Senin, 29 Oktober 2012

Hasil Sunting 3 Artikel Surat Kabar di Kompas



Rekonsiliasi Konflik Sara

Konflik SARA suku, agama, ras, antargolongan seringkali terjadi di negeri ini, namun fungsi pemerintah dalam upaya penyelesaiannya kurang maksimal. Konflik Sampang, Madura, yang terjadi beberapa waktu lalu merupakan akibat dari lemahnya fungsi pemerintah dalam mengatasi gejolak sosial pada masyakarat multikultural seperti di Indonesia. Aksi intimidasi bahkan anarkis terhadap komunitas Syiah di Sampang, Madura, merupakan gejolak sosial yang berdampak cukup besar bagi stabilitas keamanan di negeri ini. Namun, dalam usaha penyelesaian konflik itu, pemerintah salah membuat kesimpulan dengan berpendapat bahwa konflik berdarah tersebut lebih bersumbu pada perselisihan keluarga (Ul Haq, 13/09/12). Padahal, kasus ini adalah konflik yang melibatkan kelompok mayoritas melawan kelompok minoritas di daerah itu.
Fakta yang tampak jelas terlihat sebagai akibat lemahnya fungsi pemerintah adalah isu SARA dalam Pilkada DKI Jakarta (Sjaf, 7/9/12) beberapa waktu lalu. Salah satu kandidat calon Gubernur  incumbent, mengeluarkan isu-isu SARA dengan tujuan menjatuhkan lawan politiknya. Isu SARA ini berkembang dan menimbulkan gejolak sosial yang negatif terhadap toleransi beragama di dalam masyarakat. Menanggapi gejolak sosial itu, pemerintah cenderung lepas tangan dan membiarkannya berkembang tanpa penyelesaian. Fakta lain yang menunjukkan betapa fungsi pemerintah sangat lemah dalam mengantispasi gejolak sosial adalah vonis dua tahun penjara pemimpin Syiah-Tajul Muluk dengan tuduhan penodaan agama (Fatwa, 7/9/12). Keputusan ini menimbulkan reaksi negatif yang luar biasa baik dari dalam dan luar negeri.
Semua hal tersebut di atas tidak akan terjadi jika pemerintah menjalankan beberapa strategi untuk memaksimalkan fungsi-fungsi yang ada untuk penyelesaian konflik. Strategi pertama adalah menjalankan amanat Pasal 71 dan 72 UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Amanat ini mengharuskan pemerintah menegakkan kehidupan saling menghormati, melindungi, dan memajukan Hak Asasi tiap-tiap warga negara (Fatwa,7/9/12). Implementasi amanat ini adalah dengan melakukan pengusutan secara tuntas semua kasus SARA. Pengusutan ini dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kepada semua pihak yang terlibat, termasuk polisi, kejaksaan, maupun kehakiman. Penegakkan hukum harus dilakukan secara terbuka dan adil tidak hanya bagi kaum mayoritas, tetapi juga bagi kaum minoritas.
Strategi kedua adalah menjalankan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal  28 dan 29 tentang kebebasan beragama. Pemerintah sepatutnya melaksanakan amanat Pasal tersebut dengan cara menjamin setiap warga negara mendapatkan haknya dalam melaksanakan kehidupan beragama tanpa ada paksaan atau hambatan dari pihak manapun. Pemerintah tidak boleh ragu untuk mengerahkan setiap instrumen yang dimiliki demi tegaknya pelaksanaan Undang-Undang ini, termasuk Badan Intelijen Negara (BIN), insitusi yang dinilai lemah oleh Presiden dan mengaku kecolongan atas tragedi di Sampang (Fatwa, 7/9/12).
Rumusan strategi ketiga adalah Pemerintah harus menegakkan kembali demokrasi Pancasila. Cara penegakkannya menurut Sofyan Sjaf (Kompas, 7/9/12) adalah dengan memberikan ruang keadilan yang sama dan adil bagi etnik mayoritas dan minoritas. Implementasi ini salah satunya adalah dengan cara memberikan kesempatan kepada kaum minoritas untuk duduk dalam kursi pemerintah. Fasilitasi kaum minoritas ini bukan hanya akan menyelesaikan konflik, tetapi juga dapat menjadi sumber kekuatan negara di masa yang akan datang.
Melibatkan seluruh lapisan masyarakat dan kaum pemuka agama serta adat dalam penyelesaian konflik, merupakan strategi keempat untuk memaksimalkan fungsi pemerintah. Ketika terjadi konflik pada suatu kelompok agama atau adat di suatu daerah, pemerintah harus aktif melakukan pendekatan kepada para petinggi atau pemuka yang ada dalam kelompok itu.  Libatkan mereka dalam usaha penyelesaian konflik yang sedang terjadi. Pendekatan ini dilakukan agar komunikasi antara pihak yang berkonflik dapat difasilitasi oleh para petinggi atau pemuka kelompok itu. Dengan cara ini, konflik dapat diselesaikan tanpa kekerasan karena semua komunikasi difasilitasi secara kekeluargaan.
Pelaksanaan keempat strategi di atas harus didukung oleh semua elemen negara secara maksimal. Tanpa dukungan dan partisipasi elemen-elemen tersebut, mustahil rekonsiliasi konflik SARA akan terwujud di negeri ini.

Rini Rusyeni
Penerjemah Pertama ANRI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar