Kamis, 13 November 2014

Legislasi Kearsipan di Era Digital



 
Legislasi Kearsipan di Era Digital yang Sedang Berkembang
Saat ini

Translated by Rini Rusyeni
Penulis:
Elaine Goh dan Luciana Duranti
University of British Columbia

Simon Chu
EASTICA, Hong Kong

Abstrak

Makalah ini menggambarkan beberapa tantangan yang dihadapi dalam penyusunan legislasi kearsipan di Negara-negara Persemakmuran seperti, proses penciptaan arsip, pengelolaan dan preservasi arsip yang meningkat dan menjadi kompleks di era digital saat ini. Hal tersebut menjadi kompleks ketika dihubungkan dengan peraturan kearsipan yang telah ada dan telah digunakan, atau bahkan ketika tidak ada peraturan kearsipan yang mengatur kegiatan tersebut sama sekali seperti kasus yang terjadi di Hongkong. Penulis berpendapat bahwa ilmu kearsipan dapat menjembatani jarak yang ada di antara legislasi/peraturan kearsipan yang telah ada/disusun dengan kemampuan peraturan kearsipan tersebut untuk mengatasi isu-isu yang terjadi di era digital saat ini.

Pendahuluan

Istilah legislasi berasal dari bahasa Latin, lex, yang berarti “peraturan tertulis”. Menurut Macdonald, legislasi adalah “kebiasaan menulis” (Macdonald, 1999, pp. 285), dan berdasarkan tradisi hukum Anglo-Saxon, Undang-Undang dan Amandemen Undang-Undang secara explisit merupakan dokumen peraturan “yang dibuat berdasarkan tradisi”dan “(berisi tentang) proses penyusunan aturan yang berisi tentang standar umum dan resolusi tepat”( Macdonald, 1999, p. 288).  “Resolusi tepat” ini idealnya harus sesuai dengan rangkaian hukum yang telah ada. Sebagai contoh, hukum dan peraturan harus stabil dan berisi tentang serangkaian syarat bagi individu sebelum diberlakukan (Choi, 2012). Hukum dan peraturan juga harus berisi tentang tinjauan tentang masa depan, dalam hal ini hukum dan peraturan harus dapat mengantisipasi kejadian yang terjadi di masa depan, situasi yang mungkin akan terjadi sehingga dapat memberikan kerangka hukum untuk pengelolaan dan pengaturannya (Miranda, 2010).

Namun, kenyataannya, atribut hukum ini disebutkan sebagai sebuah “ideal kompleks yang bahkan sangat kompleks untuk diwujudkan” (Choi, 2012). Dalam literature hukum, terdapat sebuah pengakuan bahwa hukum bersifat reaktif terhadap perubahan teknologi. Perry and Ballard (1993) menyatakan, “sayangnya, system hukum kita, yang telah dilengkapi dengan penekanan untuk menganut azas keterikatan kepada hukum sebelumnya (stare decisis) dan common law (hukum umum), tidak dapat bereaksi cukup cepat terhadap perubahan teknologi yang terjadi dengan sangat cepat...resiko yang terjadi adalah ketika hukum terlalu berdasarkan pada hal yang telah terjadi di masa lalu. Resiko ini selalu terjadi ketika teknologi mengubah secara radikal sehingga mentransformasi masyarakat. Hukum dan lembaga peradilan tiba-tiba menjadi tidak peduli dan tidak memiliki basis prinsip hukum untuk mengatasi masalah perubahan teknologi yang terjadi sebelum prinsip tersebut disusun”
(p. 799). Hal yang sama juga terjadi pada literatur kearsipan, kita semua mengetahui bahwa peraturan kearsipan cenderung berada tertinggal dari perkembangan teknologi (Granstrom, n.d; International Council on Archives (ICA), 1997; Suderman, Foscarini &Coulter, 2005). Komite ICA tentang Arsip Elektronik melihat bahwa “peraturan yang mengatur tentang banyak aspek seperti penciptaan informasi, pengelolaan,penggunaan dan preservasi tidak sesuai dengan perkembangan teknologi yang terjadi begitu cepat dan begitupun juga dengan peraturan kearsipan” (p. 19). Para peneliti bidang kearsipan juga mengkritik bahwa undang-undang kearsipan di berbagai Negara tidak sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Undang-undang kearsipan mereka deskripsikan sebagai sebuat peraturan yang “lemah”, “ketinggalan zaman”, “tua dan tidak konsisten”, dan juga reaktif karena Undang-Undang tersebut berisi tentang peraturan dan bukan perencanaan terhadap perkembangan yang terjadi di masa yang akan datang. (Berry, 1996; Hurley, 1994; The National Archives, 2003.; Shepherd, 2009).

Tantangan Hukum dalam Menghadapi Era Digital

Pemerintah di berbagai Negara di dunia telah mulai berinisiatif menggunakan teknologi cloud computing-penyimpanan digital dalam jaringan, untuk meningkatkan skala ekonomi yang berguna meningkatkan layanan teknologi informasi. Dalam perspektif teknologi informasi, cloud computing bukanlah suatu teknologi baru. Hal yang baru dari teknologi ini adalah bentuk layanan pengiriman dan model usahanya (Convery 2010). 1 Di Inggris Raya, penciptaan model pengiriman dan layanan cloud (secara digital), disebut sebagai program G-Cloud. Program ini dikeluarkan oleh Departemen Budaya, Media dan Olahraga (2009) dengan tujuan untuk membuat “pasaran teknologi informasi (IT) pemerintah lebih efektif dalam pembiayaannya, fleksibel dan kompetitif dengan cara meningkatkan layanan sampai pada level berikutnya dan standarisasi serta saling berbagi layanan IT di antara departemen-departemen” (para 32). Namun, terdapat resiko yang muncul ketika memperluas pemakaian dan implementasi teknologi cloud computing. Salah satunya adalah standard layanan dalam teknologi cloud computing terbatas. “Seringkali teknologi ini menggunakan standar yang berbeda, terkadang menggunakan perangkat proprietary interface (jenis program perangkat lunak yang terdiri dari Microsoft windows, corel draw, dsb) dan programming languages (program yang menggunakan instruksi komunikasi melalui perangkat elektronik seperti komputer)” dan penggunaan perangkat ini dapat menimbulkan kesulitan ketika terjadi migrasi sistem dan akses terhadap arsip yang tersimpan di dalamnya. Selain itu juga, kesulitan akan muncul ketika banyak pihak yang menggunakan system ini untuk menyimpan arsip dan menggunakan layanan pengirimannya sehingga berimplikasi pada kerahasiaan data dan keamanan akses informasi yang berkelanjutan (Mondaq, Business Briefing, 2010). Dari sudut pandang hukum, resiko terbesar yang dapat muncul di sebuah Negara dapat saja berbeda karena berasal dari bagaimana informasi di ciptakan dan digunakan dan kemudian pengaturannya dalam hukum dan perundang-undangan (Schiller, 2011; Department of Finance and Deregulation, Australia, 2012).

Untuk dapat mengatasi beberapa tantangan sebagaimana disebutkan di atas, beberapa Negara telah mulai memperbaharui legislasi/peraturan perundang-undangannya terutama yang berhubungan dengan kerahasiaan, perlindungan data dan kekayaan intelektual (Business Software Alliance, n.d). Pemerintah Australia, contohnya, baru-baru saja memperkenalkan Amandemen Kerahasiaan-Privacy Amendment (Enhancing Privacy Protection-Memperkuat Perlindungan Kerahasiaan-Rancangan Undang-Undang) 2012 yang bertujuan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap informasi personal dan yang sensitif dalam transaksi online.2 Pada waktu yang bersamaan, beberapa arsip nasional, termasuk juga di Australia dan Amerika Serikat, telah mengeluarkan kebijakan dan prosedur tentang pengalihdayaan (outsourcing) data digital dan bagaimana mengelola arsip yang tersimpan dalam teknologi cloud computing. Namun, kebijakan dan prosedur ini harus didukung oleh peraturan perundang-undangan kearsipan yang kuat, karena peraturan perundang-undangan merupakan bentuk tertinggi dari kebijakan publik. Pada tahun 1998, Komisi Reformasi Hukum Australia telah mencatat bahwa Undang-Undang Kearsipan 1983 harus terdiri dari kerangka kerja yang komprehensif tentang pengelolaan kearsipan, khususnya yang berhubungan dengan pengalihdayaan (outsourcing) fungsi-fungsi pemerintah (para 3.23). oleh karena itu, kebutuhan untuk memperbaharui undang-undang kearsipan dan menyusun kerangka kerja legislative untuk mentatasi masalah yang berhubungan dengan pencipataan, perawatan dan preservasi arsip digital merupakan keharusan.

Sebagaimana telah dicatat oleh Asosiasi Arsiparis dan Pengelola Arsip Dinamis (Record Manager) di Negara-negara Persemakmuran (Parer, 2002), legislasi kearsipan harus mencerminkan isu-isu yang berhubungan dengan penciptaan dan preservasi arsip.


1 The National Institute of Standards Technology (2011) defines cloud computing as a “model for enabling
ubiquitous, convenient, on-demand network access to a shared pool of configurable computing resources (e.g.:
networks, servers, storage, application and services) that can be rapidly provisioned and released with minimal
management effort or service provider interaction” (p.2).
2 The text of the bill can be accessed via
http://www.aph.gov.au/Parliamentary_Business/Bills_Legislation/Bills_Search_Results/Result?bId=r4813 (last
accessed 20 July 2012).



Walaupun begitu, hampir semua arsip nasional di Negara-negara Persemakmuran telah memiliki peraturan perundang-undangan yang berdasarkan pada Undang-Undang Public Record (Arsip Publik) Inggris tahun 1958 (Roper& Millar, 1999). Undang-Undang ini disusun untuk arsip-arsip kertas dan tidak sesuai untuk mengatasi tantangan yang muncul pada arsip-arsip digital (The National Archives, n.d, p.9). Bahkan ketika digunakan untuk menghadapi masalah pada arsip kertaspun, Undang-Undang ini memiliki satu kelemahan yaitu bahwa Undang-Undang tersebut lemah dalam pengaturan kerangka kerja integrative terutama untuk manajemen alur hidup  (Lifecyle) arsip dan mengindahkan tahapan penciptaan arsip dan perawatannya (ICA 2006; Roper & Millar, 1999). Kondisi ini tentu saja tidak memungkinkan Undang-Undang tersebut untuk dijadikan landasan untuk mengatur arsip digital. Karena preservasi arsip digital dimulai pada saat proses penciptaannya, maka peraturan perundang-undangan kearsipan harus secara jelas menggambarkan aturan dan tanggung jawab pencipta dan pengelola arsip untuk mengikuti alur hidup (life cyle) arsip. Peraturan perundang-undangan di Negara-negara anggota Persemakmuran, khususnya Inggris, Kanada dan Singapura umumnya mengatur tentang peranan dan tanggung jawab arsip nasional Negara masing-masing dalam bidang akuisisi,preservasi dan akses kepada public. Di Kanada dan Singapura, Undang-Undang Kearsipan mengatur tentang tugas arsip nasional yang memiliki peran penting sebagai pemberi rekomendasi tentang perkembangan dan implementasi penyelenggaraan kearsipan dan progam manajemen informasi di pemerintah. Namun, Undang-Undang ini tidak mengatur tentang peranan dan tanggung jawab lembaga pemerintah sebagai pencipta arsip, terlepas dari pernyataan bahwa lembaga pemerintah harus meminta izin dari lembaga kearsipan yang berwenang sebelum menghancurkan arsip-arsip publik.

Konsekuensi nyata dari situasi ini dapat kita lihat pada laporan tertulis Komisi Informasi Kanada, dalam laporan tahun 2009 menulis laporan berjudul, “Buruknya kinerja lembaga pemerintah merupakan gejala dari krisis manajemen informasi penting. Krisis ini diperparah dengan kemajuan teknologi yang menciptakan jarak di antara informasi dan manajemen. Dalam kondisi ini, akses terhadap informasi merupakan aspek yang menjadi korbannya karena tidak ada pendekatan apapun yang dapat mengatur pengelolaan atau akses informasi di antara lingkungan pemerintah. Beberapa lembaga bahkan tidak tahu secara persis informasi apa sebenarnya yang mereka miliki.” (menekankan pada aspek originalitas) (http://www.infocom.gc.ca/eng/med-roo-sal-med_spe-dis_2009_4.aspx). Untuk menghindari krisis serupa muncul, peraturan perundang-undangan kearsipan harus mengatur peranan arsip nasional di bidang preservasi dan bertanggung jawab untuk mengarahkan aspek penciptaan arsip dan pengelolaan arsip. Pembagian tanggungjawab kepada pencipta arsip dan pengelola arsip yang sesuai dengan alur hidup arsip harus dilakukan karena berdasarkan fakta bahwa “manajemen arsip digital harus dibuat sejak  fase awal penciptaannya, dimulai arsip dibuat, kemudian dikelola oleh penciptanya, kemudian sampai pada fase penilaian, penyusutan dan akhirnya melalui tahapan preservasi jangka panjang sebagai memori autentik yang bernilai guna” (Duranti & Preston, 2008, p.734). lebih jauh lagi, karena realibitas arsip
bergantung pada kelengkatan arsip baik dalam bentuk maupun jumlahnya maka pengendalian kearsipan harus dilakukan sejak dalam proses penciptaannya”. Sehingga, Undang-Undang kearsipan harus secara spesifik menyatakan bahwa lembaga pemerintah harus secara hati-hati ketika mengalihdayakan pengelolaan arsip-arsip pemerintah kepada pihak ketiga dengan memastikan bahwa telah ada pengaturan bagi lembaga tersebut untuk mengendalikan identitas dan integritas arsip-arsip yang dikerjasamakan dengan provider pihak ketiga tersebut.3
Pengaturan ini terutama berhubungan dengan  teknologi cloud computing, dimana dalam teknologi ini terdapat ratusan duplikasi arsip-arsip digital yang dikelola (Stuart & Bromage, 2010). Duplikasi digital ini diciptakan sebagai akibat dari transmisi data dari satu infrastuktur ke infrastruktur lain, terkadang kegiatan ini tidak akan meninggalkan atau hanya sedikit meninggalkan rekam jejak prosesnya. Pengguna teknologi ini sering menggunakan duplikasi tersebut dan mereka dapat saja “berada di wilayah yuridiksi yang berbeda” (Mason & George, 2011). Intinya, pencipta arsip publik dan arsip nasional harus sama-sama bertanggungjawab dan keberadaannya diatur dalam Undang-Undang Kearsipan sebagai “agen akuntabilitas”. Sztompka (2000) menyatakan bahwa lembaga pencipta arsip dan arsip nasional  mendapatkan atau diberikan kepercayaan untuk pengelolaan arsip-arsip bernilai guna nasional. Lembaga pencipta arsip dan arsip nasional selayaknya memberikan jaminan kepercayaan untuk melaksanakan dengan sebaik-baiknya (fasilitasi, pengendalian, atau memberikan sangsi) terhadap perseorangan, lembaga, atau system yang menjadi target utama” (pp. 47-48). Jika kita definisikan pernyataan Sztompka dan membayangkan proses pembuatan arsip digital, sistem pengelolaan arsip dan sistem preservasi arsip sebagai “sasaran target utama kita”, maka kemudian lembaga pencipta arsip dan arsip nasional memiliki peran utama untuk memonitoring kegiatan pengembangan, pengendalian dan penguaan kendali procedural terhadap penciptaan arsip, pengelolaan, penyusutan dan preservasi. Untuk dapat mewujudkan hal ini, peraturan perundang-undangan kearsipan harus dapat mengidentifikasi “para agen akuntabilitas ini” dan mengatur secara jelas kewajiban lembaga tersebut untuk memastikan pengendalian terbaik untuk proses penciptaan, manajemen dan preservasi arsip. Namun, tetap saja harus ada pengendalian yang tepat sehingga arsiparis dan para pencipta arsip dapat menjadi pihak yang dipercaya dalam menjalankan kegiatannya. Untuk dapat berhasil dengan baik, Undang-Undang Kearsipan harus berisi tentang penjelasan bahwa pencipta arsip dan pengelola arsip wajib menjalankan tugas dan kewajibannya sesuai dengan standar profesionalisme yang telah ditetapkan. Sebagai contoh,Undang-undang Arsip Publik Tahun 2011 Skotlandia menyatakan bahwa badan-badan pemerintah harus menyerahkan perencanaan manajemen arsip kepada lembaga kearispan yang berwenang. 4lembaga kearsipan yang berwenang, pada gilirannya harus menyerahkan rencana tahunan kepada Kementerian Skonlandia yang berisi tentang perencanaan manajemen arsip dinamis dan statis yang telah dikumpulkan dari tiap-tiap badan pemerintah. Lembaga kearsipan yang berwenang ini harus memasukkan perencanaan secara detail tentang bagaiman manajemen arsip statis dan dinamis dilaksanakan dan juga penanggungjawab dan pihak-pihak mana yang gagal memenuhi persyaratan dalam pelaksanaan kegiatan dan juga detail mengenai perencanaan yang tidak dapat dilaksanakan ” (Public Records Scotland Act, 2011, para 12, part 3). 


Undang-Undang Kearsipan di Negara-negara anggota Persemakmuran seperti Inggris, Kanada dan Singapura cenderung memasukkan klausa yang menyatakan bahwa badan-badan pemerintah harus meminta izin terlebih dahulu kepada arsip nasional sebelum menghancurkan arsip-arsip publik. Kelemahan klausa ini adalah bahwa pernyataan ini lebih mengarah kepada penyusutan arsip untuk kemudian kepada pemusnahan arsip dan bukan kepada preservasi arsip. Undang-Undang Kearsipan juga mengharuskan bahwa arsip harus diserahkan kepada lembaga kearsipan yang berwenang apabila telah disimpan dalam jangka waktu tertentu setelah arsip tersebut menjadi inaktif (Foscarini, 2007; Hurley, 1994). Walaupun arsip dapat saja diserahkan ke lembaga kearsipan yang berwenang ketika sebelum memasuki batas waktu yang ditentukan, namun jangka waktu yang diatur dalam Undang-Undang Kearsipan mengimplikasikan bahwa persyaratan preservasi cenderung menjadi bagian akhir dari alur hidup arsip, sementara itu hal yang terjadi saat ini adalah bahwa penilaian arsip harus dilakukan selama periode awal alur hidup arsip dengan tujuan untuk mengatasi isu-isu yang berhubungan dengan autentifikasi arsip digital dan kemungkinan dilakukan preservasi arsip sedini mungkin (Appraisal Task Force, InterPARES 1, 2001). Hal ini juga sejalan dengan konsep rantai preservasi yaitu “semua aktifitas yang berhubungan dengan manajemen arsip keberadaannya saling berhubungan dan saling membutuhkan satu sama lain” (Eastwood, Preston & Hofman 2008, p. 230).

Terakhir, peraturan perundang-undangan kearsipan cenderung mendefinisikan arsip dinamis dan statis bergantung pada waktu dan konteks dari peraturan perundang-undangan itu sendiri, dan tidak pada kealamiahan materi yang terkandung di dalamnya. Sebagai contoh, Undang-Undang Kearsipan di Australia mendefinisikan arsip persemakmuran sebagai “arsip yang menjadi milik Persemakmuran atau milik institusi di bawah persemakmuran” (Archives Act, 1983).

Untuk arsip-arsip digital, terutama ketika arsip-arsip tersebut dialihdayakan (outsource) ke layanan provider, dimana dalam kondisi ini entitas kelembagaan mengenai siapa yang memiliki arsip masih menjadi

4 The National Archives of Scotland  merged with the General Register Office for Scotland in April 2011 to become
an entity known as the National Records of Scotland. The Public Records (Scotland) Act 2011 is accessible via
http://www.nas.gov.uk/documents/PublicRecordsScotlandActPublished.pdf (last accessed 21 July 2012). 





perdebatan, keadaan ini tentu menimbulkan masalah, ditambah lagi dengan kehadiran arsip-arsip konvensional tidak akan menyelesaikan masalahnya. Komisi Reformasi Hukum Australia (1998) menyebutkan bahwa ada beberapa kasus dimana arsip publik jatuh ke tangan individu, dan sangat sulit untuk membuktikan bahwa arsip itu sebenarnya dimiliki oleh Badan Persemakmuran. Untuk arsip dengan kondisi seperti itu, Komisi merekomendasikan untuk menggunakan provenance berdasarkan definisi arsip publik sehingga “peralihan kewenangan tidak lagi menjadi perdebatan ketika dihubungkan dengan masalah kepemilikan arsip” (para 8.19). masalah lain yang muncul disebabkan karena beberapa undang-undang kearsipan mendefinisikan arsip satis: sebagai definisi yang dihubungkan dengan periode waktu, atau kewajiban transfer arsip statis ke lembaga kearsipan, atau dihubungkan dengan kegunaan arsip dinamis. Definisi-definisi seperti ini menimbulkan pemisahan manajemen arsip dari preservasi arsip statis dan hanya berfokus pada penempatan fisik arsip (Lemieux, 1992, p. 156). Oleh karena itu, arsip dinamis dan statis secara konseptual harus didefinisikan dalam legislasi kearsipan karena definisi tersebut dapat mendukung identifikasi arsip-arsip digital untuk diatur dalam peraturan yang sama.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah, adanya kebutuhan untuk menjelaskan secara terperinci mengenai peraturan perundang-undangan di bidang kearsipan secara komprehensif. Penjelasan ini berisi tentang kerangka kerja manajemen dan preservasi arsip yang sesuai dengan alur hidup (lifecycle) arsip. Sebuah studi mengenai kebijakan pengendalian sumber-sumber digital menemukan fakta bahwa bahkan jika badan-badan pemerintah yang mempunyai mandate hukum untuk mengelola dan melestarikan arsip-arsip yang mereka ciptakan, mereka tidak selalu mengeluarkan kebijakan dan prosedur yang mengendalikan kegiatan pengelolaan dan pelestarian arsip-arsip mereka sendiri. Hal ini sebagian disebabkan karena, “tidak ada kewajiban secara eksplisit pada level pembuat kebijakan, yang memberikan mandat untuk menyusun kebijakan mengenai preservasi materi digital” (Guercio, Lograno, Battistelli, Marini, 2003).  Bahkan, jika kebijakan pengelolaan dan pelestarian arsip tersebut ada, badan-badan pemerintah tersebut cenderung menganggap pelaksanaan kebijakan tersebut sebagai “ sebuah pilihan” dan “sangat jarang digunakan” (Guercio, Lograno, Battistelli, Marini, 2003). Oleh karena itu, Undang-Undang Kearsipan memberikan kerangka kerja pengembangan kebijakan nasional dan prosedur penciptaan arsip, pengelolaan dan preservasi. Namun, ketika kebutuhan kebijakan dan standard mengenai kearsipan melampaui batas yang telah ditetapkan, penyusunan peraturan perundang-undangan kearsipan hendaknya didasarkan pada teori kearsipan. Konsep-konsep seperti rantai preservasi dan teori provenance dapat dijadikan prinsip panduan bagi arsiparis untuk menilai dan memperbaiki peraturan perundang-undangan yang telah ada. Prinsip-prinsip tersebut memungkinkan para arsiparis untuk mengatasi perubahan lingkungan yang disebabkan oleh teknologi digital dan perubahan dalam administrasi public.





Tragedi Arsip Publik di Hong Kong: Hong Kong Tidak Punya Undang-Undang Kearsipan

Di tengah-tengah keadaan dimana peraturan perundang-undangan kearsipan tidak dapat mengatasi perkembangan dunia digital, sebagai akibat dari kecenderungan para legislator lebih menekankan pengendalian pada penciptaan dan manajemen arsip/data digital yang terpercaya, akurat dan autentik sebagai bahan bukti hukum dan undang-undang tentang kerahasiaan, keamanan, hak-hak intelektual dan undang-undang lain yang sejenis, ada kasus yang lebih buruk terjadi yaitu tidak ada undang-undang kearsipan. Kasus ini terjadi di Hong Kong. Dalam kasus ini, kemungkinan preservasi arsip public diperlakukan dengan buruk dapat terjadi.
 
Apakah itu Arsip Statis Publik?
Untuk jawaban yang tepat bagi pertanyaan seperti ‘bagaimana kita bisa sampai ada di sini sebelumnya ada di  sana?’ dan apa sebenarnya yang terjadi pada – 100 tahun lalu, 50 tahun lalu, 25 tahun lalu – seorang warga Negara seharusnya dapat berkonsultasi mengenai arsip publik tempat asalnya. Memori dapat saja salah, disebabkan oleh jarak atau kekosongan. Buku-buku dan surat kabar mengenai sejarah dapat menghadirkan pandangan yang terdistorsi, dipolitisir atau disalahartikan mengenai apa yang telah terjadi. Namun, arsip merupakan rekaman asli kejadian yang terjadi pada masa itu dan dilestarikan untuk kebutuhan pencerahan di masa depan.

Arsip statis publik merekam kelahiran dan kewarganegaraan, memastikan kematian dan kepemilikan, menjelaskan hak-hak dan kewajiban, memberikan detail mengenai kebijakan pemerintah dan keputusan dan melayani aspek kebutuhan hukum, opersional, penelitian dan serta budaya. Arsip statis publik merupakan komponen penting bagi kolekti memori komunitas yang ada saat ini.

Undang-Undang Kearsipan Dibutuhkan
Semua pertanggungjawaban pemerintah yang harus didokumentasikan yaitu kebijakan, keputusan, aktifitas dan bagaimana pemerintah menjalakankan usaha, pelayanan dan mengevaluasi hasil-hasil yang dicapai. Tujuannya adalah untuk mencapai pelaksanaan yang efisien, melindungi hak-hak dan kewajiban dan memastikan akuntabilitas dan transparansi. Singkatnya, pendokumentasian dilakukan untuk memastikan pelaksanaan pemerintahan yang baik (good governance). 

Dalam keadaan yang sudah modern seperti saat ini, merupakan sebuah tugas publik bagi pemerintah untuk memastikan proses penciptaan, manajemen, perlindungan dan preservasi arsip publik berjalan dengan baik. Untuk dapat mencapai tujuan ini, peraturan terbaru dan kewenangan yang modern harus dikeluarkan dalam wujud undang-undang, tidak ada pengecualian.

Apa yang akan dicapai oleh Undang-Undang Kearsipan
Undang-undang kearsipan merupakan prasyarat kritis untuk manajemen arsip dinamis dan statis yang efektif. Undang-undang ini merumuskan kerangka kerja yang tepat dalam sistem arsip dinamis dan statis  dan dapat memberikan kewenangan serta mengatur mengenai pembiayaan yang dibutuhkan untuk proses implementasinya.

Sebuah pemerintahan yang mau mendengarkan pendapat warga negaranya dan bertanggung jawab untuk mensahkan undang-undang kearsipan memiliki tujuan untuk:
·    memastikan bahwa para staf public menciptakan dan menyimpan arsip-arsipnya secara akurat dan mendukung pemerintahan yang transparan dan akutabel, sehingga akan dapat membangun kepercayaan dan partisipasi public dalam pemerintahan
·    menciptakan efisiensi dan efektiftas dalam hal pembiayaan manajemen arsip-arsip pemerintah sehingga dapat memfasilitasi pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintah
·    mengidentifikasi dan menjaga arsip dinamis sampai periode tertentu untuk kemudian beralih fungsi menjadi arsip statis dan dilakukan preservasi karena merupakan aset vital dan warisan bersama bangsa
·    memastikan akses yang baik dan adil kepada publik sebagai sebuah status hukum dan bukan hanya sebagai hak keistimewaan pada pihak tertentu.


Hong Kong Menolak Mensahkan Undang-Undang Kearsipan
Tidak masuk akal namun benar adanya, Hong Kong tidak punya undang-undang kearsipan, begitupun juga pemerintah Hong Hong tidak berencana untuk menyusun undang-undang ini. Tentu saja ini mengejutkan dan membingungkan karena faktanya Hong Kong selalu mengkalim sebagai “kota dunia paling Modern di Asia”, dan bangga akan kebebasan hukumnya, dan kepatuhan terhadap aturan hukum yang berlaku dan keberhasilan uniknya yang dicapai setelah tahun 1997.

Sistem Manajemen Arsip Dinamis Publik Hong Kong: Sebuah Kegagalan
Tidak seperti manajemen keuangan publik dan pegawai negeri sipil yang diatur oleh peraturan hukum, manajemen arsip publik dinamis diatur dalam pengaturan administratif internal di bawah kewenangan Badan Pelayanan Arsip Dinamis Pemerintah-Government Records Service (GRS), yaitu sebuah divisi Administrasi yang menjadi bagian dari Sekretaris Utama Kantor Administrasi.
GRS menjalankan aturannya dengan memberikan batasan kepada hal sebagai berikut:






·         GRS tidak memiliki kekuasaan untuk mengatur. GRS tidak dapat mengatur badan pemerintah untuk menyiapkan arsip-arsipnya agar dapat dilakukan penilaian arsip atau penyerahan arsip kepada lembaga kearsipan. Tanpa adanya peraturan kearsipan, biro-biro pemerintahan dan departemen dapat dengan bebas untuk mengikuti atau mengindahkan petunjuk yang dikeluarkan oleh GRS. Tidak ada prosedur untuk pelaksanaan pinalti/hukuman terhadap staf publik yang tidak menciptakan atau mengelola arsip dengan benar.
·         Seleksi arsip dinamis menjadi arsip statis hanya terjadi ketika arsip dinamis sudah tidak digunakan lagi oleh badan pemerintah. Alasan kuat yang diajukan lembaga ini untuk terus menahan arsip adalah karena mereka masih menggunakan arsipnya sehingga tidak dapat diserahkan ke GRS. Keadaan ini tentu menyulitkan untuk menemukan kembali arsip publik apa yang telah diciptakan dan dimana arsip tersebut disimpan, atau bahkan dapat saya arsip-arsip berharga tersebut telah dimusnahkan. Fakta yang terjadi saat ini adalah banyak badan pemerintah malas untuk melakukan pemilahan dan perawatan arsip dan GRS tidak dapat melakukan apapun untuk mengatasinya.
·         Ribuan klasifikasi arsip dinamis yang telah diidentifikasi berada dalam status permanen sebagai arsip statis belum juga diproses oleh badan-badan pemerintah untuk kemudian dapat diakses oleh public. Banyak arsip statis yang sedang dalam status pinjaman yang digunakan oleh biro pemerintahan dan departemen belum juga dikembalikan ke GRS
·         Ketiadaan Undang-Undang kearsipan menyebabkan profesi kearsipan di anggap sebelah mata. Posisi Direktur GRS sebagai Kepala Arsiparis, merupakan pimpinan tertinggi arsiparis. Sejak abad ke-19 pertengahan, posisi Kepala Arsiparis selalu diisi oleh seorang pejabat tingkatan eksekutif yang tidak pernah atau tidak berpengalaman di bidang manajemen arsip public. Hanya 2 dari 8 arsiparis yang ada di kantor tersebut yang merupakan seorang professional dan memiliki kualifikasi duduk dalam jabatan tinggi manajemen organisasi kantor tersebut. Karena pekerjaan arsip dinamis dan statis bukan merupakan tugas yang diwajibkan secara hukum oleh pemerintah, maka tidak akan ada konsekuensi apapun jika system yang dijalankan professional atau tidak.
·         Kapasitas para professional di GRS yang kurang lebih jauh lagi menyebabkan kurang efektifnya pekerjaan kearsipan. Saat ini, teknologi informasi telah berkembang secara cepat dan menggunakan metode pengelolaan arsip dinamis. Arsip-arsip elektronik dapat saja diganti dan dihapus dengan mudah. Untuk memastikan autentisitas arsip elektronik, diperlukan system manajemen arsip dinamis yang dapat dengan mudah diakses dan digunakan serta SDM yang professional di bidangnya. Karena professional yang ada di GRS tidak memiliki kualifikasi tersebut, maka tidak ada prosedur apapun yang dikeluarkan untuk mengatur manajemen dan preservasi arsip elektronik.  
·         Pemerintah dan publik berada dalam posisi yang seimbang sebagai pemegang kewenangan untuk mengidentifikasi korupsi dan penyelewenangan, dan pemberantasan penyalahgunaan kewenangan. Pemerintah dan publik dapat mengambil keuntungan dari kewajiban penyelenggaran manajemen arsip public dan preservasi arsip tersebut sebagai arsip statis milik public. Ketiadaan arsip dinamis yang sesuai dengan kebutuhan publik akan merugikan pemerintah karena mereka harus menjelaskan kerugian sejumlah $160 juta, yang diakibatkan oleh premi tanah non-payment untuk penggunaan Discovery Bay tahun 2006, yang ditemukan oleh Direktorat Audit Investigasi. Penemuan lain yang terbaru, kerugian atau ketidakakuratan penyelidikan menyeluruh arsip dinamis milik Departemen Layanan Budaya dan Pariwisata karena telah melakukan penyalahgunaan penebangan pohon-pohon tua. Hal ini ditemukan setelah seorang siswa berusia 19 tahun meninggal di Stanley disebabkan tertular oleh pohon yang membawa penyakit.
·         Tidak ada kewajiban bagi sekitar 200 badan public seperti rumah sakit, biro umum pemerintah, badan kependudukan dan keuangan, untuk menyerahkan arsip-arsipnya ke bagian preservasi arsip dan akses publik GRS. Tindakan badan-badan tersebut berdampak negative pada penduduk dan harus segera diberi tindakan. Tanpa adanya hukum, kesalahan yang sama dan pengendalian menyeluruh tidak akan terjadi.
·         Ketidakhadiran undang-undang kearsipan, kebijakan tentang arsip dinamis yang dikeluarkan






Oleh badan publik untuk kepala kantor, unit kebijakan umum, badan investigasi Hong Kong, badan Keuangan dan ICAC, maka tidak aka nada arsip yang diserahkan kepada GRS untuk kemudian diberikan penilaian atau dilakukan preservasi. Tanpa adanya Undang-Undang kearsipan, arsip-arsip mengenai kejadian bersejarah seperti yang terjadi pada tahun 1997 yaitu ketika reunifikasi Hongkong dengan Tiongkok dan perkenalan system kementerian pada tahun 2000, dan bagaimana terminology kepegawaian dan kondisi politik yang terjadi pada masa itu dan proses pemilihannya tidak akan pernah dapat diketahui.
·         Akses arsip dinamis dan statis hendaknya dikelola melalui peraturan tentang Arsip Publik Tahun 1972, sebagaimana telah diubah pada tahun 1996, yang dikeluarkan oleh Sekretaris Utama, dimana beliau mengeluarkan tentang penutupan akses arsip public bahkan setelah habisnya masa periode 30 tahun. Tidak ada mekanisme apapun yang dapat digunakan untuk melawan keputusan tersebut.
·         Fakta di lapangan menunjukkan bahwa berdasarkan hasil audit yang dilaksanakan oleh Komisi Audit menyebutkan bahwa kasus tentang penyalahgunaan pengelolaan dan kewenangan saat ini telah meningkat drastis (Laporan Nomor 57 Direktorat Audit- Bab 10: Manajemen Arsip Dinamis Departemen Pelayanan Arsip Dinamis Pemerintah), dan GRS telah gagal untuk mengatasi hal ini.


Saat ini arsip dinamis public Hong Kong dalam kondisi kritis. Sekarang saatnya bagi pemerintah Hong Kong untuk segera menjawab tantangan ini atau tidak. Semoga pemerintah Hong Kong tidak hanya mendengarkan tetapi juga mengambil tindakan untuk mensahkan undang-undang kearsipan segera. Jika tidak, Hong Kong akan segera berubah menjadi wilayah penduduk yang tidak memiliki memory, sejarah dan budaya. Tidak ada masa depan bagi Hongkong!