yang harus melayani mereka dimanapun berada.
Perilaku feodalisme ini dalam birokrasi diperparah dengan tindak tanduk bawahan yang sengaja memperlakukan atasannya seperti seorang raja sehingga  harus dilayani semaksimal mungkin. Para birokrat itu cenderung menganggap bahwa budaya “yes bos” sebagai suatu hal yang harus dilakukan agar atasan senang. Tidak ada lagi harga diri seorang bawahan sebagai seorang manusia yang memiliki kedudukan yang sama dalam proses pengambilan keputusan. Sungguh sangat miris melihat seorang bawahan harus dimarahi oleh atasannya dengan kata-kata yang tidak selayaknya di keluarkan dari mulut seorang atasan yang seharusnya mengayomi bawahannya, namun kenyataannya kekuasaaan hanya dijadikan budak pemuas nafsu praktik feodalisme kekuasaaan yang lalim
Birokrasi merupakan mata rantai tak terpisahkan dalam hubungan pemerintah dengan rakyat dalam hal ini berkaitan dengan fungsi pemerintah dalam hal mencapai tujuan pelayanan publik yang maksimal -kalau tidak disebut ideal. Berbanding terbalik dengan konsep birokrasi ideal yang dicetuskan Max Weber beratus tahun yang lampau, birokrasi terutama dinegara-negara berkembang (miskin, dunia ketiga) menunjukkan kecenderungan yang kurang baik yang berdampak tidak terpenuhinya kepuasan rakyat dalam pelayanan publik itu sendiri.
Birokrasi di Indonesia, merupakan warisan kultur birokrasi sejak masa penjajahan kolonial dulu. Beberapa episode dalam pemerintahan yang mewarnai bangsa ini menempatkan birokrasi di negara ini dalam berbagai karakteristik yang mencerminkan keadaan (kegagalan) tersebut. Pada masa kolonialisme, birokrasi diatur oleh pemerintah penjajah Hindia Belanda yang menganut pola pikir pengaturan wilayah jajahannya. Aparat birokrasi yang ditugaskan di daerah jajahan sebelumya di doktrin dengan mengibaratkan dirinya (analogi birokrasi) sebagai monster raksasa “Leviathan” yang merupakan perwujudan kekuasaan negara. Birokrasi yang terbentuk pun menjadi sebuah mesin kekuasaan pemerintah dimana memiliki kekuasaan terhadap administrasi publik sehingga administrasi diartikan perluasan urusan rumah tangga pemerintah. Serta aparat birokrasi (pejabat) dalam konteks ini merupakan perpanjangan tangan pemerintah, dia bisa berbuat seenaknya seperti halnya yang dilakukan pemerintah. Memang patut diakui bahwa secara historis, birokrasi di Indonesia menjadi alat politik penguasa.
Masyarakat kita ternyata sudah “terbiasa” hidup dalam tekanan birokrasi. Secara paradoks dibalik berbagai hujatan dan cemoohan terhadap birokrasi, masyarakat kita ternyata juga “menjunjung tinggi” profesi di lingkungan birokrasi. Feodalisme masyarakat sebagai bagian dari sejarah bangsa-bangsa feodal yang terbelakang dan terjajah sepanjang hayatnya turut menghantui perjalanan bangsa ini. Kedudukan birokrat sejak jaman penjajahan menjadi terpandang karena berhubungan dengan penempatan para bangsawan dalam kedudukan ini oleh penjajah belanda. Padahal maksud sebenarnya agar para bangsawan dalam masyarakat kita “puas” dan tidak memicu pemberontakan. Sampai kemerdekaan pun, akhirnya posisi di birokrasi menjadi primadona karena tidak perlu bersusah payah akan naik pangkat dan memiliki penghasilan yang pasti. Terlebih, diluar konteks itu semua, uang menjadi panglima dalam rekruitmen aparatur, mengesampingkan fungsi “intelektualitas”. Akhirnya sedikit sekali anak bangsa yang “tercerahkan” berada sebagai bagian birokrasi. Masyarakat disebut korban birokrasi karena mau tidak mau harus berurusan dengannya. Persepsi negatif tentang birokrasi kemudian dipertegas dengan melakukan cara-cara semisal KKN agar urusan lancar. Secara nyata, praktik demikian membawa birokrasi semakin terpuruk pada jurang tidak profesionalnya.
Lantas bagaimana dengan nasib bangsa ini ke depannya jika birokrasi Indonesia masih terperangkap dalam belenggu feodalisme yang sangat kuat, mengakar ke seluruh sendi pemerintahan? Jawabannya terletak pada para birokrat itu sendiri. Jika mereka ingin berubah menuju ke arah birokrasi yang baik yang menjunjung tinggi persamaan hak, keadilan, azas kebersamaan dengan mengedepankan pada intelektualitas serta integritas, mereka harus memulainya dengan diri sendiri. Hindari budaya “yes bos” dengan menunjukkan kapasitas dan aktualisasi diri kepada atasan bahwa mereka memiliki kemampuan lebih yang dapat berguna sebagai pendorong perkembangan kinerja birokrasi. Tunjukkan kepada birokrat lain bahwa menjadi seorang birokrat bukan merupakan seorang “kacung” (pesuruh) yang hanya akan bekerja jika ada perintah dari atasan. Inisiatif kerja yang tinggi akan dapat mengarah pada peningkatan kinerja organisasi pada lembaga birokrasi yang menaunginya.

3 komentar: