Sabtu, 04 April 2020

Kisah Penangkapan Pangeran Diponegoro versi Laporan Hendrik Merkus de Kock

Pada pertengahan Maret 2020 lalu, Raja Belanda, Willem Alexander mengadakan kunjungan resmi ke Indonesia. Dalam kunjungan tersebut, sang Raja Belanda selain mengadakan pertemuan dengan Presiden Joko Widodo, beliau juga memiliki agenda khusus yaitu mengembalikan keris pusaka milik Pangeran Diponegoro yang dirampas bersamaan dengan penangkapan sang Panglima Perang Jawa tersebut pada tanggal 28 Maret 1830. Menurut cerita yang beredar selama ini, peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro yang dilakukan oleh Letnan Gubernur Jenderal Hendrik Merkus de Kock tersebut menggunakan cara yang licik dan tidak sportif. Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang ketika sedang mengunjungi Hendrik Merkus de Kock dalam rangka memenuhi undangan sang Gubernur Jenderal untuk melakukan perundingan damai di antara kedua belah pihak yang sedang berperang. Rangkaian penangkapan yang terekam dalam lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro yang dibuat oleh Raden Saleh (di bawah ini), nampak jelas terlihat betapa masyarakat pribumi yang meyaksikan penangkapan tersebut sangat terpukul dan menyesali kecurangan yang dilakukan oleh para tentara Belanda. Sementara itu, Pangeran Diponegoro dilukiskan menunjukkan air muka penuh amarah dan wajah menghina kepada para tentara Belanda yang sedang menggiringnya untuk penahanan.
Lantas, bagaimana dengan cerita penangkapan Pangeran Diponegoro versi Belanda? Jawabannya dapat kita lihat dalam arsip laporan penangkapan Pangeran Diponegoro yang disusun sendiri oleh Sang kreator penangkapan, yaitu Letnan Gubernur Jenderal Hendrik Merkus de Kock (koleksi arsip Djogja No.10-5, khazanah Arsip Nasional RI).
Laporan penangkapan Pangeran Diponegoro dibuat pada tanggal 1 April 1830, tepatnya 3 (tiga) hari setelah peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro, yaitu pada tanggal 28 Maret 1930. Dalam laporan sebanyak 36 halaman ini, De Kock menceritakan secara detail seluruh peristiwa penangkapan yang dimulai dari tanggal 16 Januari 1830, yaitu tanggal ketika bawahannya Kolonel Jan Baptist Cleerens yang bertindak sebagai utusan dari tentara Belanda berupaya untuk menghubungi pihak Pangeran Diponegoro untuk membahas ‘kesepakatan damai’.
Dalam laporan ini, selain berupaya menghubungi pihak Pangeran Diponegoro, diceritakan pula dalam usahanya tersebut Kolonel Cleerens juga bertindak sebagai informan yang  memberikan informasi bahwa kondisi Pangeran Diponegoro pada saat itu sudah sangat tersudut. Pangeran Diponegoro diceritakan hidup berkelana dan berpindah-pindah dari satu hutan belantara ke hutan belantara lain di wilayah Jawa untuk bertahan hidup dan menghindari kejaran tentara Belanda. Dalam usahanya bertahan hidup tersebut, Pangeran Diponegoro hanya ditemani oleh putranya, salah satunya disebut dalam laporan tersebut diberi nama Diponegoro Moeda, penasihat agama, dua punakawan, dan panglimanya, Basya Mertanegara. Pangeran Diponegoro telah kehilangan banyak tentara dan beberapa panglima pemimpin perang yang handal yang selama ini telah menjadi tangan kanannya dalam berperang melawan Belanda.
 Berdasarkan laporan Cleerens mengenai keadaan Diponegoro tersebut, De Kock sangat yakin bahwa pihak pangeran Diponegoro pasti mau bertemu dengan utusannya tersebut dan perundingan dapat cepat terlaksana.
Singkat cerita, Cleerens berhasil meyakinkan Pangeran Diponegoro untuk datang memenuhi undangan De Kock ke Magelang dalam rangka ‘perundingan damai’ sebagaimana yang telah ditawarkan oleh De Kock. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro datang ke Magelang untuk memenuhi undangan De Kock.
Dalam acara perundingan tersebut, Pangeran Diponegoro duduk didampingi oleh para kepala daerah dari golongan pribumi. Mereka semua duduk berhadap-hadapan dengan De kock yang didampingi oleh Residen Kedu Valck, Letkol Roest (seorang perwira de Kock), Mayor F.V.H.A. de Stuers dan penerjemah bahasa Jawa, Kapten J.J Roefs serta para pejabat militer Belanda lainnya.
Hal yang menarik dalam pertemuan ini adalah bahwa De Kock menulis dalam laporannya:
“……pertemuan dengan Diponegoro berlangsung dengan cepat karena tidak ada hal penting apapun yang disampaikan oleh Diponegoro pada saat itu, dan saya mengatakan kepada Diponegoro bahwa sebaiknya sudah hentikan saja pertikaian ini, anda jangan kembali lagi ke tempat anda dan di sini saja, dengan begitu perang ini akan selesai, kita sudah berperang selama hampir lima tahun, saya harap persahabatan yang telah kita jalin akan tetap terjaga selamanya, dan hukum yang dilaksanakan oleh Pemerintah Belanda sangat adil”.

Kalimat “persahabatan yang telah kita jalin”menurut saya sangat aneh untuk diucapkan oleh seorang De Kock. Apakah mengacu kepada persahabatan antara De Kock dengan Pangeran Diponegoro??

Dalam laporan ini juga, saya temukan beberapa nama yang ditulis dengan menggunakan gelar seperti, Ratoe Agung van Djocjacarta, Kolonel Cleerens, dan Hadji Badaroedin. Namun, gelar Diponegoro yang sebenarnya adalah seorang “pangeran dari Jogjakarta” tidak ditulis sama sekali dalam laporan sebanyak 36 halaman ini.
Dalam laporan ini sayangnya tidak diceritakan reaksi Pangeran Diponegoro secara detail, seperti yang digambarkan oleh Raden Saleh dalam lukisannya. Laporan ini hanya menceritakan bahwa suasana yang terjadi pada saat penangkapan berjalan lancar dan singkat tanpa ada hambatan apapun. Nampaknya De Kock tidak ingin menampilkan suasana kegaduhan sebagaimana yang nampak dalam lukisan Raden Saleh karena ini merupakan laporan yang Ia tulis untuk atasannya, Menteri Urusan Negara Jajajahan di negeri Belanda. Ia harus melaporkan bahwa semua aksi tersebut berjalan lancar dan Ia telah berhasil mengatasi kemelut yang dihadapi oleh Belanda selama hampir lima tahun belakangan. Penangkapan Pangeran Diponegoro ini merupakan sebuah prestasi besar bagi seorang De Kock.

Sumber: DJOCJA no. 10-5 (koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia)

note: Jika teman-teman ingin melihat langsung laporan De Kock, silahkan berkunjung ke Arsip Nasional RI jl. Ampera Raya No. 7 Cilandak Jakarta Selatan. Arsip berbahasa Belanda dengan tulisan tangan asli dari De Kock.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar