Rabu, 15 Mei 2019

Terjemahan Buku: A History of Christianity in Indonesia Bab 17 (Karel Steenbrink, Jan Aritonang)


Terjemahan ini tidak lengkap jika ingin terjemahan full please email me   
                       
                            BAB TUJUH BELAS

GERAKAN OIKUNEMISME DI INDONESIA DENGAN PERHATIAN KHUSUS PADA DEWAN GEREJA NASIONAL INDONESIA

Parameter atau indikator yang biasa digunakan untuk memantau proses pergerakan oikumenisme di Indonesia adalah dengan mengacu pada Dewan Nasional Gereja Indonesia yang disebut dengan Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI), Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI, yang didirikan pada tahun 1950 dan sejak tahun 1984 berubah menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, PGI). Namun DGI / PGI, tidak identik dengan gerakan oikumene. Kinerja lembaga ini, terutama selama sepuluh tahun terakhir, mungkin bertentangan dengan semangat gerakan, seperti yang diamati dengan keprihatinan mendalam oleh banyak pemimpin gereja dan pendeta gereja. Selain itu, seperti yang akan kita lihat, ada beberapa dewan atau persekutuan gereja-gereja lain di Indonesia yang juga mengklaim sebagai lembaga oikumene.
Namun, DGI / PGI memainkan peran yang sangat kuat dan signifikan. DGI/PGI secara umum diakui sebagai 'pembawa bendera' dari gerakan ekumenis di negara ini dan — setidaknya sampai tahun 1980-an — bertindak sebagai perwakilan dari Gereja-Gereja Protestan untuk pemerintah dan kepercayaan lain. Karena itu kami akan memberikan perhatian khusus kepada DGI/PGI, dengan mempertimbangkan benih dan perkembangan gerakan oikumene yang cukup lama berjalan sebelum berdirinya serta peran beberapa lembaga atau kelompok lain yang juga mengklaim sebagai ekspresi dan manifestasi dari gerakan dan semangat ini. Dengan melakukan ini kita juga akan melihat beragam dan luasnya pemahaman tentang oikumene di antara gereja-gereja dan orang-orang Kristen di negara ini.

Perkembangan gerakan oikumene di negara ini merupakan bagian dari gerakan internasional, termasuk beragam pemahaman dan ekspresi oikumene. Karena itu kita tidak dapat menghindari sekilas aspek sejarah global, terutama di antara organisasi misi dan konferensi yang memprakarsai gerakan ini. Karena gerakan ini juga dipengaruhi oleh realitas politik dan ideologis (seperti munculnya nasionalisme di antara negara-negara jajahan sejak awal abad kedua puluh), kita juga harus mencatat sejarah ini dalam perspektif global maupun global. Sejalan dengan ini, ide dan gerakan tiga-diri (berdiri sendiri, menyebarkan ajaran kristen dan mandiri) juga membuat kontribusi timbal balik untuk gerakan oikumene, di mana mereka saling mendukung pertumbuhan satu sama lain.
Sebagai survei umum, bab ini terutama bersumber pada publikasi formal dan institusional, tetapi dalam kasus-kasus tertentu juga mencoba untuk memberikan potret nyata dari perkembangan di lapangan. Ruang lingkup gerakan oikumene akan tidak terlalu nampak jika hanya dilihat dalam kegiatan formal atau formulasi. Karena itu isu-isu hangat juga akan dihadirkan untuk melihat dinamika gerakan ini.
Benih-benih dan Para Pionir

Seperti yang telah disebutkan dalam bab enam, pada paruh pertama abad ke-19, raja Belanda dan pemerintah kolonial Belanda memprakarsai lembaga gereja baru di negara ini yang disebut Gereja Protestan di Hindia Belanda, yang biasa disebut Indische Kerk. Berdasarkan perspektif pengakuan, gereja ini memiliki kelemahan yang cukup serius: tidak memiliki identitas pengakuan. Tetapi dari sudut pandang tertentu kita dapat juga mengatakan bahwa gereja ini menyatukan tradisi Reformed, Lutheran dan Protestan lainnya dan tidak menekankan keseragaman doktrinal, sehingga sampai batas tertentu gereja ini juga dapat disebut sebagai salah satu pelopor gereja dengan semangat oikumene.

Sementara itu, dari awal abad ke-19 semakin banyak masyarakat misionaris memilih negara ini sebagai ladang misi mereka. Sudah sejak paruh kedua abad ke-19 dan seterusnya tumbuh kesadaran di antara masyarakat misionaris ini bahwa mereka harus membangun kerja sama di berbagai sektor. Kerjasama pertama adalah di media informasi dan komunikasi (lih. Bab dua puluh satu). Dari 1851 sampai seterusnya mereka menerbitkan bulletin bulanan yang disebut Opwekker (Awakener). Pada awalnya buletin ini diprakarsai oleh masyarakat misionaris, Genootschap voor In- en Uitwendige Zending (Kelompok Masyarakat untuk Misi Internal dan Eksternal) yang dipimpin oleh Pendeta E.W. King, dan dari tahun 1881 hingga 1941 itu diambil alih dan diterbitkan oleh asosiasi misionaris yang baru didirikan dari berbagai badan misi, Nederlandsch Indische Zendingsbond (NIZB). Buletin ini berisi laporan dari berbagai konferensi misionaris dan memberikan ruang yang luas untuk artikel yang merangsang diskusi mengenai pengembangan misi dan gereja, termasuk kerja sama dan persatuan di antara mereka.

Bidang kerja sama yang kedua adalah mempersiapkan pekerja pribumi. Pada tahun 1869 JA. Schuurman, seorang menteri di Batavia / Jakarta, menerbitkan sebuah artikel untuk memanggil orang-orang Kristen di negara ini untuk membangun seminari. Seruan ini direspon secara positif oleh beberapa masyarakat misionaris, dan pada tahun 1878 mereka membangun seminari di Depok, sekitar 35 km selatan Batavia. Banyak perkumpulan misi mengirim siswa dari daerah misi mereka: Tanah Batak, Minahasa, Timor, Sangir-Talaud, serta dari daerah di Jawa. Melalui proses belajar dan mengajar di antara para guru dan siswa mereka diperkaya dan belajar banyak hal berharga dari satu sama lain, dan mengembangkan semangat kerja sama dan persatuan yang kemudian disebut semangat oikumenis. Semangat ini diungkapkan dalam banyak hal ketika para siswa menyelesaikan studi mereka dan kembali ke gereja mereka sendiri.

Seminari Depok ini ditutup pada tahun 1926 karena masyarakat sponsor telah membuka seminari mereka masing-masing dan berencana untuk memulai seminari tingkat yang lebih tinggi atau universitas. Rencana ini diimplementasikan dalam pendirian yang disebut Hoogere Theologische School (Sekolah Tinggi Teologi) pada tahun 1934 (sejak 1936 pindah ke Batavia/Jakarta, dan sejak 1954 dikenal sebagai Sekolah Tinggi Theologia [STT] Jakarta). Peran aliran teologis ini dalam pengembangan semangat dan gerakan oikumenis sangat luar biasa, hingga saat ini. Hendrik Kraemer, salah satu penggagas sekolah ini, mengatakan dalam pidato pengukuhannya bahwa di masa depan keberadaan dan peran sekolah ini akan sangat penting secara teologis dan eklesiastik bagi perkembangan komunitas Kristen Protestan Indonesia yang kuat dan tidak terpecah-pecah, bahkan meskipun gereja dipisahkan oleh faktor geografis dan etnis.

Langkah ketiga menuju kerja sama adalah pembentukan persatuan masyarakat misi yang disebutkan di atas, NIZB, pada tahun 1881, sebagai kesepakatan dan keputusan konferensi misionaris di Seminari Depok pada tahun 1880. NIZB secara teratur menyelenggarakan konferensi misionaris untuk membahas masalah aktual dan masalah yang dihadapi dalam kegiatan misionaris dan penginjilan. Dari tahun 1920-an, NIZB juga membahas perkembangan gereja menuju otonomi dan penghidupan sendiri, serta kerjasama dan persatuan gereja. Dari tahun 1920-an, NIZB juga membahas perkembangan gereja menuju otonomi dan penghidupan sendiri, serta kerjasama dan persatuan gereja. Karena beberapa kendala, hingga konferensi terakhir NIZB di Karang Pandan pada tahun 1941, ide ini tidak dapat diimplementasikan, meskipun komite persiapan telah menyiapkan rancangan konstitusi. Namun, konferensi ini sangat penting karena juga dihadiri oleh beberapa pemimpin adat terkemuka seperti Soewidji, J. Leimena dan Amir Sjarifuddin, yang mengusulkan ide-ide mereka mengenai persatuan gereja-gereja di Indonesia serta sudut pandang dan peran dari gereja-gereja dalam gerakan nasionalis. Mereka juga mengkritik masyarakat misionaris yang tidak membangun dan mendukung kesadaran politik dan semangat nasionalisme di antara orang-orang Kristen pribumi.
Langkah keempat adalah berdirinya Zendingsconsulaat (Konsulat Misi, 1906) sebagai penghubung antara pemerintah dan dewan berbagai masyarakat misionaris di negara ini. Hubungan yang harmonis antara pemerintah kolonial dan konsulat misi di Batavia meningkatkan hubungan harian para misionaris dan pegawai negeri. Hal tersebut juga mempengaruhi kerja sama masyarakat misionaris di Belanda, termasuk pendirian Dewan Misionaris Belanda pada 1929. Konsulat ini ada hingga tahun 1953 dan memainkan peran penting dalam memupuk kerja sama dan pertumbuhan gereja melalui masyarakat misionaris mereka masing-masing.3

Peran komunitas Alkitab juga layak disebutkan. Sebagai lembaga antar gereja dan antar misionaris, Nederlands Bijbelgenootschap (NBG) ditetapkan sebagai organisasi induk untuk Konsulat Misi. Hal yang lebih penting adalah peranan NBG (dan pada tingkat yang jauh lebih rendah peranan British and Foreign Bible Society) dalam menyediakan infrastruktur dan personel yang memenuhi syarat untuk penerjemahan Alkitab dalam sejumlah bahasa Indonesia, dan terutama dalam mencari solusi untuk masalah sulit seperti untuk memilih satu dari banyak ragam bahasa Melayu untuk menjadi bahasa Alkitab Melayu umum yang dapat menggantikan Leijdecker dan, pada abad kedua puluh, terjemahan Klinkert. Namun, masalah ini baru terpecahkan setelah Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) telah mengambil alih kepemimpinan di bidang ini dari NBG (1954).

Di antara gereja-gereja Cina, terutama di Jawa, ada perkembangan yang patut dicatat. Semangat persatuan di antara gereja-gereja ini memiliki hubungan yang erat dengan gerakan nasionalis yang dipimpin oleh Sun Yat Sen, dan gerakan oikumenis di Cina seperti yang terlihat antara lain dalam pendirian NCC di Cina pada tahun 1922. Langkah pertama diambil dalam konferensi mereka di Bogor pada bulan November 1926, dipimpin oleh Pendeta Pouw Peng Hong. Konferensi ini sepakat untuk membentuk forum bagi umat Kristen Cina yang mereka panggil Bond van Chinese Christenen in Indonesiƫ, dengan tujuan untuk menyatukan semua orang Kristen Tionghoa di Indonesia. Terlepas dari beberapa kelemahan, seperti memiliki karakter yang lebih Cina daripada Indonesia, mereka terus berkembang dengan membentuk lembaga baru yang mereka sebut Geredja Tionghoa Serikat. Namun, sampai tahun 1940-an, gagasan untuk menyatukan semua gereja Cina dalam satu lembaga masih menjadi mimpi; mereka hanya dapat membentuk, pada tahun 1948, sebuah dewan untuk gereja-gereja Cina yang mereka sebut Dewan Geredja-geredja Kristen Tionghoa.4
Kami juga harus menyebutkan pendirian organisasi pelajar dan wanita. Pada tahun 1924, Nederlandsche Christen Studenten Vereeniging (Serikat Pelajar Kristen Belanda) mengirim Dr. C.L. van Doorn untuk melayani pemuda dan pelajar Kristen di Indonesia. Pada tahun 1926 Ia mendirikan Christen Studenten Vereeniging [op Java] (Christian Students’ Union [in Java]). Pada tahun yang sama Dr. John R. Mott, seorang tokoh penting dalam gerakan oikumenis dan ketua Federasi Mahasiswa Kristen Dunia, dan beberapa pemimpin lainnya, mengunjungi Indonesia untuk program misi dan pemuda. Selama pertemuan, termasuk konferensi pemuda dan konferensi NIZB, mereka mempromosikan gagasan oikoumene atau persatuan gereja. Kunjungan ini memberikan kesan yang sangat mendalam dan moto dari WSCF, ut omnes unum sint (kutipan dari Yohanes 17:21), mulai dikenal di kalangan orang Kristen Indonesia. Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1928, Christen Jonge Vrouwen Federatie (Federasi Wanita Muda Kristen), yang dipimpin antara lain oleh Ibu Gunung Mulia dan Ibu A.L. Fransz, dibentuk dan diterima sebagai anggota Federasi Kristen Wanita Muda Dunia).

Terakhir tetapi tidak kalah penting kita harus menyebutkan peran Konferensi Misionaris Internasional (IMC). Dalam konferensi pertama di Edinburgh 1910 tidak ada Kristen pribumi dari Hindia Belanda atau Indonesia yang hadir. Delegasi dari Indonesia hanya terdiri dari beberapa misionaris, tetapi Dr. Todung Sutan Gunung Mulia menghadiri konferensi kedua, di Yerusalem pada tahun 1928. Dia terkesan dengan perhatian serius konferensi ini terhadap berbagai masalah sosial-politik-ekonomi yang terkait dengan esensi dan tujuan misi, serta kehadiran perwakilan dari beberapa gereja yang baru berdiri. Itulah sebabnya dalam pidatonya di konferensi NIZB, segera setelah dia kembali dari Yerusalem, dia dengan tajam mengkritik kebijakan misi yang tidak secara serius memperhitungkan beberapa perkembangan internasional atau global yang penting.5

Dengan kata lain, melalui Dr. Gunung Mulia konferensi Yerusalem mendorong gereja-gereja yang baru berdiri di Indonesia untuk memperkuat kesadaran mereka akan persatuan dan kerja sama, dan untuk merefleksikan tugas mereka dengan lebih serius dalam rangka mencapai otonomi. Tidak heran bahwa konferensi IMC ketiga di Tambaram pada tahun 1938 dihadiri oleh lebih banyak orang Kristen Indonesia asli (ada dua belas, di antaranya adalah Ibu A.L. Fransz dan Dr J. Leimena) selain beberapa pemimpin misi yang bekerja di negara ini. Lebih dari yang pertama, konferensi ini mendorong gereja-gereja baru termasuk yang ada di Indonesia untuk lebih serius dalam upaya mengekspresikan persatuan mereka.
Sebagai tindak lanjut dari konferensi internasional ini, beberapa konferensi penting terjadi di negara ini. Salah satunya adalah konferensi WSCF untuk wilayah Asia di Citeureup, dekat dengan Batavia / Jakarta, pada tahun 1933, dihadiri oleh delegasi dari banyak negara barat dan Asia. Dalam konferensi ini CSV op Java yang diketuai oleh Dr. J. Leimena diterima sebagai anggota WSCF. Konferensi ini memberi kesan mendalam pada para peserta dan Dr. Hendrik Kraemer, salah satu pemimpin misionaris yang terus mendesak dan mendorong masyarakat misionaris untuk memberikan otonomi kepada gereja-gereja muda, memuji konferensi ini karena keberhasilannya dalam upaya memfasilitasi dan untuk mendukung persatuan orang-orang muda Kristen. Kemudian, sejak 1947, op CSV Java menjadi Madjelis Pemoeda Kristen Oikoumene.
dan sejak tahun 1954 menjadi Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia. Banyak pemimpin gerakan ini kemudian menjadi pemimpin terkemuka dalam gerakan ekumenis, seperti Fridolin Ukur, Liem Khiem Yang, Sabam Siagian, Sabam Sirait, dan Nico Rajawane.

Menindaklanjuti konferensi Tambaram, pada bulan Januari 1939 para pemimpin beberapa gereja di Jawa bertemu di Batavia / Jakarta untuk membahas kemungkinan pembentukan dewan gereja dan misi di Indonesia. Mereka membentuk komite kerja yang terdiri dari beberapa pemimpin terkemuka, tetapi rencana ini harus ditunda karena pecahnya Perang Dunia II.

Perang Dunia II (1939-1945) dan pendudukan militer Jepang (1942-1945) menghambat kemajuan gerakan ekumenis namun dapat memotivasi timbulnya beberapa langkah baru. Periode yang pendek pada masa pendudukan Jepang menjadi katalisator untuk pengembangan aspirasi oikumenis untuk mempercepat, memperluas dan meningkatkan penyebaran gagasan persatuan Kristen. Gereja-gereja dipaksa untuk menerapkan strategi swadaya dan pemerintahan sendiri masing-masing. Kesulitan dan tekanan yang biasa terjadi memiliki peran penting dalam mengkonkretkan gagasan persaudaraan Kristen (saudara / persaudaraan). Persatuan umat Kristen Indonesia juga diimplementasikan melalui beberapa organisasi yang dibentuk oleh pemerintah militer Jepang, seperti Kiristokyodan Rengokai (Dewan Kristen atau Persekutuan) di Minahasa, Sulawesi Selatan, Kalimantan dan Maluku, yang memberi gereja pengalaman berharga tentang bagaimana hidup dalam semangat dan suasana oikumenis.

Kehadiran dan kegiatan beberapa pendeta kepala yang dikirim oleh Nippon Kirisuto Kyodan (Gereja Kristen Jepang) juga memperkuat pengalaman oikumenis dan memperluas pemahaman orang Kristen Indonesia, meskipun sering dibebani dengan beban politik. Salah satu pendeta kepala, Pdt. H. Shirato, ketua Rengokai, mengatakan: “Orang Kristen Indonesia, bersatu untuk mendukung Dai Nippon!” Tetapi Shirato dan rekan-rekannya tidak hanya meminta orang-orang Kristen untuk mendukung pemerintahan mereka, mereka juga membantu dan membela orang-orang Kristen sehubungan dengan pemerintah, terutama terhadap tindakan brutal personel militer.

