Rekonsiliasi Konflik Sara
Konflik SARA – suku, agama, ras, antargolongan – seringkali terjadi di negeri ini, namun fungsi pemerintah dalam
upaya penyelesaiannya
kurang maksimal. Konflik Sampang,
Madura, yang terjadi beberapa waktu lalu merupakan akibat dari lemahnya fungsi
pemerintah dalam mengatasi gejolak sosial pada masyakarat multikultural seperti di
Indonesia.
Aksi intimidasi bahkan anarkis terhadap komunitas Syiah di Sampang, Madura, merupakan
gejolak sosial yang berdampak cukup besar
bagi stabilitas keamanan di negeri ini. Namun, dalam usaha penyelesaian konflik itu, pemerintah salah membuat kesimpulan
dengan berpendapat bahwa konflik berdarah tersebut lebih bersumbu pada
perselisihan keluarga (Ul Haq, 13/09/12). Padahal, kasus ini adalah konflik yang
melibatkan kelompok mayoritas melawan kelompok minoritas di daerah itu.
Fakta yang tampak jelas terlihat sebagai akibat
lemahnya fungsi pemerintah adalah isu SARA dalam Pilkada DKI Jakarta (Sjaf, 7/9/12)
beberapa waktu lalu. Salah satu kandidat calon Gubernur incumbent, mengeluarkan isu-isu SARA dengan
tujuan menjatuhkan lawan politiknya. Isu SARA ini berkembang dan menimbulkan
gejolak sosial yang negatif terhadap toleransi beragama
di dalam masyarakat. Menanggapi gejolak sosial itu, pemerintah cenderung lepas
tangan dan membiarkannya berkembang tanpa penyelesaian. Fakta lain yang menunjukkan betapa
fungsi pemerintah sangat lemah dalam mengantispasi gejolak sosial adalah vonis dua tahun
penjara pemimpin Syiah-Tajul Muluk dengan tuduhan penodaan agama (Fatwa,
7/9/12). Keputusan ini menimbulkan reaksi negatif yang luar biasa baik dari dalam
dan luar negeri.
Semua hal tersebut di atas tidak akan terjadi jika pemerintah
menjalankan beberapa strategi untuk memaksimalkan fungsi-fungsi yang
ada untuk penyelesaian konflik. Strategi pertama adalah
menjalankan amanat Pasal 71 dan 72
UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Amanat ini mengharuskan
pemerintah menegakkan kehidupan
saling menghormati, melindungi, dan memajukan Hak Asasi tiap-tiap warga
negara (Fatwa,7/9/12). Implementasi amanat ini adalah dengan melakukan pengusutan secara tuntas semua kasus
SARA. Pengusutan
ini dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan kepada semua pihak yang terlibat, termasuk polisi, kejaksaan, maupun
kehakiman. Penegakkan hukum harus dilakukan secara terbuka dan adil tidak hanya bagi kaum mayoritas,
tetapi juga bagi kaum minoritas.
Strategi kedua adalah menjalankan
amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28
dan 29 tentang kebebasan beragama. Pemerintah sepatutnya melaksanakan amanat
Pasal tersebut dengan cara menjamin setiap warga negara mendapatkan haknya dalam
melaksanakan kehidupan beragama tanpa ada paksaan atau hambatan dari pihak
manapun. Pemerintah tidak boleh ragu untuk mengerahkan setiap instrumen yang
dimiliki demi tegaknya pelaksanaan Undang-Undang ini, termasuk Badan Intelijen
Negara (BIN), insitusi yang dinilai lemah oleh Presiden dan mengaku kecolongan
atas tragedi
di Sampang (Fatwa, 7/9/12).
Rumusan strategi ketiga adalah
Pemerintah harus menegakkan kembali demokrasi Pancasila. Cara penegakkannya menurut Sofyan Sjaf
(Kompas, 7/9/12) adalah dengan memberikan ruang keadilan yang sama dan adil
bagi etnik mayoritas dan minoritas. Implementasi ini salah satunya adalah
dengan cara memberikan kesempatan kepada kaum minoritas untuk duduk dalam kursi
pemerintah. Fasilitasi kaum minoritas ini bukan hanya akan menyelesaikan
konflik, tetapi juga dapat menjadi sumber kekuatan negara di masa yang akan
datang.
Melibatkan seluruh lapisan
masyarakat dan kaum pemuka agama serta adat dalam penyelesaian konflik, merupakan strategi keempat untuk memaksimalkan fungsi pemerintah.
Ketika terjadi konflik pada suatu kelompok agama atau adat di suatu daerah,
pemerintah harus aktif melakukan pendekatan kepada para petinggi atau pemuka
yang ada dalam kelompok itu. Libatkan mereka dalam usaha penyelesaian
konflik yang sedang
terjadi.
Pendekatan ini dilakukan agar komunikasi antara pihak yang berkonflik dapat
difasilitasi oleh para petinggi atau pemuka kelompok itu. Dengan cara ini,
konflik dapat diselesaikan tanpa kekerasan karena semua komunikasi difasilitasi
secara kekeluargaan.
Pelaksanaan
keempat strategi di atas harus didukung oleh semua elemen negara secara
maksimal. Tanpa dukungan dan partisipasi elemen-elemen tersebut, mustahil rekonsiliasi
konflik SARA akan terwujud di negeri ini.
Rini Rusyeni
Penerjemah Pertama ANRI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar