Rabu, 15 Mei 2019

Terjemahan Buku: A History of Christianity in Indonesia Bab 17 (Karel Steenbrink, Jan Aritonang)


Terjemahan ini tidak lengkap jika ingin terjemahan full please email me   
                       
                            BAB TUJUH BELAS

GERAKAN OIKUNEMISME DI INDONESIA DENGAN PERHATIAN KHUSUS PADA DEWAN GEREJA NASIONAL INDONESIA

Parameter atau indikator yang biasa digunakan untuk memantau proses pergerakan oikumenisme di Indonesia adalah dengan mengacu pada Dewan Nasional Gereja Indonesia yang disebut dengan Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI), Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI, yang didirikan pada tahun 1950 dan sejak tahun 1984 berubah menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, PGI). Namun DGI / PGI, tidak identik dengan gerakan oikumene. Kinerja lembaga ini, terutama selama sepuluh tahun terakhir, mungkin bertentangan dengan semangat gerakan, seperti yang diamati dengan keprihatinan mendalam oleh banyak pemimpin gereja dan pendeta gereja. Selain itu, seperti yang akan kita lihat, ada beberapa dewan atau persekutuan gereja-gereja lain di Indonesia yang juga mengklaim sebagai lembaga oikumene.
Namun, DGI / PGI memainkan peran yang sangat kuat dan signifikan. DGI/PGI secara umum diakui sebagai 'pembawa bendera' dari gerakan ekumenis di negara ini dan — setidaknya sampai tahun 1980-an — bertindak sebagai perwakilan dari Gereja-Gereja Protestan untuk pemerintah dan kepercayaan lain. Karena itu kami akan memberikan perhatian khusus kepada DGI/PGI, dengan mempertimbangkan benih dan perkembangan gerakan oikumene yang cukup lama berjalan sebelum berdirinya serta peran beberapa lembaga atau kelompok lain yang juga mengklaim sebagai ekspresi dan manifestasi dari gerakan dan semangat ini. Dengan melakukan ini kita juga akan melihat beragam dan luasnya pemahaman tentang oikumene di antara gereja-gereja dan orang-orang Kristen di negara ini.

Perkembangan gerakan oikumene di negara ini merupakan bagian dari gerakan internasional, termasuk beragam pemahaman dan ekspresi oikumene. Karena itu kita tidak dapat menghindari sekilas aspek sejarah global, terutama di antara organisasi misi dan konferensi yang memprakarsai gerakan ini. Karena gerakan ini juga dipengaruhi oleh realitas politik dan ideologis (seperti munculnya nasionalisme di antara negara-negara jajahan sejak awal abad kedua puluh), kita juga harus mencatat sejarah ini dalam perspektif global maupun global. Sejalan dengan ini, ide dan gerakan tiga-diri (berdiri sendiri, menyebarkan ajaran kristen dan mandiri) juga membuat kontribusi timbal balik untuk gerakan oikumene, di mana mereka saling mendukung pertumbuhan satu sama lain.
Sebagai survei umum, bab ini terutama bersumber pada publikasi formal dan institusional, tetapi dalam kasus-kasus tertentu juga mencoba untuk memberikan potret nyata dari perkembangan di lapangan. Ruang lingkup gerakan oikumene akan tidak terlalu nampak jika hanya dilihat dalam kegiatan formal atau formulasi. Karena itu isu-isu hangat juga akan dihadirkan untuk melihat dinamika gerakan ini.
Benih-benih dan Para Pionir

Seperti yang telah disebutkan dalam bab enam, pada paruh pertama abad ke-19, raja Belanda dan pemerintah kolonial Belanda memprakarsai lembaga gereja baru di negara ini yang disebut Gereja Protestan di Hindia Belanda, yang biasa disebut Indische Kerk. Berdasarkan perspektif pengakuan, gereja ini memiliki kelemahan yang cukup serius: tidak memiliki identitas pengakuan. Tetapi dari sudut pandang tertentu kita dapat juga mengatakan bahwa gereja ini menyatukan tradisi Reformed, Lutheran dan Protestan lainnya dan tidak menekankan keseragaman doktrinal, sehingga sampai batas tertentu gereja ini juga dapat disebut sebagai salah satu pelopor gereja dengan semangat oikumene.

Sementara itu, dari awal abad ke-19 semakin banyak masyarakat misionaris memilih negara ini sebagai ladang misi mereka. Sudah sejak paruh kedua abad ke-19 dan seterusnya tumbuh kesadaran di antara masyarakat misionaris ini bahwa mereka harus membangun kerja sama di berbagai sektor. Kerjasama pertama adalah di media informasi dan komunikasi (lih. Bab dua puluh satu). Dari 1851 sampai seterusnya mereka menerbitkan bulletin bulanan yang disebut Opwekker (Awakener). Pada awalnya buletin ini diprakarsai oleh masyarakat misionaris, Genootschap voor In- en Uitwendige Zending (Kelompok Masyarakat untuk Misi Internal dan Eksternal) yang dipimpin oleh Pendeta E.W. King, dan dari tahun 1881 hingga 1941 itu diambil alih dan diterbitkan oleh asosiasi misionaris yang baru didirikan dari berbagai badan misi, Nederlandsch Indische Zendingsbond (NIZB). Buletin ini berisi laporan dari berbagai konferensi misionaris dan memberikan ruang yang luas untuk artikel yang merangsang diskusi mengenai pengembangan misi dan gereja, termasuk kerja sama dan persatuan di antara mereka.

Bidang kerja sama yang kedua adalah mempersiapkan pekerja pribumi. Pada tahun 1869 JA. Schuurman, seorang menteri di Batavia / Jakarta, menerbitkan sebuah artikel untuk memanggil orang-orang Kristen di negara ini untuk membangun seminari. Seruan ini direspon secara positif oleh beberapa masyarakat misionaris, dan pada tahun 1878 mereka membangun seminari di Depok, sekitar 35 km selatan Batavia. Banyak perkumpulan misi mengirim siswa dari daerah misi mereka: Tanah Batak, Minahasa, Timor, Sangir-Talaud, serta dari daerah di Jawa. Melalui proses belajar dan mengajar di antara para guru dan siswa mereka diperkaya dan belajar banyak hal berharga dari satu sama lain, dan mengembangkan semangat kerja sama dan persatuan yang kemudian disebut semangat oikumenis. Semangat ini diungkapkan dalam banyak hal ketika para siswa menyelesaikan studi mereka dan kembali ke gereja mereka sendiri.

Seminari Depok ini ditutup pada tahun 1926 karena masyarakat sponsor telah membuka seminari mereka masing-masing dan berencana untuk memulai seminari tingkat yang lebih tinggi atau universitas. Rencana ini diimplementasikan dalam pendirian yang disebut Hoogere Theologische School (Sekolah Tinggi Teologi) pada tahun 1934 (sejak 1936 pindah ke Batavia/Jakarta, dan sejak 1954 dikenal sebagai Sekolah Tinggi Theologia [STT] Jakarta). Peran aliran teologis ini dalam pengembangan semangat dan gerakan oikumenis sangat luar biasa, hingga saat ini. Hendrik Kraemer, salah satu penggagas sekolah ini, mengatakan dalam pidato pengukuhannya bahwa di masa depan keberadaan dan peran sekolah ini akan sangat penting secara teologis dan eklesiastik bagi perkembangan komunitas Kristen Protestan Indonesia yang kuat dan tidak terpecah-pecah, bahkan meskipun gereja dipisahkan oleh faktor geografis dan etnis.

Langkah ketiga menuju kerja sama adalah pembentukan persatuan masyarakat misi yang disebutkan di atas, NIZB, pada tahun 1881, sebagai kesepakatan dan keputusan konferensi misionaris di Seminari Depok pada tahun 1880. NIZB secara teratur menyelenggarakan konferensi misionaris untuk membahas masalah aktual dan masalah yang dihadapi dalam kegiatan misionaris dan penginjilan. Dari tahun 1920-an, NIZB juga membahas perkembangan gereja menuju otonomi dan penghidupan sendiri, serta kerjasama dan persatuan gereja. Dari tahun 1920-an, NIZB juga membahas perkembangan gereja menuju otonomi dan penghidupan sendiri, serta kerjasama dan persatuan gereja. Karena beberapa kendala, hingga konferensi terakhir NIZB di Karang Pandan pada tahun 1941, ide ini tidak dapat diimplementasikan, meskipun komite persiapan telah menyiapkan rancangan konstitusi. Namun, konferensi ini sangat penting karena juga dihadiri oleh beberapa pemimpin adat terkemuka seperti Soewidji, J. Leimena dan Amir Sjarifuddin, yang mengusulkan ide-ide mereka mengenai persatuan gereja-gereja di Indonesia serta sudut pandang dan peran dari gereja-gereja dalam gerakan nasionalis. Mereka juga mengkritik masyarakat misionaris yang tidak membangun dan mendukung kesadaran politik dan semangat nasionalisme di antara orang-orang Kristen pribumi.
Langkah keempat adalah berdirinya Zendingsconsulaat (Konsulat Misi, 1906) sebagai penghubung antara pemerintah dan dewan berbagai masyarakat misionaris di negara ini. Hubungan yang harmonis antara pemerintah kolonial dan konsulat misi di Batavia meningkatkan hubungan harian para misionaris dan pegawai negeri. Hal tersebut juga mempengaruhi kerja sama masyarakat misionaris di Belanda, termasuk pendirian Dewan Misionaris Belanda pada 1929. Konsulat ini ada hingga tahun 1953 dan memainkan peran penting dalam memupuk kerja sama dan pertumbuhan gereja melalui masyarakat misionaris mereka masing-masing.3

Peran komunitas Alkitab juga layak disebutkan. Sebagai lembaga antar gereja dan antar misionaris, Nederlands Bijbelgenootschap (NBG) ditetapkan sebagai organisasi induk untuk Konsulat Misi. Hal yang lebih penting adalah peranan NBG (dan pada tingkat yang jauh lebih rendah peranan British and Foreign Bible Society) dalam menyediakan infrastruktur dan personel yang memenuhi syarat untuk penerjemahan Alkitab dalam sejumlah bahasa Indonesia, dan terutama dalam mencari solusi untuk masalah sulit seperti untuk memilih satu dari banyak ragam bahasa Melayu untuk menjadi bahasa Alkitab Melayu umum yang dapat menggantikan Leijdecker dan, pada abad kedua puluh, terjemahan Klinkert. Namun, masalah ini baru terpecahkan setelah Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) telah mengambil alih kepemimpinan di bidang ini dari NBG (1954).

Di antara gereja-gereja Cina, terutama di Jawa, ada perkembangan yang patut dicatat. Semangat persatuan di antara gereja-gereja ini memiliki hubungan yang erat dengan gerakan nasionalis yang dipimpin oleh Sun Yat Sen, dan gerakan oikumenis di Cina seperti yang terlihat antara lain dalam pendirian NCC di Cina pada tahun 1922. Langkah pertama diambil dalam konferensi mereka di Bogor pada bulan November 1926, dipimpin oleh Pendeta Pouw Peng Hong. Konferensi ini sepakat untuk membentuk forum bagi umat Kristen Cina yang mereka panggil Bond van Chinese Christenen in Indonesiƫ, dengan tujuan untuk menyatukan semua orang Kristen Tionghoa di Indonesia. Terlepas dari beberapa kelemahan, seperti memiliki karakter yang lebih Cina daripada Indonesia, mereka terus berkembang dengan membentuk lembaga baru yang mereka sebut Geredja Tionghoa Serikat. Namun, sampai tahun 1940-an, gagasan untuk menyatukan semua gereja Cina dalam satu lembaga masih menjadi mimpi; mereka hanya dapat membentuk, pada tahun 1948, sebuah dewan untuk gereja-gereja Cina yang mereka sebut Dewan Geredja-geredja Kristen Tionghoa.4
Kami juga harus menyebutkan pendirian organisasi pelajar dan wanita. Pada tahun 1924, Nederlandsche Christen Studenten Vereeniging (Serikat Pelajar Kristen Belanda) mengirim Dr. C.L. van Doorn untuk melayani pemuda dan pelajar Kristen di Indonesia. Pada tahun 1926 Ia mendirikan Christen Studenten Vereeniging [op Java] (Christian Students’ Union [in Java]). Pada tahun yang sama Dr. John R. Mott, seorang tokoh penting dalam gerakan oikumenis dan ketua Federasi Mahasiswa Kristen Dunia, dan beberapa pemimpin lainnya, mengunjungi Indonesia untuk program misi dan pemuda. Selama pertemuan, termasuk konferensi pemuda dan konferensi NIZB, mereka mempromosikan gagasan oikoumene atau persatuan gereja. Kunjungan ini memberikan kesan yang sangat mendalam dan moto dari WSCF, ut omnes unum sint (kutipan dari Yohanes 17:21), mulai dikenal di kalangan orang Kristen Indonesia. Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1928, Christen Jonge Vrouwen Federatie (Federasi Wanita Muda Kristen), yang dipimpin antara lain oleh Ibu Gunung Mulia dan Ibu A.L. Fransz, dibentuk dan diterima sebagai anggota Federasi Kristen Wanita Muda Dunia).

Terakhir tetapi tidak kalah penting kita harus menyebutkan peran Konferensi Misionaris Internasional (IMC). Dalam konferensi pertama di Edinburgh 1910 tidak ada Kristen pribumi dari Hindia Belanda atau Indonesia yang hadir. Delegasi dari Indonesia hanya terdiri dari beberapa misionaris, tetapi Dr. Todung Sutan Gunung Mulia menghadiri konferensi kedua, di Yerusalem pada tahun 1928. Dia terkesan dengan perhatian serius konferensi ini terhadap berbagai masalah sosial-politik-ekonomi yang terkait dengan esensi dan tujuan misi, serta kehadiran perwakilan dari beberapa gereja yang baru berdiri. Itulah sebabnya dalam pidatonya di konferensi NIZB, segera setelah dia kembali dari Yerusalem, dia dengan tajam mengkritik kebijakan misi yang tidak secara serius memperhitungkan beberapa perkembangan internasional atau global yang penting.5

Dengan kata lain, melalui Dr. Gunung Mulia konferensi Yerusalem mendorong gereja-gereja yang baru berdiri di Indonesia untuk memperkuat kesadaran mereka akan persatuan dan kerja sama, dan untuk merefleksikan tugas mereka dengan lebih serius dalam rangka mencapai otonomi. Tidak heran bahwa konferensi IMC ketiga di Tambaram pada tahun 1938 dihadiri oleh lebih banyak orang Kristen Indonesia asli (ada dua belas, di antaranya adalah Ibu A.L. Fransz dan Dr J. Leimena) selain beberapa pemimpin misi yang bekerja di negara ini. Lebih dari yang pertama, konferensi ini mendorong gereja-gereja baru termasuk yang ada di Indonesia untuk lebih serius dalam upaya mengekspresikan persatuan mereka.
Sebagai tindak lanjut dari konferensi internasional ini, beberapa konferensi penting terjadi di negara ini. Salah satunya adalah konferensi WSCF untuk wilayah Asia di Citeureup, dekat dengan Batavia / Jakarta, pada tahun 1933, dihadiri oleh delegasi dari banyak negara barat dan Asia. Dalam konferensi ini CSV op Java yang diketuai oleh Dr. J. Leimena diterima sebagai anggota WSCF. Konferensi ini memberi kesan mendalam pada para peserta dan Dr. Hendrik Kraemer, salah satu pemimpin misionaris yang terus mendesak dan mendorong masyarakat misionaris untuk memberikan otonomi kepada gereja-gereja muda, memuji konferensi ini karena keberhasilannya dalam upaya memfasilitasi dan untuk mendukung persatuan orang-orang muda Kristen. Kemudian, sejak 1947, op CSV Java menjadi Madjelis Pemoeda Kristen Oikoumene.
dan sejak tahun 1954 menjadi Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia. Banyak pemimpin gerakan ini kemudian menjadi pemimpin terkemuka dalam gerakan ekumenis, seperti Fridolin Ukur, Liem Khiem Yang, Sabam Siagian, Sabam Sirait, dan Nico Rajawane.

Menindaklanjuti konferensi Tambaram, pada bulan Januari 1939 para pemimpin beberapa gereja di Jawa bertemu di Batavia / Jakarta untuk membahas kemungkinan pembentukan dewan gereja dan misi di Indonesia. Mereka membentuk komite kerja yang terdiri dari beberapa pemimpin terkemuka, tetapi rencana ini harus ditunda karena pecahnya Perang Dunia II.

Perang Dunia II (1939-1945) dan pendudukan militer Jepang (1942-1945) menghambat kemajuan gerakan ekumenis namun dapat memotivasi timbulnya beberapa langkah baru. Periode yang pendek pada masa pendudukan Jepang menjadi katalisator untuk pengembangan aspirasi oikumenis untuk mempercepat, memperluas dan meningkatkan penyebaran gagasan persatuan Kristen. Gereja-gereja dipaksa untuk menerapkan strategi swadaya dan pemerintahan sendiri masing-masing. Kesulitan dan tekanan yang biasa terjadi memiliki peran penting dalam mengkonkretkan gagasan persaudaraan Kristen (saudara / persaudaraan). Persatuan umat Kristen Indonesia juga diimplementasikan melalui beberapa organisasi yang dibentuk oleh pemerintah militer Jepang, seperti Kiristokyodan Rengokai (Dewan Kristen atau Persekutuan) di Minahasa, Sulawesi Selatan, Kalimantan dan Maluku, yang memberi gereja pengalaman berharga tentang bagaimana hidup dalam semangat dan suasana oikumenis.

Kehadiran dan kegiatan beberapa pendeta kepala yang dikirim oleh Nippon Kirisuto Kyodan (Gereja Kristen Jepang) juga memperkuat pengalaman oikumenis dan memperluas pemahaman orang Kristen Indonesia, meskipun sering dibebani dengan beban politik. Salah satu pendeta kepala, Pdt. H. Shirato, ketua Rengokai, mengatakan: “Orang Kristen Indonesia, bersatu untuk mendukung Dai Nippon!” Tetapi Shirato dan rekan-rekannya tidak hanya meminta orang-orang Kristen untuk mendukung pemerintahan mereka, mereka juga membantu dan membela orang-orang Kristen sehubungan dengan pemerintah, terutama terhadap tindakan brutal personel militer.

Persiapan Menuju DGI

Satu tahun setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dan setelah pembebasan misionaris Eropa dari interniran, sebuah konferensi misionaris diadakan di Batavia / Jakarta pada 10-20 Agustus 1946.
Konferensi ini diprakarsai oleh Zendingsconsulaat dan ada dua masalah utama untuk dibahas: (1) tempat dan tugas misi dan kegiatan misionaris di Indonesia merdeka yang baru, dan (2) rencana untuk mendirikan majelis atau badan oikumene gereja-gereja. Mengenai masalah pertama, JC Hoekendijk, yang akan menjadi seorang missiologis terkemuka, memperkenalkan teologinya tentang kerasulan dan apa yang disebut pendekatan komprehensif yang menekankan tugas gereja sebagai penyebar Injil untuk menghadapi dan merawat umat manusia dan dunia, yaitu sebagai kesatuan yang holistik dan komprehensif. Konsep dan pendekatan ini diadopsi kemudian oleh DGI dan anggotanya, dan dipertahankan hingga saat ini.

Mengenai masalah kedua, diskusi didasarkan pada ide dari M. de Niet (Zendingsconsul 1939–1949). Sebagai hasil dari meditasinya selama interniran Jepang ia menyarankan pada Desember 1945 untuk mendirikan Balai Kristen. Nota de Niet ini mengusulkan agar para anggota majelis ini adalah gereja-gereja Indonesia dan juga gereja-gereja asing yang melakukan misi dan penginjilan di negara ini. Balai ini dipimpin oleh sekretariat dengan sejumlah sekretaris yang ahli di bidangnya masing-masing (dogmatik, misiologi, pedagogi, lingkungan sosial, dan administrasi). Kantor pusat berada di Batavia, dilengkapi dengan berbagai fasilitas (perpustakaan, museum, pondok, dll.) Sementara di beberapa daerah juga akan didirikan dewan Kristen provinsi sebagai bagian dari kamar nasional.

Gereja Protestant Indonesia  menyetujui gagasan ini tetapi konferensi lebih memilih opsi lain, baik pembentukan Gereja yang Esa (Sebuah Gereja yang Bersatu) di Indonesia, atau federasi gereja-gereja di Indonesia. De Niet sendiri sadar bahwa tidaklah mudah untuk membentuk satu Gereja Kristen Indonesia yang bersatu. Itulah sebabnya dalam Nota-nya dia sudah memperingatkan, “Satu Gereja Kristen Indonesia yang sejati tidak dapat dibentuk oleh sekelompok orang atau atas otoritas manusia dalam semalam atau dengan aklamasi atau suara mayoritas. Gereja itu harus berdiri dengan karunia Allah, dan berkembang, walaupun hasilnya mungkin berbeda dari apa yang dipikirkan orang Kristen.”7 Akhirnya konferensi menarik beberapa kesimpulan (tanpa mengambil keputusan),

1.   Kebersamaan gereja-gereja Oekumenis di Indonesia, yang sudah diungkapkan sebelum Perang Dunia II dalam berbagai bentuk, harus dilanjutkan dan diperluas cakupannya.
2.   Sasaran kebersamaan oekumene tersebut adalah pendirian satu gereja tunggal di Indonesia.

3.   Dewan gereja-gereja dan misi di Indonesia direncanakan sebagai badan kerja sama antar gereja-gereja di Indonesia dan gereja-gereja
di Eropa dengan tujuan untuk mengintensifkan dialog mengenai oekumene dan kerja sama antar gereja-gereja.

4.   Karena kondisi politik yang menghambat pertemuan dewan gereja nasional dan misi, disarankan agar gereja and bakal gereja-gereja di beberapa daerah yang berlokasi sejauh mungkin dari dewan regional atau provinsi untuk melakukan dan mempromosikan tugas bersama.

Sementara itu, sebelum konferensi Agustus 1946, di daerah-daerah tertentu seperti di Yogyakarta, diadakan Konferensi Gereja Protestan dan berhasil membentuk Dewan Permoesjawaratan Geredja-geredja di Indonesia. Dalam konferensi ini, dihadiri oleh cukup banyak orang Indonesia asli, beberapa peserta menyatakan aspirasi mereka untuk lebih bertanggung jawab dalam penginjilan dan juga keluhan mereka bahwa misi asing menghambat upaya gereja untuk persatuan dan mengurangi minat gereja-gereja Indonesia dalam menangani sendiri tugas misi dan penginjilan (evangelisme). Karenanya, konferensi ini menyimpulkan bahwa misi asing tidak boleh lagi datang ke negara ini. Mereka mungkin mengirim misionaris mereka, tetapi hanya untuk ditugaskan dan dikelola oleh gereja-gereja di Indonesia.

Kesimpulan ini menimbulkan ketegangan antara Dewan Permoesjawaratan dan kelompok misi. Untuk menetralkan ketegangan, maka kedua belah pihak berkumpul pada Mei 1947 dalam semangat "kemitraan dalam kepatuhan," dan mereka mencapai kesepakatan yang disebut “Kwitang Accoord”. Dalam dokumen ini disepakati, antara lain bahwa gereja-gereja di Indonesia dan mitra gereja asing mereka akan membentuk dewan gereja yang terdiri dari sinode dengan perwakilan dari kedua belah pihak. Meskipun dua kelompok kecil menghasilkan dokumen ini, itu bisa dipahami sebagai titik balik dalam hubungan misi dan gereja-gereja di Indonesia.

Pada akhir konferensi Agustus 1946 di Jakarta beberapa anggota gereja terkemuka dari Indonesia timur mengusulkan sebuah konferensi di wilayah mereka. Mereka sepakat untuk mengadakan konferensi khusus pada bulan Maret 1947 dengan dua item agenda utama: (1) untuk menyatakan kesatuan gereja-gereja dan calon gereja-gereja yang bermunculan; dan (2) membentuk dewan gereja dan gereja yang muncul sebagai cabang dari Balai Geredja Keristen di Indonesia. Sesuai dengan rencana ini, 54 delegasi dari 16 gereja dan beberapa perkumpulan misionaris berkumpul di Malino (dekat Makassar), dan pada 17 Maret 1947 mereka mendirikan Madjelis Oesaha Bersama Geredja-geredja Keristen, yang berpoesat di Makassar, disingkat sebagai Madjelis Keristen.

Badan oikumene ini diterima sebagai anggota semua organisasi misi yang bertujuan untuk melayani gereja. Dalam konstitusi itu juga dirumuskan bahwa salah satu tujuannya adalah untuk menyelidiki pendirian salah satu Gereja Kristen di Indonesia.
 Sejalan dengan ini, konferensi memutuskan bahwa posisi Madjelis Keristen harus sebagai cabang dan proyek percontohan dari badan oekumene nasional yang akan datang: melakukan pekerjaan dalam skala kecil dari hal yang nantinya dilakukan oleh DGI di masa depan. Bahkan, para pemimpin terkemuka di Madjelis Keristen memainkan peran penting dalam pendirian dan pelaksanaan DGI.

Keputusan penting lain dari konferensi Malino adalah pendirian sekolah teologi ekumenis untuk gereja-gereja di Indonesia timur yang kemudian diwujudkan sebagai Sekolah Tinggi Theologia Indonesia Timur (STTIntim) di Makassar.

Selain konferensi dan gerakan di Jawa (Yogyakarta) dan Indonesia bagian timur (Makassar), ada beberapa pertemuan ekumenis di daerah lain, seperti Sulawesi Utara dan Sumatera Timur. Gereja-gereja Cina mengadakan konferensi pada bulan Mei 1948 di Jakarta sebagai kelanjutan dari gerakan sebelum perang, diikuti oleh sebuah konferensi pada bulan September 1949 yang membentuk Dewan Geredja-geredja Kristen Tionghoa di-Indonesia (DGKTI). Selain bertujuan untuk mempererat hubungan dan meningkatkan persatuan di antara gereja-gereja Cina, mereka juga ingin mencari hubungan dengan gereja-gereja di Indonesia, dan mempromosikan penginjilan (evangelisme). Perwakilan dari DGKTI dan anggotanya juga menghadiri konferensi untuk menemukan DGI dan menyatakan kesediaan mereka untuk bergabung dengan dewan tersebut. Namun, DGKTI mempertahankan keberadaannya sampai berubah menjadi Badan Permusjawaratan Persatuan Geredjani (BPPG, Badan Konsultasi Dewan Gereja) tahun 1954. BPPG menyatukan sejumlah gereja Cina di Jawa di Indonesia dengan nama Sinode Am Gereja Kristen Indonesia (Sinode Umum Gereja Kristen Indonesia) pada tahun 1962, yang menghasilkan kesatuan lebih nyata pada tahun-tahun berikutnya.

Gereja Protestant Indonesia (GPI) juga memiliki andil dalam proses pendirian DGI. Meskipun GMIM telah menjadi otonom pada tahun 1934, diikuti oleh GPM pada tahun 1935 dan GMIT pada tahun 1947, hingga tahun 1948 GPI — ketika melahirkan gereja lain, GPIB — tetap mempertahankan keberadaannya sebagai 'gereja induk' bagi gereja-gereja regional tersebut, walaupun GPI juga mendukung Nota de Niet yang disebutkan di atas. Mengikuti ide yang diajukan oleh Pendeta A.Z.R. Wenas, ketua GMIM, GPI mengambil langkah baru dalam konferensi sinode umum kedua pada Juni 1948, dengan menggabungkan otonomi dan persatuan. Di satu sisi GPI berlanjut seperti kulit buah jeruk, dalam mengumpulkan unit-unit otonom bersama — karena itu berfungsi secara berbeda dari model kesatuan mangga atau anggur — dan di sisi lain GPI mendukung unit-unitnya bergabung dengan DGI seperti yang dilakukan oleh GPI itu sendiri. GPI bahkan menyatakan kesediaannya untuk bubar jika gereja-gereja di Indonesia mencapai persatuan dalam bentuk yang lebih sempurna daripada GPI.
Berdirinya Dewan Gereja-gereja di Indonesia, DGI8

Setelah membentuk komite perencanaan yang terdiri dari perwakilan organisasi atau dewan yang disebutkan di atas, komite dan sekitar empat puluh pemimpin gereja dan delegasi mengadakan konferensi persiapan di Jakarta pada bulan November 1949. Beberapa dari mereka baru saja kembali dari sidang raya majelis untuk mendirikan Dewan Gereja-Gereja Sedunia di Amsterdam dan membawa beberapa ide dan konsep baru dari majelis itu yang dianggap dapat memperkaya visi oikumenis untuk dirumuskan dan diimplementasikan dalam dewan nasional mendatang. Salah satu topik yang dibahas dalam konferensi persiapan itu adalah inti dari gerakan oikumenis di antara gereja-gereja, berdasarkan pada kertas kerja yang disiapkan oleh Pdt. J.L.Ch. Abineno.9

Konferensi ini mencapai pemahaman bahwa, meskipun nasionalisme memiliki kontribusi, gerakan oikumenis di Indonesia tidak terutama didasarkan pada nasionalisme tetapi pada kesadaran persatuan Kristen sebagai tubuh Kristus. Konferensi itu juga sepakat bahwa tujuan utama gerakan ini adalah pembentukan satu Gereja Kristen di Indonesia, berdasarkan keyakinan bahwa persatuan esensial sudah ada, dan proses panjang menuju persatuan harus dimulai dengan pembentukan badan yang bekerja sama. Konferensi ini juga menyadari bahwa gerakan dan persatuan tidak terjadi dalam bentuk konferensi tetapi di dalam dan oleh orang-orang dari gereja itu sendiri. Telah disadari juga dalam konferensi ini bahwa gerakan oikumenis ini tidak hanya mewakili suatu gerakan untuk mempersatukan orang-orang Protestan, tetapi semua orang Kristen, bahkan Gereja Katolik Roma dan kelompok-kelompok yang berbeda pendapat. Dalam pesan penutup konferensi ini bahkan ditekankan bahwa gereja tidak mencari persatuan demi persatuan itu sendiri, dan tidak ada untuk dirinya sendiri tetapi untuk seluruh dunia, dan berdiri di tengah-tengah dunia sebagai pelayan dari Injil Kerajaan Allah.

Konferensi persiapan ini juga membahas beberapa agenda dan program lain yang diharapkan akan ditangani kemudian oleh dewan yang akan datang, yaitu hubungan dengan berbagai dewan regional yang ada dan sedang berkembang, perawatan spiritual untuk personil militer, layanan kesehatan dan sosial, penerbitan dan media komunikasi (termasuk radio), sekolah dan pendidikan, pendidikan teologis, masyarakat Alkitab, pemuda, hubungan internasional, bahasa resmi, gereja dan politik, pembagian tugas dan komposisi komisi. Semua hal penting dan operasional ini dirumuskan dalam rancangan konstitusi dan anggaran rumah tangga. Sejumlah pemimpin oikumenis internasional seperti W. Visser t Hooft dan C.W. Ranson juga menghadiri konferensi ini, di mana mereka berbagi informasi tentang gerakan oikumenis global dan menyumbangkan gagasan dan saran mereka mengenai hal-hal tersebut.

Sebagai tindak lanjut dari konferensi persiapan, konferensi pendirian DGI sebagai dewan gereja nasional diadakan pada 22-28 Mei 1950 di kampus HTS / STT Jakarta. Salah satu poin penting dari diskusi adalah apakah dewan ini hanya akan terdiri dari gereja-gereja atau juga masyarakat misi. Akhirnya disepakati bahwa dewan hanya akan menerima gereja-gereja Indonesia sebagai anggota. Sejalan dengan ini, diputuskan bahwa Zendingsconsulaat akan dilikuidasi dan tugasnya, termasuk tugas mewakili gereja-gereja kepada pemerintah, akan diambil alih oleh DGI. Mengenai kegiatan misi dan penginjilan yang sebelumnya dilakukan oleh berbagai masyarakat misionaris, konferensi tersebut sampai pada pemahaman bahwa kegiatan misi dan penginjilan adalah tugas yang secara mendasar bagi gereja. Untuk mengoordinasikan tugas ini, DGI akan membentuk komisi permanen dan gereja-gereja akan berkumpul dalam komisi ini bersama dengan masyarakat misi asing.

Mengenai tujuan oekumene, disepakati dan dirumuskan dalam konstitusi bahwa tujuan akhir dari dewan ini adalah pembentukan Gereja Kristen yang Esa di Indonesia. Setelah penerimaan dan persetujuan konstitusi, konferensi yang terdiri dari perwakilan dari 27 gereja menyatakan pembentukan DGI melalui Pengumuman 10 sebagai berikut:

Kami, peserta Konferensi untuk Pembentukan Dewan Geredja-geredja di Indonesia, bersama ini mengumumkan bahwa Dewan Geredja-geredja di Indonesia telah berdiri sebagai tempat konsultasi dan wadah untuk melakukan segala upaya bersama dengan gereja-gereja di Indonesia menuju kesatuan gereja-gereja di Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi Dewan Geredja-geredja di Indonesia yang telah diputuskan dalam konferensi pada tanggal 25 Mei1950. Kami percaya bahwa pendirian Dewan Geredja-geredja di Indonesia, sebagai upaya menuju implementasi pesan Tuhan kepada umat-Nya, hanyalah rahmat Tuhan. Kami memercayai dewan ini ke tangan Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Semoga Tuhan selalu bersama kita sejak saat ini dan selamanya, untuk kemuliaan nama Tuhan di dunia ini. Djakarta 25 Mei 1950.

Selain mengangkat komite eksekutif (di mana Todung Sutan Gunung Mulia diangkat sebagai ketua pertama), konferensi ini juga meluangkan waktu untuk membahas perilisan buletin Berita mengenai deklarasi pendirian Republik Maluku Selatan (RMS, gerakan separatis) pada tanggal 25 April 1950, tetapi kemudian setuju bahwa konferensi akan mempercayakan masalah ini untuk ditangani oleh Komite Eksekutif yang baru terpilih.

Beberapa perkembangan dan tantangan, terutama pada konsep persatuan 11

Dalam pendirian DGI, dua aspirasi disatukan, yaitu mengesa (menjadi satu) dan mandiri (menjadi mandiri). Dalam konferensi pendiri tahun 1950 (kemudian juga dianggap sebagai majelis umum pertama DGI) tujuan dewan juga dinyatakan, tetapi makna atau isi tujuan yang tepat dan bagaimana pencapaiannya belum ditentukan. Pada tahun-tahun dan masa bakti berikutnya, ada banyak diskusi dan perjuangan mengenai pertanyaan-pertanyaan ini. Dalam konferensi kedua, 20–30 Juni 1953, misalnya, dirumuskan bahwa, “yang dimaksud dengan pembentukan Gereja Satu Kristen adalah pembentukan satu Gereja Kristus di Indonesia yang memiliki satu pengakuan dan satu atura dasar gereja." Berdasarkan hal ini, DGI membentuk komite khusus Faith (Keimanan) and Order (Perintah), mencontoh apa yang dilakukan di WCC. Tugas komite ini adalah untuk menyesuaikan dan menyatukan pengakuan (pernyataan iman) dan perintah gereja dari para anggota untuk memiliki kesamaan landasan persatuan. Tetapi kemudian disadari bahwa pendekatan komparatif ini tidak sesuai dengan esensi dan sifat gereja, karena norma-norma kesatuan gereja tidak ditentukan oleh realitas historis dan empiris gereja.

Dari waktu ke waktu, dari konferensi ke konferensi, diskusi tentang esensi dan makna persatuan gereja dan bagaimana mengekspresikan manifestasinya berlangsung, tanpa hasil atau persetujuan akhir. Kami tidak akan menghubungkan berapa banyak kertas kerja dan dokumen yang telah ditulis dan disajikan pada subjek ini. Di satu sisi ada penekanan pada kesatuan spiritual atau esensial, sedangkan di sisi lain ada penekanan pada keseragaman beberapa aspek kelembagaan dan lebih operasional. Pada 1960-an, terdapat sebagian pihak yang dipengaruhi oleh majelis WCC ketiga di New Delhi, terkait gagasan bahwa persatuan harus dinyatakan dengan jelas di setiap tempat atau di tingkat lokal, bukan di tingkat atas atau tingkat sinode. DGI mencoba menerapkan ide ini melalui konsensus praktis bahwa setiap gereja-anggota harus menahan diri dari penambahan jemaat baru di wilayah gereja-gereja lain, sehingga jemaat lokal dari berbagai denominasi dapat lebih diarahkan menuju integrasi. Atau setidaknya semua anggota harus bersedia untuk mencapai kesepakatan tentang pengakuan timbal balik dari para anggota dan menahbiskan minister dari gereja-gereja anggota DGI lainnya.



Terjemahan Artikel: Memori Kolektif dan Konsep Memori Kolektif dalam Ilmu Kearsipan



Terjemahan ini tidak lengkap karena panjang banget, jika ingin file lengkap email aza...

Diskusi mengenai ‘‘ memori kolektif ’: memetakan munculnya konsep memori kolektif dalam ilmu kearsipan

Trond Jacobsen   Ricardo L. Punzalan

Margaret L. Hedstrom


Published online: 19 April 2013
Springer Science+Business Media Dordrecht 2013


Abstraksi konsep ‘‘ kolektif ’atau‘ ‘sosial’ ’telah menjadi semakin menonjol dalam wacana arsiparis selama beberapa dekade terakhir. Lembaga kearsipan sering ditandai sebagai lembaga penting dari memori sosial, dan banyak kegiatan profesional di dalamnya dianggap sebagai bentuk pelestarian memori. Artikel ini menyajikan analisa sistematis tentang hubungan antara arsip dan memori kolektif sebagaimana diartikulasikan dalam literatur arsip berbahasa Inggris. Pertama-tama penulis mengidentifikasi tema-tema utama mengenai ingatan kolektif dan mengelompokkan tulisan-tulisan arsip ke dalam empat pokok bahasan utama. Kami kemudian menganalisis kutipan yang diambil dari 165 artikel tentang memori kolektif yang diterbitkan antara 1980 dan 2010 di empat jurnal studi kearsipan berbahasa Inggris. Kami mengidentifikasi para peneliti dan publikasi mereka yang paling berpengaruh dan melacak evolusi konsep memori kolektif dalam literatur tersebut. Dengan membandingkan literatur arsip pada memori kolektif dan artikel yang diindeks di Web Ilmu Pengetahuan Thomson dan di Google Cendekia, penulis mengidentifikasi disiplin ilmu tertentu, siapa penulisnya, dan karya arsiparis yang meneliti tentang memori kolektif yang mungkin berguna sebagai bahan studi. Penulis menemukan bahwa secara umum literatur kearsipan tentang memori kolektif cukup sempit dan hanya merujuk pada lingkup internal komunitas kearsipan saja. Tulisan ini merekomendasikan arsiparis untuk secara aktif melibatkan disiplin ilmu lain ketika melakukan penelitian memori kolektif.

Kata kunci Memori kolektif memori sosial memori publik lembaga kearsipan dan memori kutipan analisis transdisipliner

Konsep ‘‘ kolektif ’atau‘ ‘sosial’ ’telah menjadi semakin menonjol dalam akademi selama 30 tahun terakhir. Minat akademisi dalam memahami bagaimana individu, keluarga, kelompok sosial, dan bangsa mengenal dan mengingat masa lalu terbukti dalam bidang-bidang seperti sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, studi komunikasi dan studi budaya, di antara banyak lainnya. ‘‘ Studi memori” muncul sebagai bidang multidisiplin berbeda yang mengembangkan konsep inti dan definisi memori kolektif, yang merupakan metode baru untuk menganalisis dinamika pembentukan dan transmisi memori, dan model untuk pekerjaan komparatif lintas budaya, tempat, dan waktu (Misztal 2003).

Para arsiparis juga sangat tertarik pada memori kolektif dan banyak yang mengklaim adanya hubungan khusus antara arsip dan ingatan. Lembaga kearsipan sering ditandai sebagai lembaga penting yang menjadi bagian dari memori sosial, dan banyak kegiatan profesional dianggap sebagai bentuk pelestarian memori. Contoh upaya terbaru menunjukkan kedalaman minat menngenai memori oleh banyak orang di komunitas kearsipan.1 Sejumlah buku dan koleksi esai yang diedit oleh arsiparis diterbitkan tentang masalah ini.2 Jurnal Archivaria (2002) dan Archival Science (2001 and 2011) membahas berbagai masalah mengenai memori kolektif dan jurnal terkemuka lainnya, seperti American Archivist dan Archives & Manuscripts, secara teratur menerbitkan artikel yang meneliti berbagai aspek mengenai memori dan arsip. Jelas arsiparis tertarik pada memori kolektif.

Hubungan antara arsip dan memori yang diindekskan di dalamnya adalah perhatian khusus kami. Tujuan kami adalah untuk lebih memahami bagaimana ide dan konsep ingatan kolektif diperkenalkan, diadopsi, dan diedarkan di kalangan arsiparis. Kami menyadari ada ribuan artikel dan monografi tentang topik tersebut, tetapi gagasan mana yang berhasil dan siapakah penulis yang berhasil mengartikan gagasan ini?3 Bagaimana gagasan memori kolektif memasuki wacana kearsipan dan bagaimana memori itu digunakan dalam literatur kearsipan?
Tulisan ini menyajikan penelitian sistematis tentang hubungan antara arsip dan memori kolektif sebagaimana diartikulasikan dalam karya ilmiah kearsipan berbahasa Inggris.4 Pada bagian pertama, tulisan ini mengidentifikasi tema-tema utama seputar konsep memori kolektif yang ditemukan dalam kumpulan karya yang dipilih oleh para arsiparis dan menempatkan tulisan-tulisan arsip itu ke dalam empat pokok bahasan utama. Bagian pertama berisi survey bidang baru dari pokok ilmiah memori kolektif dan mensintesis berbagai topik yang dbahas oleh para arsiparis agar dapat mengungkapkan dengan lebih baik bagaimana hubungan antara memori arsip dan memori kolektif diartikulasikan. Analisis tulisan ini menggarisbawahi kedalaman minat para arsiparis.

Pada bagian kedua, terdapat analisis kutipan tentang memori kolektif yang diekstraksi dari 165 artikel yang diterbitkan antara 1980 dan 2010 di jurnal arsip berbahasa Inggris terkemuka seperti American Archivist (USA), Archivaria (Canada), Archives & Manuscripts (Australia), dan the international journal Archival Science.5 Selain itu, terdapat identifikasi para sarjana yang paling berpengaruh dibidangnya, bagaimana dan seberapa sering ide-ide baru memasuki wacana kearsipan, dan seberapa sering karya-karya terkenal tersebut digunakan. Di bagian ini pembaca diajak untuk beralih dari survei dan mensintesis makna menjadi analisis pengaruh ilmiah dan perilaku kutipan.
Melalui kombinasi metode dan menitik beratkan fokus utama penelitian, kami percaya karya ini menawarkan wawasan tentang apa itu memori kolektif sehingga mengundang perhatian para sarjana arsip, bagaimana mereka menggunakan memori kolektif dalam kehidupan sehari-hari mereka, dan siapakah para cendekiawan dan kaum penganut tradisi ilmiah yang paling mempengaruhi gagasan mengenai memori kolektif. Dalam kesimpulan, kami menyampaikan analisis data yang isinya berupa rekomendasi untuk memberikan kesempatan bagi arsiparis agar lebih terlibat dalam literatur non-arsip yang berguna bagi kepentingan mereka dan untuk kepentingan orang-orang lain di bidang studi lain, terutama bagi para ahli yang berpartisipasi dalam bidang memori kolektif.

Berbagai Pemahaman Mengenai Memori dalam Arsip

Pada bagian ini, kami mengategorikan sejumlah pendekatan berbeda yang digunakan oleh arsiparis yang menggunakan konsep memori kolektif. Apakah dan bagaimana substansi memori kolektif digunakan oleh arsiparis dan dapat berkontribusi pada diskusi studi mengenai memori kolektif yang lebih luas?
Para sarjana kearsipan menggunakan konsep memori dengan banyak cara untuk menggambarkan peran arsip dan dokumen dalam masyarakat. Kami telah membatasi 4 pokok bahasan utama yang ditemukan dalam sumber literature berbahasa Inggris. Pokok bahasan pertama adalah lembaga arsip sebagai lembaga warisan dan berfokus pada peran mereka sebagai landasan simbolik untuk memori kolektif; misalnya, berbagai cara peggunaan arsip sehingga memungkinkan untuk menjadikan perasaan yang timbul pada masa lalu yang secara umum dialami bangsa menjadi identitas kolektif. Pokok bahasan kedua adalah mengkritik peran arsip, lembaga kearsipan, dan arsiparis dalam penciptaan, konstruksi, dan penyebaran ingatan sosial. Pokok bahasan ketiga melacak hubungan di antara Arsip, memori dan kekuasaan sosial. Contohnya termasuk karya tentang posisi etis lembaga kearsipan sebagai lembaga sosial dan peran arsip dalam peringatan dan ingatan publik. Akhirnya, memori digunakan untuk mengusulkan cara memanfaatkan sifat arsip sebagai bukti dan artefak masa lalu termasuk gagasan tentang "memori arsip". (Brothman 2001). Keempat pokok masalah di atas tidakbersifat ekslusif satu sama lain melainkan saling berhubungan dan terkait.  

Mewujudkan warisan dan identitas kolektif
Sebuah uraian awal yang terkenal dalam literatur kearsipan menggabungkan arsip dengan warisan dan mengilustrasikan cara arsip dapat membantu menciptakan rasa identitas kolektif. Seorang ahli dari Kanada Hugh A. Taylor adalah arsiparis pertama yang menangani hubungan arsip dengan ingatan kolektif dalam esainya tahun 1982 ‘‘The Collective Memory: Libraries and Archives as Heritage’’ (Taylor 1982–1983). Terinspirasi oleh ide-ide seputar pelestarian warisan, Taylor berpendapat bahwa dokumen, seperti bangunan bersejarah, situs arkeologi, atau karya seni hebat, adalah artefak warisan. Sebagai bukti masa lalu, ia berpendapat bahwa arsip adalah media komunikasi yang kuat bagi pembaca, memberikan rasa kedekatan dengan masa lalu dan memiliki kualitas estetika dan emosi pada diri mereka sendiri” (Taylor 1982–1983, p. 123). Dengan demikian, arsip harus dilindungi dari kehancuran atau kemusnahan akibat diabaikan, direproduksi, atau penghilangan akses. Taylor menulis di tengah-tengah keadaan dimana boom ‘warisan budaya,’ yang merupakan awal dari upaya intens dan berkelanjutan oleh sektor warisan untuk melestarikan sisa-sisa masa lalu, sedang terjadi. Dorongan untuk melindungi ekspresi warisan yang otentik dan unik menjadi perhatian utama dalam masyarakat yang secara perlahan kehilangan koneksi dengan masa lalu mereka.

Taylor meminta para arsiparis untuk mempertimbangkan peran mereka dalam pekerjaan pengelolaan warisan dan untuk membuat program publik yang menyoroti aspek koleksi warisan sambil bekerja sama dengan lembaga pengelola warisan lainnya, seperti perpustakaan dan museum. Satu dekade kemudian, ia memperbarui seruan untuk kerja sama ini dengan menggarisbawahi bahwa arsip tidak memiliki ‘‘monopoli memori kolektif,’ yang mencakup semua bukti masa lalu yang masih hidup ’ (Taylor 1995). Pada tahun 1995, Taylor memperluas gagasan tentang rekaman itu dengan membingkainya sebagai ‘material budaya,’’ sebuah konsep yang dipinjam dari studi arkeologi, antropologi, dan studi heritage. Taylor mendukung perlunya memahami arsip, terutama selama masa aktifnya, sebagai ‘‘ instrumen 'yang kuat untuk melakukan urusan birokrasi dan hubungan sosial. ‘‘arsip , "tulis Taylor," telah, dalam satu atau lain cara, berdampak pada kehidupan orang-orang yang di dalam dokumen tersebut mereka diarahkan.’’ Dalam hal ini, Taylor menghubungkan arsip dengan sisa-sisa budaya lain yang membangkitkan hubungan dengan masa lalu.

Memahami arsip di luar konteks sejarah, utilitarian, yuridis, atau administratif tradisional telah menjadi fitur utama dalam menghubungkan arsip dengan warisan dan memori. Seorang ahli kearsipan Amerika James O’Toole, misalnya, telah mengartikulasikan gagasan signifikan mengenai ‘makna simbolis’ dari arsip yang memberikan lebih banyak ruang untuk menafsirkan arsip dalam konsepsi ‘‘ simbolik ’yang lebih luas (O’Toole 1993). Caranya dengan Menjelajahi bagaimana arsip memicu rasa warisan kolektif dan mengilhami lebih banyak refleksi tentang bagaimana arsip sebagai lembaga sosial yang berperan dalam penyebaran kesadaran kolektif.

 Banyak ahli menganggap arsip sebagai situs di mana politik penyertaan dan pengucilan dalam ingatan publik dan arsip adalah tempat membuat dan menyelaraskan narasi resmi. Seperti yang dinyatakan Terry Cook, 'Mengingat secara Kolektif' - dan' melupakan '- terjadi di dalam galeri, museum, perpustakaan, situs bersejarah, monumen bersejarah, situs peringatan publik, dan arsip - mungkin terutama melalui ditemukan dalam arsip ’ (Cook 1997). Berbagai tulisan dalam uraian ini menggambarkan bagaimana masyarakat memperoleh pengertian tentang masa lalu sebagaimana terkandung dalam koleksi arsip dan bagaimana repositori digunakan untuk menandakan asal-usul sejarah bersama (Harvey-Brown and Davis-Brown 1998; Punzalan 2006).

Memikirkan kembali, membingkai ulang, dan mendefinisikan kembali arsip
Penggunaan kedua ‘‘memori ’menarik perhatian pada keterbatasan arsip dinamis dan statis sebagai perwujudan peristiwa masa lalu atau sumber ingatan kolektif. Tulisan mengenai topic ini menimbulkan pertanyaan yang menantang tentang bagaimana pengaruh lembaga kearsipan dalam membentuk memori, dan jenis-jenis ingatan yang bagaimana yang dihasilkan dan bersifat otentik dalam arsip. Pembahasan dalam topik ini secara kritis dilakukan dengan cara memeriksa peran arsip sebagai penjaga atau fasilitator memori. Yaitu dengan cara memahami hubungan langsung antara memori dan arsip. Misalnya, Joan Schwartz dan Terry Cook pernah mengklaim bahwa ‘‘Memori, seperti halnya history, berakar pada arsip. Tanpa arsip, memori akan terputus-putus, pengetahuan tentang prestasi memudar, kebanggaan dengan masa lalu yang terbagi menghilang ' (Schwartz and Cook 2002). Ahli lain menekankan tentang ambiguitas hubungan antara arsip-memori. Misalnya, Barbara Craig menggambarkan memori sebagai konsep yang kuat yang sering dianggap memiliki makna yang jelas, tetapi pada kenyataannya sering tidak jelas atau menyesatkan (Craig 2002). Francis X. Blouin, Jr. dan William G. Rosenberg mengamati bahwa hubungan arsip-memori memaksa kita melihat ‘‘ batas-batas spasial ’dari arsip (Blouin and Rosenberg 2007).

Konteks sosial di mana arsip terkait dengan memori, dan apakah pengetahuan yang dibangun dari sumber-sumber kearsipan menjadi ingatan sosial, perlu diteliti lebih lanjut. Michael Piggott mencirikan asosiasi kasual antara arsip dan memori sebagai suatu hal yang bersifat‘‘ riang ’namun kurang menarik bagi memori (Piggott 2005a). Demikian pula, Margaret Hedstrom berpendapat bahwa meskipun secara retoris menggoda untuk mengasosiasikan arsip dengan ingatan, namun syarat dan ketentuan hubungan antara arsip dan memori tidak dipahami dengan jelas (Hedstrom 2010). Untuk Menyerukan karakterisasi yang lebih bernuansa atau dikalibrasi, para pihak yang skeptis mengutip kurangnya bukti langsung yang menunjukkan bagaimana arsip atau arsiparis dan fungsi arsip berperan dalam pembangunan memori. Tulisan yang dari kelompok skeptic ini dan karya-karya serupa mempermasalahkan pandangan yang diterima begitu saja bahwa arsip dan memori adalah konsep yang setara.

Sementara itu, pihak lain bereaksi terhadap kepercayaan tradisional bahwa arsip memberikan bukti netral, andal, atau lengkap dari tindakan masa lalu. Richard Harvey-Brown dan Beth Davis-Brown berpendapat bahwa pekerjaan kearsipan memiliki motivasi dan konsekuensi politik yang melekat (Harvey-Brown and Davis-Brown 1998). Mereka berpendapat bahwa fungsi kearsipan standar seperti seleksi, pengelolaan, dan pelestarian dapat secara langsung memengaruhi memori sosial. Verne Harris menyimpulkan bahwa arsip hanya terdiri dari 'potongan' peristiwa dan proses yang seharusnya diwujudkan atau diungkapkan oleh rangkaian dokumen secara keseluruhan. (Harris 2002). Dia meminta arsiparis untuk mengklaim lebih sedikit dan memberikan lebih banyak, dan berpendapat bahwa arsip tidak memberikan narasi lengkap tentang peristiwa masa lalu tetapi hanya ‘‘serpihan dari potongan” dari apa yang sebenarnya telah terjadi.
Arsip, menurut Ketelaar, adalah saksi yang tidak bisa diandalkan — sering dimanipulasi untuk mewakili perspektif rezim yang menindas — dan dengan demikian memberikan dasar yang buruk untuk konstruksi memori apakah oleh elit lama yang dominan atau masyarakat yang baru berubah seperti yang terjadi di Afrika Selatan pasca-Apartheid. Dengan kata lain, arsip tidak secara meyakinkan menghadirkan ‘memori kolektif,’ melainkan sebagian kebenaran (Harris 1997).

Metafora kadang-kadang digunakan untuk memberikan karakterisasi yang lebih bernuansa peran arsip dalam konstruksi memori. Laura Millar, misalnya, menolak anggapan bahwa arsip adalah ingatan mereka sendiri; alih-alih, arsip merupakan ‘batu sentuhan’ yang memicu ingatan dan kenangan akan peristiwa masa lalu, tetapi hanya jika mereka diakses, dibaca, dan digunakan (Millar 2006). Hedstrom menggunakan konsep desain komputer ‘antarmuka’ untuk menggambarkan bagaimana arsiparis berfungsi sebagai perantara antara dokumen dan penggunanya dengan cara yang memungkinkan, tetapi juga membatasi, interpretasi dari masa lalu ' (Hedstrom 2002). Demikian pula, Robert McIntosh menggunakan gagasan ‘‘ asal usul ’untuk menekankan peran mediasi para arsiparis dalam penciptaan ingatan saat mereka ‘mempraktikkan politik ingatan, dan penentuan dari apa yang akan diingat ’ (McIntosh 1998). Jeanette Bastian menawarkan ‘‘ komunitas kearsipan ’sebagai kerangka kerja untuk memahami dinamika arsip dan memori masyarakat sambil memperluas gagasan tentang asal-usul dan kepemilikan arsip (Bastian 2003). ‘‘ Teks memori ’adalah konsep lain yang digunakan beberapa orang untuk menggambarkan arsip dan dinamika memori komunitas. Secara terpisah, Bastian dan Eric Ketelaar menggunakan ungkapan ‘‘teks memori ’untuk menekankan perlunya melampaui batas format arsip tradisional untuk mewujudkan kinerja budaya dan mendistribusikan kenangan. (Bastian 2006; Ketelaar 2005).

Beberapa tulisan menyarankan bahwa memori adalah hal yang berharga dan dapat direkam di luar repositori arsip dengan atau tanpa arsip dan meskipun terdapat pembatasan arsip. Bastian, misalnya, menyerukan para arsiparis untuk berperan lebih aktif dalam mendokumentasikan manifestasi dan ekspresi memori kolektif untuk meningkatkan koleksi arsip dan memfasilitasi ‘keberlanjutan arsip yang berisi peristiwa dan ingatan’ (Bastian 2009, p. 129). Dia menganggap ‘‘memori sebagai perpanjangan dari peristiwa itu sendiri ’dan menghubungkan memori dan kontra-memori melalui arsip‘ ‘mungkin menjadi salah satu cara untuk menambah, meningkatkan, dan mengontekstualisasikan arsip, sebagai cara untuk mengisi beberapa ruang tidak berdokumen dan tidak terdokumentasi ' (Bastian 2009, p. 119). Dalam hal ini, memori terdapat di luar arsip tetapi dapat dimobilisasi untuk meningkatkan dan memfasilitasi penyimpanan arsip.

Ahli lain percaya bahwa arsip dapat dipahami oleh publik, arsiparis perlu menemukan cara yang lebih baik untuk berinteraksi dengan publik yang lebih luas, terutama peneliti dan sarjana. Richard Cox berpendapat bahwa arsip dapat secara aktif melibatkan dan bahkan mempromosikan memori kolektif dengan cara penjangkauan, pemrograman publik, dan advokasi (Cox 1993). Fungsionalitas interaktif yang semakin meningkat dari World Wide Web juga telah diusulkan sebagai celah bagi arsip untuk terlibat atau menumbuhkan memori kolektif. Ketelaar, misalnya, mengeksplorasi bagaimana teknologi web dapat memungkinkan penggunaan arsip secara publik sehingga memungkinkan untuk menyajikan berbagai versi peristiwa yang terkandung dalam arsip dengan menyesuaikan rekaman untuk narasi spesifik mereka sendiri. Teknologi dalam pandangannya dapat membuka arsip sebagai ‘ruang memori’sosial (Ketelaar 2008).

Studi-studi ini menunjukkan keinginan yang berkembang untuk menilai fungsi arsip dan arsiparis dalam masyarakat dan untuk memperluas konsepsi signifikansi kearsipan dan memori.
Selain itu, dialog penting namun kurang dapat berkembang telah dimulai tentang peran fungsi kearsipan dalam membentuk penciptaan memori.

Arsip, Kekuasaan Sosial dan Etika
Dengan frekuensi pembahasan yang terus meningkat, para arsiparis mulai mempelajari posisi sosial dan tanggung jawab mereka sebagai peserta dalam fenomena memori kolektif ini. Dalam uraian ini, memori disebutkan sering digunakan untuk mempelajari peran etis para arsiparis dalam kaitannya dengan komunitas yang terpinggirkan dan upaya untuk mencapai keadilan. Sebagai contoh, dalam isu yang baru-baru ini dibahas dala jurnal Archival Science, isu tersebut disampaikan oleh editor David Wallace (2011) yaitu, menempatkan arsip dalam dinamika kompleks ‘‘etika konstruksi memori.’’ Wallace menginterogasi hubungan antara arsip, memori, politik dan keadilan, dan menempatkan arsiparis dalam proses politik yang mendalam untuk membangun versi tertentu dari masa lalu. Pada saat yang sama, ia mengakui adanya tantangan untuk mempromosikan dan mencapai keadilan sosial, hasil yang sulit dipahami tetapi kuat dalam konteks politis seperti itu. (Wallace 2011). Adalah suatu hal yang perlu dilakukan untuk mempelajari hasil dari para arsiparis terutama yang berhubungan dengan masa lalu karena hal ini bisa berubah, karena, masa lalu dapat menjelaskan ketidakadilan yang telah terjadi dan dapat mengungkapkan struktur kekuasaan.

Menulis arsip di luar negara maju, Michelle Caswell (2010) dan Ricardo Punzalan (2009) secara terpisah menggambarkan bahwa arsip, baik sebagai catatan maupun ruang sosial, dapat memfasilitasi ingatan atau peringatan publik. Caswell (2010) berpendapat bahwa sementara catatan dapat menjadi pengingat yang kuat akan rezim yang menindas dan digunakan sebagai bukti dalam upaya mencari keadilan dan akuntabilitas, arsip juga dapat berfungsi sebagai situs di mana para korban, penyintas, dan keluarga mereka melakukan tindakan memorialisasi yang melampaui lembaga sosial lainnya, seperti pengadilan kriminal internasional dan komisi kebenaran. Caswel menulis bahwa ‘‘arsip berhasil menciptakan ingatan publik tentang Khmer Merah dengan cara di mana Tribunal tidak’ (Caswell 2010, p. 41). Demikian pula, Punzalan (2009) menunjukkan bagaimana penciptaan arsip berfungsi sebagai pengingat untuk para mantan orang-orang yang menderita kusta ketika mereka sedang dalam masa sulit di era kolonial. Dalam konteks ini, arsip telah berfungsi sebagai situs peringatan bagi komunitas terlantar atau tertindas.
Semakin banyak tulisan yang membahas terkait memori dengan arsip yang dikumpulkan dan dihasilkan oleh pengadilan hak asasi manusia dan komisi kebenaran. Tulisan-tulisan tersebut membahas memori dalam kerangka sebagai saksi atau memberikan kesaksian dan dampak selanjutnya dari arsip-arsip yang diciptakan dalam keadaan ini dalam rekonsiliasi, keadilan sosial, dan penulisan sejarah. Nannelli (2009), contohnya, mengakui adanya masalah dari arsip yang dibuat oleh komisi yang menyelidiki pelanggaran HAM yang dilaporkan di Timor Lorosae di bawah rezim Indonesia. Dia mengungkapkan adanya kompleksitas ketika mengandalkan kesaksian individu dan kolektif yang diambil dari memori orang-orang yang dalam suasana politik dimana komisi kebenaran bekerja, inilah kesulitan yang di alami oleh komisi kebenaran. Meskipun demikian, kesaksian yang dihasilkan dalam proses semacam itu dapat menjadi penting untuk memastikan bahwa kejahatan seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi meskipun kurangnya materi atau bukti lain dari kekejaman masa lalu. Dengan demikian, penting untuk mengingat konteks penciptaan arsip-arsip ini, dan konteks situasi yang membentuk isi arsip dan bagaimana arsip tersebut dibaca dan digunakan ' (Nannelli 2009, p. 39).
Josias (2011) menunjukkan bagaimana transformasi politik dan pencarian keadilan sosial dapat memberikan dorongan untuk penciptaan memori dan ingatan publik. Jika memori dianggap tidak berada secara eksklusif dalam repositori arsip, kegiatan arsip dan berbagai bentuk dokumentasi tidak dibatasi dalam dinding lembaga arsip. Dia menggambarkan upaya berbagai lembaga untuk membangun Afrika Selatan ‘‘baru” pasca-apartheid melalui pameran publik, koleksi sejarah lisan, dan dialog publik. Sementara di luar lembaga kearsipan tradisional, upaya kearsipan ini membantu membentuk dan mempertahankan ingatan masyarakat dan kelembagaan.

Bagi Valderhaug (2011), arsiparis secara etis dipanggil untuk menggunakan keahlian mereka untuk ‘‘menemukan dokumentasi apa pun yang dapat ditemukan ’dalam rangka mengakomodasi salah satu tujuan dari memori akan keadilan. Ketika terdapat sangat sedikit bukti, jika ada, untuk mendokumentasikan kejahatan terhadap suatu komunitas, memori bisa menjadi kekuatan yang kuat yang dapat menopang upaya untuk mencari keadilan dan retribusi. Dalam beberapa kasus, arsip diharapkan memberikan bukti dari "kebenaran" dari memory itu sendiri.’’ Diskusi yang muncul ini mengkaji bagaimana arsip digunakan untuk mencari keadilan bagi tindakan ketidakadilan di masa lalu atau bahkan yang terlupakan.

perkembangan global yang mendukung hak asasi manusia dan pembentukan pengadilan dan komisi kebenaran mungkin telah mengilhami para arsiparis untuk merenungkan peran mereka dalam mengejar keadilan dan perbaikan sosial. Selain memberikan bukti kekejaman, arsip juga bisa menjadi ruang untuk mengenang, mengingat, dan memulihkan memori.

Menemukan memori dalam arsip

Penggunaan lain memori dalam kajian kearsipan ditujukan untuk membangun tempat unik di lapangan dalam memahami dinamika transmisi dan konstruksi memori kolektif. Seperti yang pernah ditanyakan oleh Michael Piggott, ‘‘Jadi, apakah terdapat memori kearsipan dan memori perpustakaan atau museum yang berbeda, ketika semua secara kolektif sekarang akan ditata sebagai lembaga memori? ' (Piggott 2005a, p. 64) Dalam hal ini, kita dapat mempertimbangkan bagaimana konsep memori arsip telah dieksplorasi.

Foote (1990) mungkin adalah orang pertama yang mengilhami pemikiran seperti itu di lapangan dengan menyoroti kapasitas arsip dalam ‘‘ memperluas jangkauan komunikasi temporal dan spasial.’’ Foote menempatkan arsip di antara berbagai sumber daya komunikasi yang dapat memfasilitasi transfer informasi secara terus menerus lintas generasi. Demikian pula, Jimerson (2009, p. 211) berpendapat bahwa ‘‘ mendokumentasikan pengingat masa lalu, ’ dapat digunakan dan ditafsirkan dalam berbagai cara. Dokumen-dokumen semacam itu bukan memori, tetapi pengganti memori. Foote dan Jimerson melampirkan memori ke objek tetap untuk mengabadikannya dari waktu ke waktu. Hedstrom (2010) baru-baru ini menyimpulkan bahwa ‘‘Arsip adalah sumber untuk penemuan potensial atau pemulihan ingatan yang telah hilang’’ dan bahwa tantangannya adalah untuk memahami bagaimana arsip dimobilisasi dalam proses tersebut.
Selain memahami peran arsip sebagai sumber memori tersembunyi atau yang telah hilang, uraian ini juga menantang para pemikir arsip untuk merefleksikan asumsi yang tidak disebutkan dan konseptualisasi tentang sifat masa lalu yang memengaruhi akses dan pelestarian. Brothman (2001) mengundang berbagai pihak untuk melakukan eksplorasi lebih lanjut dari konsepsi kearsipan masa lalu dan bagaimana arsip terlibat dalam mendefinisikan dan membangun versi masa lalu.
Memposisikan tempat arsip dalam dinamika memori kadang-kadang berarti mengakui bahwa sejarah dan memori dari masing-masing pihak menawarkan makna dan pendekatan yang berbeda dengan masa lalu. Dalam memikirkan konsepsi arsip tentang waktu, memori, dan sejarah, Brothman mengkarakterisasi dua tipe arsiparis: ‘‘ arsiparis sejarah ’dan‘ ‘arsiparis memori.’’ Arsiparis sejarah terutama peduli dengan ‘‘ menemukan arsip dan, di dalamnya mengungkap bukti untuk mengembangkan narasi linier tentang masa lalu … Arsiparis memori tertarik pada residu masa lalu sebagai bahan yang mempromosikan pengetahuan terintegrasi, identitas sosial, dan pembentukan kesadaran kelompok ' (Brothman 2001, p. 62).

Sebagai gambaran dari konteks yang terjadi di Australia, Piggott (2005b) menggambarkan contoh dan sampel dari ‘ arsip memori kolektif.’’ Dia berpendapat bahwa institusi khusus dan lembaga pengingat seperti museum dan memorial mengumpulkan arsip yang mendokumentasikan berbagai peristiwa yang layak untuk dikenang. Seiring berjalannya waktu, arsip mereka tersebut menjadi memorial. Dengan demikian, memorials dan proses memorialization (pengingatan) menjadi elemen konstitutif dari arsip memori kolektif tersebut. Dalam konteks ini, catatan tidak dapat dipisahkan dari memori.

Kesimpulan dari Uraian di atas
Arsiparis menggunakan konsep memori untuk menempatkan arsip dalam domain yang lebih besar dari warisan dan budaya material, dengan demikian menekankan hubungan arsip dengan institusi serupa lainnya. Para sarjana kearsipan juga menggunakan ingatan untuk mempelajari keterbatasan lapangan, dan terkadang menantang gagasan lama tentang arsip sebagai sumber netral dan objektif di masa lalu.

Salah satu proposisi adalah bahwa arsip adalah fondasi dan sumber ingatan. Berkembangnya kegiatan mengenang dan commemoration (peringatan) publik di luar ruang lingkup arsip tampaknya menantang proposisi tersebut. Pertanyaan tentang netralitas arsip memunculkan pertanyaan politik tentang apa yang ditulis dalam arsip dan bagaimana kinerja fungsi arsip pada akhirnya memengaruhi memori sosial.

Posisi lain mengasumsikan bahwa memori yang melekat dalam fungsi arsip tidak harus sama dengan pembentukan kesadaran kolektif. Arsiparis harus melakukan segala upaya untuk membawa memori kolektif ke dalam arsip, dan untuk membuat arsip memberi makan ke dalam memori sosial. Membawa arsip ke dalam interaksi dengan memori mungkin memerlukan implementasi yang lebih baik dan efektif dari fungsi arsip yang sudah ada dari program publik, advokasi, dan akses.
Kemungkinan yang diberikan oleh teknologi jaringan dan digital mungkin juga menyediakan lebih banyak ruang untuk interaksi publik agar arsip dapat secara langsung berkontribusi pada produksi dan penyebaran memori. Arsiparis juga dapat secara aktif mendokumentasikan contoh kegiatan mengenang dan mengingat masa lalu untuk menambah dan memperluas koleksi yang ada atau untuk memberikan konteks ke arsip yang sudah dalam penyimpanan arsip.

Meskipun memori adalah bagian dari kosa kata arsiparis, tidak ada konsensus tentang peran arsip dalam pembentukan memori. Perbedaan dalam definisi dan penggunaan istilah mempengaruhi bagaimana hubungan memori arsip-kolektif dirasakan. ‘‘ Memori ’dapat dilihat sebagai wacana yang digunakan oleh arsiparis dalam memikirkan arsip, arsiparis, dan pentingnya arsip dalam masyarakat. Arsiparis kadang-kadang menggunakan memori sebagai singkatan untuk mengartikulasikan tanggung jawab sosial mereka dan fungsi arsip dalam masyarakat, kadang-kadang dengan santai dan kadang-kadang secara kritis. Meskipun terkenal sebagai subjek yang terlalu sering diteliti, memori juga memiliki kapasitas untuk merekomendasikan tujuan yang mendalam.
Arsiparis menggunakan memori untuk berbicara satu sama lain dan para pengguna memori lainnya. Mereka juga menggunakan memori secara refleksif untuk mempertimbangkan apa yang mereka lakukan dan makna serta tujuan arsip yang mereka simpan.

Memori kolektif dalam berbagai studi kearsipan: Analisa kutipan
Pada bagian sebelumnya, kami menyoroti tema-tema berbeda dan memeriksa argumen-argumen kunci oleh para arsiparis yang menulis dalam bahasa Inggris tentang memori kolektif. Hal yang masih kurang adalah pandangan yang jelas tentang pengaruh intelektual yang membentuk kajian itu. Pada bagian ini, kami menjelaskan beberapa analisis kutipan sistematis dari kajian memori kolektif yang diterbitkan dalam jurnal arsip berbahasa Inggris terkemuka. Studi kutipan memperlakukan kutipan sebagai jenis mata uang simbolis yang memberi sinyal pengaruh intelektual, menempatkan argumen penulis dalam konteks ilmiah yang lebih besar, dan berfungsi sebagai media komunikasi yang berguna sebagai proxy untuk interaksi sosial (Lievrouw 1990). Dengan menelusuri kutipan dapat memberikan pandangan tentang ‘ekologi sosial pengetahuan’ untuk ide-ide yang ada di antara para sarjana dan lintas disiplin ilmu melalui media kutipan mereka (Shin et al. 2009, p. 319).

Kami mempelajari kajian memori kolektif dalam jurnal studi arsip terkemuka untuk menjawab tiga pertanyaan utama:

1.       Siapa penulis berpengaruh yang menulis tentang memori kolektif dalam literatur kearsipan dan seberapa besar pengaruhnya?

2.       Artikel dan buku jurnal mana yang memengaruhi konsep memori kolektif dalam literatur kearsipan?

3.       Penulis mana yang dikutip dalam artikel tentang memori kolektif dalam literatur studi kearsipan?

Temuan utama kami adalah bahwa sebagian besar kajian kearsipan berbahasa Inggris pada memori kolektif tetap sempit dan merujuk hanya pada lingkup arsip itu sendiri. Salah satu indikator adalah ketergantungan yang kuat pada beberapa sumber yang dikutip berulang-ulang. Yang kedua adalah bahwa seluruh bidang keilmuan memori kolektif yang aktif diabaikan oleh sebagian besar arsiparis, yang paling signifikan adalah sosiologi dan psikologi sosial. Indikator ketiga adalah bahwa karya yang dihasilkan oleh arsiparis pada dasarnya tidak terlihat oleh para sarjana di bidang lain. Indikator terakhir adalah bahwa Maurice Halbwachs adalah satu-satunya non-arsiparis yang banyak dikutip oleh arsiparis dan non-arsiparis.

Kami menggunakan metode yang relatif sederhana untuk mengidentifikasi pokok fikiran utama artikel dan mengekstrak kutipan. Kami mengidentifikasi pokok-pokok fikiran utama dari artikel-artikel tentang memori koletif yang diterbitkan periode 1980 -2010 di jurnal American Archivist (US), Archivaria (Canada), Archives and Manuscripts (Australia), dan Archival Science.7