Persiapan Menuju DGI

Satu tahun setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dan setelah pembebasan misionaris Eropa dari interniran, sebuah konferensi misionaris diadakan di Batavia / Jakarta pada 10-20 Agustus 1946.
Konferensi ini diprakarsai oleh Zendingsconsulaat dan ada dua masalah utama untuk dibahas: (1) tempat dan tugas misi dan kegiatan misionaris di Indonesia merdeka yang baru, dan (2) rencana untuk mendirikan majelis atau badan oikumene gereja-gereja. Mengenai masalah pertama, JC Hoekendijk, yang akan menjadi seorang missiologis terkemuka, memperkenalkan teologinya tentang kerasulan dan apa yang disebut pendekatan komprehensif yang menekankan tugas gereja sebagai penyebar Injil untuk menghadapi dan merawat umat manusia dan dunia, yaitu sebagai kesatuan yang holistik dan komprehensif. Konsep dan pendekatan ini diadopsi kemudian oleh DGI dan anggotanya, dan dipertahankan hingga saat ini.

Mengenai masalah kedua, diskusi didasarkan pada ide dari M. de Niet (Zendingsconsul 1939–1949). Sebagai hasil dari meditasinya selama interniran Jepang ia menyarankan pada Desember 1945 untuk mendirikan Balai Kristen. Nota de Niet ini mengusulkan agar para anggota majelis ini adalah gereja-gereja Indonesia dan juga gereja-gereja asing yang melakukan misi dan penginjilan di negara ini. Balai ini dipimpin oleh sekretariat dengan sejumlah sekretaris yang ahli di bidangnya masing-masing (dogmatik, misiologi, pedagogi, lingkungan sosial, dan administrasi). Kantor pusat berada di Batavia, dilengkapi dengan berbagai fasilitas (perpustakaan, museum, pondok, dll.) Sementara di beberapa daerah juga akan didirikan dewan Kristen provinsi sebagai bagian dari kamar nasional.

Gereja Protestant Indonesia  menyetujui gagasan ini tetapi konferensi lebih memilih opsi lain, baik pembentukan Gereja yang Esa (Sebuah Gereja yang Bersatu) di Indonesia, atau federasi gereja-gereja di Indonesia. De Niet sendiri sadar bahwa tidaklah mudah untuk membentuk satu Gereja Kristen Indonesia yang bersatu. Itulah sebabnya dalam Nota-nya dia sudah memperingatkan, “Satu Gereja Kristen Indonesia yang sejati tidak dapat dibentuk oleh sekelompok orang atau atas otoritas manusia dalam semalam atau dengan aklamasi atau suara mayoritas. Gereja itu harus berdiri dengan karunia Allah, dan berkembang, walaupun hasilnya mungkin berbeda dari apa yang dipikirkan orang Kristen.”7 Akhirnya konferensi menarik beberapa kesimpulan (tanpa mengambil keputusan),

1.   Kebersamaan gereja-gereja Oekumenis di Indonesia, yang sudah diungkapkan sebelum Perang Dunia II dalam berbagai bentuk, harus dilanjutkan dan diperluas cakupannya.
2.   Sasaran kebersamaan oekumene tersebut adalah pendirian satu gereja tunggal di Indonesia.

3.   Dewan gereja-gereja dan misi di Indonesia direncanakan sebagai badan kerja sama antar gereja-gereja di Indonesia dan gereja-gereja
di Eropa dengan tujuan untuk mengintensifkan dialog mengenai oekumene dan kerja sama antar gereja-gereja.

4.   Karena kondisi politik yang menghambat pertemuan dewan gereja nasional dan misi, disarankan agar gereja and bakal gereja-gereja di beberapa daerah yang berlokasi sejauh mungkin dari dewan regional atau provinsi untuk melakukan dan mempromosikan tugas bersama.

Sementara itu, sebelum konferensi Agustus 1946, di daerah-daerah tertentu seperti di Yogyakarta, diadakan Konferensi Gereja Protestan dan berhasil membentuk Dewan Permoesjawaratan Geredja-geredja di Indonesia. Dalam konferensi ini, dihadiri oleh cukup banyak orang Indonesia asli, beberapa peserta menyatakan aspirasi mereka untuk lebih bertanggung jawab dalam penginjilan dan juga keluhan mereka bahwa misi asing menghambat upaya gereja untuk persatuan dan mengurangi minat gereja-gereja Indonesia dalam menangani sendiri tugas misi dan penginjilan (evangelisme). Karenanya, konferensi ini menyimpulkan bahwa misi asing tidak boleh lagi datang ke negara ini. Mereka mungkin mengirim misionaris mereka, tetapi hanya untuk ditugaskan dan dikelola oleh gereja-gereja di Indonesia.

Kesimpulan ini menimbulkan ketegangan antara Dewan Permoesjawaratan dan kelompok misi. Untuk menetralkan ketegangan, maka kedua belah pihak berkumpul pada Mei 1947 dalam semangat "kemitraan dalam kepatuhan," dan mereka mencapai kesepakatan yang disebut “Kwitang Accoord”. Dalam dokumen ini disepakati, antara lain bahwa gereja-gereja di Indonesia dan mitra gereja asing mereka akan membentuk dewan gereja yang terdiri dari sinode dengan perwakilan dari kedua belah pihak. Meskipun dua kelompok kecil menghasilkan dokumen ini, itu bisa dipahami sebagai titik balik dalam hubungan misi dan gereja-gereja di Indonesia.

Pada akhir konferensi Agustus 1946 di Jakarta beberapa anggota gereja terkemuka dari Indonesia timur mengusulkan sebuah konferensi di wilayah mereka. Mereka sepakat untuk mengadakan konferensi khusus pada bulan Maret 1947 dengan dua item agenda utama: (1) untuk menyatakan kesatuan gereja-gereja dan calon gereja-gereja yang bermunculan; dan (2) membentuk dewan gereja dan gereja yang muncul sebagai cabang dari Balai Geredja Keristen di Indonesia. Sesuai dengan rencana ini, 54 delegasi dari 16 gereja dan beberapa perkumpulan misionaris berkumpul di Malino (dekat Makassar), dan pada 17 Maret 1947 mereka mendirikan Madjelis Oesaha Bersama Geredja-geredja Keristen, yang berpoesat di Makassar, disingkat sebagai Madjelis Keristen.

Badan oikumene ini diterima sebagai anggota semua organisasi misi yang bertujuan untuk melayani gereja. Dalam konstitusi itu juga dirumuskan bahwa salah satu tujuannya adalah untuk menyelidiki pendirian salah satu Gereja Kristen di Indonesia.
 Sejalan dengan ini, konferensi memutuskan bahwa posisi Madjelis Keristen harus sebagai cabang dan proyek percontohan dari badan oekumene nasional yang akan datang: melakukan pekerjaan dalam skala kecil dari hal yang nantinya dilakukan oleh DGI di masa depan. Bahkan, para pemimpin terkemuka di Madjelis Keristen memainkan peran penting dalam pendirian dan pelaksanaan DGI.

Keputusan penting lain dari konferensi Malino adalah pendirian sekolah teologi ekumenis untuk gereja-gereja di Indonesia timur yang kemudian diwujudkan sebagai Sekolah Tinggi Theologia Indonesia Timur (STTIntim) di Makassar.

Selain konferensi dan gerakan di Jawa (Yogyakarta) dan Indonesia bagian timur (Makassar), ada beberapa pertemuan ekumenis di daerah lain, seperti Sulawesi Utara dan Sumatera Timur. Gereja-gereja Cina mengadakan konferensi pada bulan Mei 1948 di Jakarta sebagai kelanjutan dari gerakan sebelum perang, diikuti oleh sebuah konferensi pada bulan September 1949 yang membentuk Dewan Geredja-geredja Kristen Tionghoa di-Indonesia (DGKTI). Selain bertujuan untuk mempererat hubungan dan meningkatkan persatuan di antara gereja-gereja Cina, mereka juga ingin mencari hubungan dengan gereja-gereja di Indonesia, dan mempromosikan penginjilan (evangelisme). Perwakilan dari DGKTI dan anggotanya juga menghadiri konferensi untuk menemukan DGI dan menyatakan kesediaan mereka untuk bergabung dengan dewan tersebut. Namun, DGKTI mempertahankan keberadaannya sampai berubah menjadi Badan Permusjawaratan Persatuan Geredjani (BPPG, Badan Konsultasi Dewan Gereja) tahun 1954. BPPG menyatukan sejumlah gereja Cina di Jawa di Indonesia dengan nama Sinode Am Gereja Kristen Indonesia (Sinode Umum Gereja Kristen Indonesia) pada tahun 1962, yang menghasilkan kesatuan lebih nyata pada tahun-tahun berikutnya.

Gereja Protestant Indonesia (GPI) juga memiliki andil dalam proses pendirian DGI. Meskipun GMIM telah menjadi otonom pada tahun 1934, diikuti oleh GPM pada tahun 1935 dan GMIT pada tahun 1947, hingga tahun 1948 GPI — ketika melahirkan gereja lain, GPIB — tetap mempertahankan keberadaannya sebagai 'gereja induk' bagi gereja-gereja regional tersebut, walaupun GPI juga mendukung Nota de Niet yang disebutkan di atas. Mengikuti ide yang diajukan oleh Pendeta A.Z.R. Wenas, ketua GMIM, GPI mengambil langkah baru dalam konferensi sinode umum kedua pada Juni 1948, dengan menggabungkan otonomi dan persatuan. Di satu sisi GPI berlanjut seperti kulit buah jeruk, dalam mengumpulkan unit-unit otonom bersama — karena itu berfungsi secara berbeda dari model kesatuan mangga atau anggur — dan di sisi lain GPI mendukung unit-unitnya bergabung dengan DGI seperti yang dilakukan oleh GPI itu sendiri. GPI bahkan menyatakan kesediaannya untuk bubar jika gereja-gereja di Indonesia mencapai persatuan dalam bentuk yang lebih sempurna daripada GPI.
Berdirinya Dewan Gereja-gereja di Indonesia, DGI8

Setelah membentuk komite perencanaan yang terdiri dari perwakilan organisasi atau dewan yang disebutkan di atas, komite dan sekitar empat puluh pemimpin gereja dan delegasi mengadakan konferensi persiapan di Jakarta pada bulan November 1949. Beberapa dari mereka baru saja kembali dari sidang raya majelis untuk mendirikan Dewan Gereja-Gereja Sedunia di Amsterdam dan membawa beberapa ide dan konsep baru dari majelis itu yang dianggap dapat memperkaya visi oikumenis untuk dirumuskan dan diimplementasikan dalam dewan nasional mendatang. Salah satu topik yang dibahas dalam konferensi persiapan itu adalah inti dari gerakan oikumenis di antara gereja-gereja, berdasarkan pada kertas kerja yang disiapkan oleh Pdt. J.L.Ch. Abineno.9

Konferensi ini mencapai pemahaman bahwa, meskipun nasionalisme memiliki kontribusi, gerakan oikumenis di Indonesia tidak terutama didasarkan pada nasionalisme tetapi pada kesadaran persatuan Kristen sebagai tubuh Kristus. Konferensi itu juga sepakat bahwa tujuan utama gerakan ini adalah pembentukan satu Gereja Kristen di Indonesia, berdasarkan keyakinan bahwa persatuan esensial sudah ada, dan proses panjang menuju persatuan harus dimulai dengan pembentukan badan yang bekerja sama. Konferensi ini juga menyadari bahwa gerakan dan persatuan tidak terjadi dalam bentuk konferensi tetapi di dalam dan oleh orang-orang dari gereja itu sendiri. Telah disadari juga dalam konferensi ini bahwa gerakan oikumenis ini tidak hanya mewakili suatu gerakan untuk mempersatukan orang-orang Protestan, tetapi semua orang Kristen, bahkan Gereja Katolik Roma dan kelompok-kelompok yang berbeda pendapat. Dalam pesan penutup konferensi ini bahkan ditekankan bahwa gereja tidak mencari persatuan demi persatuan itu sendiri, dan tidak ada untuk dirinya sendiri tetapi untuk seluruh dunia, dan berdiri di tengah-tengah dunia sebagai pelayan dari Injil Kerajaan Allah.

Konferensi persiapan ini juga membahas beberapa agenda dan program lain yang diharapkan akan ditangani kemudian oleh dewan yang akan datang, yaitu hubungan dengan berbagai dewan regional yang ada dan sedang berkembang, perawatan spiritual untuk personil militer, layanan kesehatan dan sosial, penerbitan dan media komunikasi (termasuk radio), sekolah dan pendidikan, pendidikan teologis, masyarakat Alkitab, pemuda, hubungan internasional, bahasa resmi, gereja dan politik, pembagian tugas dan komposisi komisi. Semua hal penting dan operasional ini dirumuskan dalam rancangan konstitusi dan anggaran rumah tangga. Sejumlah pemimpin oikumenis internasional seperti W. Visser t Hooft dan C.W. Ranson juga menghadiri konferensi ini, di mana mereka berbagi informasi tentang gerakan oikumenis global dan menyumbangkan gagasan dan saran mereka mengenai hal-hal tersebut.

Sebagai tindak lanjut dari konferensi persiapan, konferensi pendirian DGI sebagai dewan gereja nasional diadakan pada 22-28 Mei 1950 di kampus HTS / STT Jakarta. Salah satu poin penting dari diskusi adalah apakah dewan ini hanya akan terdiri dari gereja-gereja atau juga masyarakat misi. Akhirnya disepakati bahwa dewan hanya akan menerima gereja-gereja Indonesia sebagai anggota. Sejalan dengan ini, diputuskan bahwa Zendingsconsulaat akan dilikuidasi dan tugasnya, termasuk tugas mewakili gereja-gereja kepada pemerintah, akan diambil alih oleh DGI. Mengenai kegiatan misi dan penginjilan yang sebelumnya dilakukan oleh berbagai masyarakat misionaris, konferensi tersebut sampai pada pemahaman bahwa kegiatan misi dan penginjilan adalah tugas yang secara mendasar bagi gereja. Untuk mengoordinasikan tugas ini, DGI akan membentuk komisi permanen dan gereja-gereja akan berkumpul dalam komisi ini bersama dengan masyarakat misi asing.

Mengenai tujuan oekumene, disepakati dan dirumuskan dalam konstitusi bahwa tujuan akhir dari dewan ini adalah pembentukan Gereja Kristen yang Esa di Indonesia. Setelah penerimaan dan persetujuan konstitusi, konferensi yang terdiri dari perwakilan dari 27 gereja menyatakan pembentukan DGI melalui Pengumuman 10 sebagai berikut:

Kami, peserta Konferensi untuk Pembentukan Dewan Geredja-geredja di Indonesia, bersama ini mengumumkan bahwa Dewan Geredja-geredja di Indonesia telah berdiri sebagai tempat konsultasi dan wadah untuk melakukan segala upaya bersama dengan gereja-gereja di Indonesia menuju kesatuan gereja-gereja di Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi Dewan Geredja-geredja di Indonesia yang telah diputuskan dalam konferensi pada tanggal 25 Mei1950. Kami percaya bahwa pendirian Dewan Geredja-geredja di Indonesia, sebagai upaya menuju implementasi pesan Tuhan kepada umat-Nya, hanyalah rahmat Tuhan. Kami memercayai dewan ini ke tangan Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Semoga Tuhan selalu bersama kita sejak saat ini dan selamanya, untuk kemuliaan nama Tuhan di dunia ini. Djakarta 25 Mei 1950.

Selain mengangkat komite eksekutif (di mana Todung Sutan Gunung Mulia diangkat sebagai ketua pertama), konferensi ini juga meluangkan waktu untuk membahas perilisan buletin Berita mengenai deklarasi pendirian Republik Maluku Selatan (RMS, gerakan separatis) pada tanggal 25 April 1950, tetapi kemudian setuju bahwa konferensi akan mempercayakan masalah ini untuk ditangani oleh Komite Eksekutif yang baru terpilih.

Beberapa perkembangan dan tantangan, terutama pada konsep persatuan 11

Dalam pendirian DGI, dua aspirasi disatukan, yaitu mengesa (menjadi satu) dan mandiri (menjadi mandiri). Dalam konferensi pendiri tahun 1950 (kemudian juga dianggap sebagai majelis umum pertama DGI) tujuan dewan juga dinyatakan, tetapi makna atau isi tujuan yang tepat dan bagaimana pencapaiannya belum ditentukan. Pada tahun-tahun dan masa bakti berikutnya, ada banyak diskusi dan perjuangan mengenai pertanyaan-pertanyaan ini. Dalam konferensi kedua, 20–30 Juni 1953, misalnya, dirumuskan bahwa, “yang dimaksud dengan pembentukan Gereja Satu Kristen adalah pembentukan satu Gereja Kristus di Indonesia yang memiliki satu pengakuan dan satu atura dasar gereja." Berdasarkan hal ini, DGI membentuk komite khusus Faith (Keimanan) and Order (Perintah), mencontoh apa yang dilakukan di WCC. Tugas komite ini adalah untuk menyesuaikan dan menyatukan pengakuan (pernyataan iman) dan perintah gereja dari para anggota untuk memiliki kesamaan landasan persatuan. Tetapi kemudian disadari bahwa pendekatan komparatif ini tidak sesuai dengan esensi dan sifat gereja, karena norma-norma kesatuan gereja tidak ditentukan oleh realitas historis dan empiris gereja.

Dari waktu ke waktu, dari konferensi ke konferensi, diskusi tentang esensi dan makna persatuan gereja dan bagaimana mengekspresikan manifestasinya berlangsung, tanpa hasil atau persetujuan akhir. Kami tidak akan menghubungkan berapa banyak kertas kerja dan dokumen yang telah ditulis dan disajikan pada subjek ini. Di satu sisi ada penekanan pada kesatuan spiritual atau esensial, sedangkan di sisi lain ada penekanan pada keseragaman beberapa aspek kelembagaan dan lebih operasional. Pada 1960-an, terdapat sebagian pihak yang dipengaruhi oleh majelis WCC ketiga di New Delhi, terkait gagasan bahwa persatuan harus dinyatakan dengan jelas di setiap tempat atau di tingkat lokal, bukan di tingkat atas atau tingkat sinode. DGI mencoba menerapkan ide ini melalui konsensus praktis bahwa setiap gereja-anggota harus menahan diri dari penambahan jemaat baru di wilayah gereja-gereja lain, sehingga jemaat lokal dari berbagai denominasi dapat lebih diarahkan menuju integrasi. Atau setidaknya semua anggota harus bersedia untuk mencapai kesepakatan tentang pengakuan timbal balik dari para anggota dan menahbiskan minister dari gereja-gereja anggota DGI lainnya.



1 komentar: