Feodalisme dan Birokrasi di
Indonesia
Menurut
Wikipedia, Feodalisme adalah struktur pendelegasian kekuasaan sosiopolitik
yang dijalankan kalangan bangsawan/monarki untuk mengendalikan berbagai
wilayah yang diklaimnya melalui kerja sama dengan pemimpin-pemimpin lokal
sebagai mitra. Dalam pengertian yang asli, struktur ini disematkan oleh
sejarawan pada sistem politik di Eropa pada Abad Pertengahan, yang menempatkan kalangan
kesatria dan kelas bangsawan lainnya (vassal)
sebagai penguasa kawasan atau hak tertentu (disebut fief atau, dalam bahasa Latin, feodum) yang ditunjuk
oleh monarki (biasanya raja atau lord).
Istilah feodalisme sendiri dipakai sejak abad
ke-17 dan oleh pelakunya sendiri tidak pernah dipakai. Semenjak tahun 1960-an,
para sejarawan memperluas penggunaan istilah ini dengan memasukkan pula aspek
kehidupan sosial para pekerja lahan di lahan yang dikuasai oleh tuan
tanah, sehingga muncul istilah "masyarakat feodal". Karena
penggunaan istilah feodalisme semakin lama semakin berkonotasi negatif, oleh
para pengkritiknya istilah ini sekarang dianggap tidak membantu memperjelas
keadaan dan dianjurkan untuk tidak dipakai tanpa kualifikasi yang jelas.
Dalam penggunaan bahasa sehari-hari di Indonesia, seringkali kata ini digunakan
untuk merujuk pada perilaku-perilaku negatif yang mirip dengan perilaku para
penguasa yang lalim, seperti 'kolot', 'selalu ingin dihormati', atau 'bertahan
pada nilai-nilai lama yang sudah banyak ditinggalkan'. Praktek fedoalisme di
Indonesia sangat nyata terjadi di dunia birokrasi di Indonesia. Para pemimpin
lembaga, kepala pemerintahan menganggap para bawahan yang harus melayani mereka
dimanapun berada.
Perilaku feodalisme ini dalam birokrasi diperparah
dengan tindak tanduk bawahan yang sengaja memperlakukan atasannya seperti
seorang raja sehingga harus dilayani
semaksimal mungkin. Para birokrat itu cenderung menganggap bahwa budaya “yes
bos” sebagai suatu hal yang harus dilakukan agar atasan senang. Tidak ada lagi
harga diri seorang bawahan sebagai seorang manusia yang memiliki kedudukan yang
sama dalam proses pengambilan keputusan. Sungguh sangat miris melihat seorang bawahan
harus dimarahi oleh atasannya dengan kata-kata yang tidak selayaknya di
keluarkan dari mulut seorang atasan yang seharusnya mengayomi bawahannya, namun
kenyataannya kekuasaaan hanya dijadikan budak pemuas nafsu praktik feodalisme
kekuasaaan yang lalim
Birokrasi merupakan mata rantai tak terpisahkan
dalam hubungan pemerintah dengan rakyat dalam hal ini berkaitan dengan fungsi
pemerintah dalam hal mencapai tujuan pelayanan publik yang maksimal -kalau
tidak disebut ideal. Berbanding terbalik dengan konsep birokrasi ideal yang
dicetuskan Max Weber beratus tahun yang lampau, birokrasi terutama
dinegara-negara berkembang (miskin, dunia ketiga) menunjukkan kecenderungan
yang kurang baik yang berdampak tidak terpenuhinya kepuasan rakyat dalam
pelayanan publik itu sendiri.
Birokrasi di Indonesia,
merupakan warisan kultur birokrasi sejak masa penjajahan kolonial dulu.
Beberapa episode dalam pemerintahan yang mewarnai bangsa ini menempatkan
birokrasi di negara ini dalam berbagai karakteristik yang mencerminkan keadaan
(kegagalan) tersebut. Pada masa kolonialisme, birokrasi diatur oleh pemerintah
penjajah Hindia Belanda yang menganut pola pikir pengaturan wilayah jajahannya.
Aparat birokrasi yang ditugaskan di daerah jajahan sebelumya di doktrin dengan
mengibaratkan dirinya (analogi birokrasi) sebagai monster raksasa “Leviathan”
yang merupakan perwujudan kekuasaan negara. Birokrasi yang terbentuk pun
menjadi sebuah mesin kekuasaan pemerintah dimana memiliki kekuasaan terhadap
administrasi publik sehingga administrasi diartikan perluasan urusan rumah
tangga pemerintah. Serta aparat birokrasi (pejabat) dalam konteks ini merupakan
perpanjangan tangan pemerintah, dia bisa berbuat seenaknya seperti halnya yang
dilakukan pemerintah. Memang patut diakui bahwa secara historis, birokrasi di
Indonesia menjadi alat politik penguasa.
Masyarakat kita ternyata sudah “terbiasa” hidup
dalam tekanan birokrasi. Secara paradoks dibalik berbagai hujatan dan cemoohan
terhadap birokrasi, masyarakat kita ternyata juga “menjunjung tinggi” profesi
di lingkungan birokrasi. Feodalisme masyarakat sebagai bagian dari sejarah
bangsa-bangsa feodal yang terbelakang dan terjajah sepanjang hayatnya turut
menghantui perjalanan bangsa ini. Kedudukan birokrat sejak jaman penjajahan
menjadi terpandang karena berhubungan dengan penempatan para bangsawan dalam
kedudukan ini oleh penjajah belanda. Padahal maksud sebenarnya agar para
bangsawan dalam masyarakat kita “puas” dan tidak memicu pemberontakan. Sampai
kemerdekaan pun, akhirnya posisi di birokrasi menjadi primadona karena tidak
perlu bersusah payah akan naik pangkat dan memiliki penghasilan yang pasti.
Terlebih, diluar konteks itu semua, uang menjadi panglima dalam rekruitmen aparatur,
mengesampingkan fungsi “intelektualitas”. Akhirnya sedikit sekali anak bangsa
yang “tercerahkan” berada sebagai bagian birokrasi. Masyarakat disebut korban
birokrasi karena mau tidak mau harus berurusan dengannya. Persepsi negatif
tentang birokrasi kemudian dipertegas dengan melakukan cara-cara semisal KKN
agar urusan lancar. Secara nyata, praktik demikian membawa birokrasi semakin
terpuruk pada jurang tidak profesionalnya.
Lantas bagaimana dengan nasib bangsa ini ke depannya
jika birokrasi Indonesia masih terperangkap dalam belenggu feodalisme yang
sangat kuat, mengakar ke seluruh sendi pemerintahan? Jawabannya terletak pada para
birokrat itu sendiri. Jika mereka ingin berubah menuju ke arah birokrasi yang
baik yang menjunjung tinggi persamaan hak, keadilan, azas kebersamaan dengan
mengedepankan pada intelektualitas serta integritas, mereka harus memulainya
dengan diri sendiri. Hindari budaya “yes bos” dengan menunjukkan kapasitas dan
aktualisasi diri kepada atasan bahwa mereka memiliki kemampuan lebih yang dapat
berguna sebagai pendorong perkembangan kinerja birokrasi. Tunjukkan kepada
birokrat lain bahwa menjadi seorang birokrat bukan merupakan seorang “kacung”
(pesuruh) yang hanya akan bekerja jika ada perintah dari atasan. Inisiatif kerja
yang tinggi akan dapat mengarah pada peningkatan kinerja organisasi pada
lembaga birokrasi yang menaunginya.
thanx
BalasHapusArtikelnya bagus namun realita yg terjadi sesungguhnya budaya warisan kolonial hingga kini masih dipelihara
BalasHapusyup setuju
Hapus