Rabu, 15 Mei 2019

Terjemahan Artikel Evidence, memory, identity, and community: four shifting archival paradigms



Terjemahan ini tidak lengkap karena super panjang (total 29 halaman) jika ingin file terjemahan full pages silahkan email aza....


Bukti, memori, identitas, dan komunitas: empat paradigma  kearsipan yang berubah
Terry Cook




Published online: 28 June 2012
© Springer Science+Business Media B.V. 2012


Abstrak artikel ini berpendapat bahwa paradigma kearsipan selama 150 tahun terakhir telah melalui empat fase: dari warisan yuridis ke memori budaya untuk keterlibatan masyarakat untuk membentuk komunitas yang sadar akan arsip (community archiving-komunitas kearsipan). Dengan demikian, arsiparis telah berubah fungsi, dari kurator pasif menjadi penilai aktif menjadi mediator masyarakat kemudian menjadi fasilitator masyarakat. Fokus pemikiran ilmu kearsipan telah berpindah dari bukti ke memori menuju identitas yang menjadi bagian dari komunitas, karena arus intelektual yang lebih luas telah berubah dari pra-modern ke modern menuju postmodern dan sekarang menjadi kontemporer. Komunitas sadar arsip (Community archiving-komunitas kearsipan) dan realitas digital menawarkan kemungkinan untuk memperbaiki wacana yang mengganggu dan terkadang bertentangan ini dalam profesi kita.

Kata kunci: Teori Kearsipan · Perubahan Paradigma · Bukti · Memori ·
Identitas Profesional · Community archiving (komunitas sadar arsip)

Dalam masyarakat multikultural yang terglobalisasi saat ini, adalah suatu hal yang tetap menjadi tugas penting dalam penelitian akademik dan wacana publik untuk mempertanyakan mitos sejarah dan budaya dan mengevaluasi kembali paradigma tradisional …. Antusiasme dekonstruksionis dan interdisipliner dalam dekade terakhir telah menantang mitos epistemologis pendiri serta metodologi disiplin akademis tradisional. Tetapi apakah perubahan paradigma ini berisiko menimbulkan ortodoksi akademik baru?… Akankah pemecahan mitos muncul sebagai bentuk dari sikap destruktif atau apakah menjadi pondasi awal perubahan?

Artikel ini ditulis sebagai salah satu materi konferensi internasional tentang ‘‘Myth-Making and Myth-Breaking in History and the Humanities’’1  Isi artikel ini dapat digunakan sebagai literatur kearsipan dan bahan masukan arsiparis, dan menjadi materi bahasan bagi peneliti profesional, tentang bagaimana mendefinisikan identitas kita dan peran kita dalam masyarakat. Pemikiran serupa, telah bahas pada konferensi internasional arsiparis, sejarawan, seniman, filsuf, kritikus sastra, kurator museum, dan lainnya, yang diselenggarakan oleh University of Dundee pada bulan Desember 2010. Dengan disponsori oleh Pusat Studi Kearsipan dan Informasi, konferensi Dundee memiliki tema, "Memori, Identitas, dan Paradigma Arsip." Dan dalam konferensi tersebut tidak sedikit pembicara yang menunjukkan bahwa istilah-istilah seperti memori, identitas, dan arsip sekarang dipandang sebagai masalah dan, seperti yang digunakan dalam banyak literatur arsip, sebagai hal yang tidak jelas, tidak hanya ketika diambil secara terpisah, tetapi juga dan terutama ketika dipertimbangkan untuk digunakan secara bersama, dikombinasikan dengan hal lain, apalagi ketika digunakan untuk membentuk paradigma kearsipan yang mencakup semua hal.2

Banyak sejarawan, dengan hanya mengambil satu contoh saja, menyatakan bahwa identitas di masa lalu dibentuk oleh ingatan bersama atau kolektif yang menjiwai tradisi-tradisi yang diciptakan, dan bahwa identitas-identitas semacam itu, begitu dibentuk, namun bersifat tidak tetap, mudah berubah-ubah, bergantung pada waktu, ruang, dan keadaan, yang diciptakan kembali agar sesuai dengan masa kini, dan harus selalu terus-menerus dimunculkan kembali.3  Ketika pengaruh ras, etnis, kelas, jenis kelamin, dan orientasi seksual yang berbeda-beda harus disatukan maka hendaknya kelompok-kelompok terkait dalam masyarakat membentuk identitas yang menyatukan perbedaan tersebut, dengan mencari dalam memori atau kenangan masa lalu, kenangan berupa trauma atau prestasi, yang menjadi amunisi yang sangat kuat untuk membenarkan dan memperkuat formulasi identitas mereka, sehingga dapat menyatukan mereka pada masa sekarang. Ini adalah proses pembuatan memori dan pembentukan identitas yang telah menarik perhatian banyak ahli dalam dekade terakhir. Proses output dari pembentukan memori atau identitas ini adalah: patung, situs bersejarah, dokumen arsip.4
Dalam pemikiran yang paling mendasar baik di lingkup akademisi dan di masyarakat, peran apa yang dimainkan oleh arsip, atau kearsipan, atau arsiparis, dalam memori dan proses identitas tersebut? Bagi beberapa arsiparis, memori dan identitas adalah konsep yang tidak terlalu relevan dengan arsip, atau dengan teori atau praktik kearsipan, walaupun sebenarnya kita sering berbicara tentang '' memori kolektif '' yang dimanifestasikan melalui arsip, arsip sebagai '' rumah ingatan, '' dan seterusnya. Secara tradisional arsip berisi tentang memperoleh, menggambarkan, dan melestarikan dokumen sebagai bukti, melindungi ketidakberpihakan mereka melalui sikap netralitas dan objektivitas yang sadar diri para arsiparis. Konsep-konsep seperti memori, identitas, dan komunitas mungkin merupakan hasil dari penggunaan arsip yang sekarang ini sudah sangat banyak peneliti dan warga menggunakan arsip, namun, sayangnya pandangan tradisional berpendapat bahwa semakin banyak arsip digunakan, seharusnya tidak mengubah konsepsi kearsipan  secara langsung (see Piggott 2005).
Mungkin, bagaimanapun, kita para arsiparis perlu lebih memahami tentang perbedaan, dalam bidang kita, dan dalam pekerjaan kita, antara proses kearsipan yang kita lakukan dan produk akhir yang dihasilkan, yaitu arsip. Mungkin dalam proses semacam itu, kita perlu menanamkan identitas kita sendiri dan ingatan kolektif serta mitologi kita sendiri. Mungkin dalam mendefinisikan dan menjalankan proses-proses penanaman identitas, ingatan kolektif serta mitologi tersebut, kita akan dapat menemukan rasa kebersamaan sebagai bagian dari komunitas kita yaitu sebagai bagian dari individu profesional yang berpikiran sama. Batasan pendapat para ahli bahwa arsip adalah sumber informasi tidak memihak, di satu sisi, dan pendapat lain bahwa arsip adalah interpretasi sosial, di sisi lain, mungkin jauh lebih menantang dan interaktif daripada yang sering diduga. Namun Ambiguitas arsip harus diakui, dan dianut, sebagai jalan untuk pengembangan dunia kearsipan di abad ke-21. Hasilnya adalah, arsip sebagai konsep, sebagai praktik, sebagai institusi, dan sebagai profesi dapat diubah untuk berkembang di era digital seperti saat ini, khususnya dalam hal para warga negara memiliki peran, melalui media sosial digital yang dapat merekam semua jenis jejak yang berpotensi menarik, dan berpotensi menjadi arsip yang berperan dalam kehidupan manusia, yang dapat mendekatkan kita sebagai arsiparis, sejarawan, peneliti secara terus menerus dan berkelanjutan dengan masyarakat luas, dimana hal ini merupakan hal yang hampir tidak dapat dilakukan sebelumnya.5
Meskipun saya telah menggunakan kata "paradigma" (dengan permintaan maaf kepada Thomas Kuhn) dalam tidak kurang dari tiga judul artikel yang telah saya tulis beberapa tahun belakangan dan satu lagi dalam artikel ini untuk mencerminkan tema judul konferensi Dundee itu sendiri, '' paradigma '' menyiratkan sistem formal (atau setidaknya diakui), atau sebagai model mental, dari sikap, kepercayaan, dan pola tentang beberapa fenomena. Dan konsep paradigm ini sebenarnya membuat saya agak tidak nyaman untuk menjelaskan beberapa pernyataan umum yang saya buat di sini tentang empat paradigma kearsipan. Mungkin ‘‘paradigma ’ini dapat didefinisikan secara umum sebagai kerangka kerja untuk berpikir tentang arsip, atau pola pikir arsip, cara membayangkan arsip dan proses kearsipan.
Saya ingin membahas tentang memori bersama yang dimiliki para arsiparis, yang merupakan identitas kita, rasa komunitas kita, perasaan ketika kita berinteraksi dengan komunitas eksternal dalam masyarakat kontemporer kita, baik komunitas fisik nyata di lingkungan dan kota kita, maupun komunitas virtual online dengan media sosial untuk membentuk kembali dunia kita, pemerintahannya, komunikasinya dan pola pembuatan catatannya dalam arsip, dan proses pembentukan identitasnya. Bagaimana kita membayangkan diri kita sendiri? Paradigma atau kerangka kerja apa yang harus mencakup dan menggerakkan ide-ide dan pekerjaan serta misi kita seperti yang kita bayangkan bersama di masa depan arsip kita? Imajinasi tentang komunitas seperti di atas, terutama dalam konteks identitas, memori dan arsip, telah dibahas oleh Benedict Andersondalam bukunya yang fenomenal: Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Membayangkan dalam pengertian Anderson adalah tentang menciptakan pandangan bersama tentang beberapa fenomena yang dapat diterima oleh penganutnya sebagai milik mereka, apakah sebagai warga negara yang menjadi bagian dari suatu bangsa, dalam contoh Anderson, atau dari komunitas yang lebih kecil, bahkan anggota profesi. Andersen mengatakan bahwa bangsa sebagai komunitas yang dibayangkan, '' Komunitas ini dalam imajinasi karena para anggotanya bahkan negara terkecilpun tidak akan pernah tahu sebagian besar dari anggota-anggota mereka, bertemu dengan mereka, atau bahkan mendengar tentang mereka, namun dalam pikiran setiap kehidupan terdapat citra persekutuan dari para anggota tersebut.’’ Andersen juga menerangkan bahwa ‘‘para anggota ini dibayangkan sebagai sebuah komunitas’’ karena, terlepas dari ketidaksetaraan dan banyaknya perbedaan antara wilayah internal, komponen, atau individu, semua anggota merasakan 'persahabatan' yang menyeluruh yang menjadi milik mereka bersama. Imajinasi ini, walaupun tidak seluruhnya, memiliki nuansa historis, selain itu juga imajinasi ini berisi ‘‘legitimasi emosional ’di masa sekarang. Komunitas yang dibayangkan (imagined communities) pada awalnya adalah “aspek paling penting dari 'persimpangan' kekuatan sejarah yang rumit; tetapi, jika sekali saja imagined communities tersebut diciptakan, maka komunitas tersebut menjadi ‘modular,’ mampu ditransplantasikan, dengan berbagai tingkat kesadaran diri, ke berbagai macam medan sosial, untuk bergabung dengan berbagai konstelasi politik dan ideologis yang luas.’’ (Anderson 1983, pp. 4, 6–7, original emphasis)
Sejalan dengan Anderson, sejarawan Amerika dan spesialis hukum, Norman Cantor, mencatat bahwa secara tradisional ada dua cara untuk membentuk imajinasi kita bersama dalam hal hukum. Cara pertama yang merupakan pandangan sempit dan internal yaitu cara yang menuntut agar seseorang hanya menulis tentang hukum di masa lalu, dan bagaimana hukum telah berubah dari asalnya menjadi seperti yang kita miliki saat ini, dengan mempelajari pemikiran para ahli hukum besar. Hasilnya adalah imajinasi yang ‘‘sangat teknis, ’dengan fokus pada operasi dan teknik profesi hukum.’ Cara yang kedua, yang merupakan cara yang drekomendasikan oleh Cantor, adalah dengan membayangkan hukum ‘‘secara interaktif dengan memperhatikan hal yang terjadi pada masa kini kemudian digabungkan dengan konteks budaya, masyarakat, dan politik masa lalu ….’’ Melalui pendekatan ini, Cantor melihat bahwa ini adalah pendekatan positif atau disebut juga pendekatan ‘‘ sosiologis dan budaya, yang 'menunjukkan bahwa imajinasi ini paling baik dilihat sebagai ‘sosiologi sejarah.’’ (Cantor 1997, p. xv)


Apakai itu ‘‘sosiologi historis dan bagaimana hubungannya dengan arsip, dan arsiparis, dan bagaimana kita dapat' membayangkan arsip 'dengan cara yang sama seperti yang disarankan Cantor? Ingatan mendalam apa dan identitas bersama apa yang memungkinkan arsiparis merasa menjadi bagian dari komunitas, apakah mereka bekerja di lembaga arsip sektor publik atau swasta; yang berhubungan dengan fotografi, peta, atau catatan pemerintah; di lembaga nasional besar atau kecil lokal; apakah arsiparis tersebut bekerja sendiri, atau dengan arsiparis lain, atau bekerja sama dengan pustakawan, kurator museum, atau manajer arsip, apakah arsiparis tersebut bekerja sebagai arsiparis, manajer arsip, pendidik arsip, atau penulis arsip?  
Apa yang telah ada, apa yang sekarang, dan apa yang mungkin menjadi ikatan inspirasional dan kemungkinan menjadi ikatan intelektual yang dapat memberi makna bagi komunitas kita? Apa yang menjadikan kita semua sebagai arsiparis? Menjadi seorang Arsiparis bukan berarti bahwa ia adalah seorang arsiparis sejati hanya karena mereka melakukan hal yang sama di tempat yang berbeda (penilaian, akuisisi, proses transfer, deskripsi, presevasi, membuat akses), atau karena para arsiapris ini atau orang lain menemukan apa yang mereka lakukan untuk menjadi '' berharga'', tetapi seorang menjadi arsiparis karena apa yang mereka lakukan memiliki signifikansi dan dampak sosialnya kepada diri sendiri dan komunitas, arsiparis yang memiliki maknanya sendiri, transendensinya sendiri melampaui duniawi menuju hal yang ideal, dari individu ke individu menuju ke arah komunal. Dan bagaimana dalam kesamaan komunitas seperti itu kita mendamaikan perbedaan yang jelas, seringkali mendasar, tentang nilai-nilai inti dari upaya pelaksanaan kegiatan kearsipan? Untuk sisi komunitas juga tentang ini tentang menggusur mitos lama dan kemudian membangun mitos baru, tentang merangkul masa depan dan mendukung masa lalu.
Dengan mempelajari masalah yang berhubungan dengan arsip dan sejarah media, salah satunya adalah dengan membaca banyak makalah seperti yang lakukan di konferensi Dundee, dari sudut pandang faktor sosial, budaya, dan politik dihubungkan dengan arsip; maka konsep filosofis, psikologis, estetika, dan mitos yang lebih luas dan relevan dengan mengingat dan melupakan; dan menghubungkan ini dengan kekhawatiran yang ada saat ini di sekitar determinisme teknologi, kekuatan media, akuntabilitas publik, kesadaran Aborigin, bahkan kebencian spiritual, kita, sebagai arsiparis memiliki kesempatan untuk mengendapkan momen '' distilasi spontan '' yang Benedict Anderson sarankan untuk dapat memberikan definisi mengenai, resonansi emosional, dan makna yang lebih dalam bagi anggota dari setiap 'komunitas yang dibayangkan,'(imagined communities) 'termasuk komunitas kearsipan. ‘‘Hanya dengan menjelajahi dan memperluas jangkauan profesional kita hingga mencapai batas integritas yang kita miliki, seorang 'ahli teori kearsipan Hugh Taylor telah menegaskan bahwa, ‘‘…akankah kita melarikan diri dari daerah terpencil yang, meskipun tampaknya tenang dan nyaman, namun terlihat stagnan dan tidak  sesuai dengan diri kita.’’ (Taylor 1993, p. 220) Seperti yang telah dianjurkan oleh Taylor di atas, kita perlu berusaha mengubah air tenang menjadi sebuah komunitas yang dinamis yang memiliki makna sosial yang relevan dengan masyarakat kontemporer yang menjadi bagian diri kita, dan menjadi bagian dari banyak komunitas internal, seperti halnya komunitas arsip, seperti yang akan dibahas dalam artikel ini, yaitu komunitas internal yang kaya akan asumsi, ide, dan kegiatan, di mana persatuan dan keragaman perlu direkonsiliasi. Proses rekonsiliasi ini hendaknya menyentuh keprihatinan etis yang penting untuk bagaimana arsiparis berinteraksi dengan masyarakat. Eric Ketelaar mengingatkan kita bahwa arsip sekarang menjadi ‘‘ruang praktik memori, ruang di mana orang dapat mencoba untuk menempatkan trauma mereka dalam konteks dengan mengakses dokumen, tidak hanya untuk mencari kebenaran atau mencari sejarah, tetapi mengubah pengalaman mereka menjadi makna.’’ (Ketelaar 2009, p. 120) Arsip yang begitu merangkul ingatan dan terbuka untuk pembuatan makna tersebut, Ketelaar mengajarkan kita bahwa, ‘‘arsip dapat menjadi alat untuk melakukan ritual penyembuhan. Arsip sebagai ruang penyimpanan dan kepercayaan bersama.’’ Masa lalu yang dibagi bersama, dan merangkul kepercayaan publik, ‘‘tidak hanya bersifat genealogis atau tradisional, sesuatu yang dapat Anda ambil atau tinggalkan, "sebagai tontonan budaya atau perjalanan nostalgia ke masa lalu. Ketelaar melanjutkan bahwa: ‘‘Arsip seharusnya lebih dari itu: arsip dapat mendorong moral seseorang untuk memiliki komunitas. Arsip menggambarkan masa lalu, mempertahankannya melalui waktu hingga waktu sekarang, sehingga memberi kesinambungan, kohesi, dan koherensi kepada komunitas. Arsip adalah komunitas mengikat masa lalu dan, menjadi alat mediasi melalui teks-teks memori.’’ (Ketelaar 2005, p. 54)6

Dan visi arsiparis dan arsip di atas membawa saya, kembali ke dikotomi sentral dalam mitologi profesi kearsipan, bukti versus memori, peran kita sebagai penjaga, dalam pengertian Jenkinsonian, produk arsip, bukti, pada satu di sisi lain, versus peran penafsiran atau mediasi kita, di sisi lain, sebagaimana dimanifestasikan dalam semua proses kearisipan, merupakan pembuatan memori. Dikotomi antara bukti dan memori ini telah memicu kontroversi dalam beberapa tahun terakhir yang telah membagi peran arsiparis, dari yang berhubungan dengan fungsi-fungsi mendasar seperti penilaian dan deskripsi; kemudian menjadi lebih menjadi  kontroversial terutama yang berhubungan dengan arsip elektronik atau digital, strategi dokumentasi, dan kegiatan penyusunan referensi dan jangkauannya; atau, peran mendasar, yang mengarah pada sifat pendidikan kearsipan dan dengan demikian karakteristik dari apa yang membuat kearsipan menjadi ideal pada awal abad kedua puluh satu. Dikotomi bukti-ingatan ini — semacam skizofrenia yang retak — menghalangi identitas holistik dalam profesi kearsipan dan karena itu menghambat penyampaian pesan yang masuk akal dan meyakinkan kepada banyak publik aktual dan potensial. Dikotomi ini membutakan kita untuk melakukan sinergitas atas segala pemikiran dan paradigma yang berbeda-beda.
  


Poin utama arsip secara tradisional berfokus pada bukti. Berikut adalah pelopor kearsipan Inggris yang terkenal, Sir Hilary Jenkinson pada zaman dahulu menggambarkan bagaimana sosok arsiparis yang ideal: ‘‘Arsiparis menjunjung tinggi Kesucian Bukti di atas segalanya; Tugas arsiparis adalah penyelamatan setiap bukti yang dilampirkan pada dokumen-dokumen yang berkomitmen untuk tugasnya; Tujuannya, untuk menyediakan, tanpa prasangka, untuk semua orang yang ingin mengetahui Pengetahuan … Arsiparis pada zaman dahulu adalah arsiparis yang memprioritaskan Kebenaran seutuhnya tanpa pamrih dari apa yang dihasilkan oleh dunia modern ….’’ (Jenkinson 1947, pp. 258–259) Konsep sentral profesionalisme arsiparis pada periode Jenkinson yaitu respect des fonds, original order, dan provenance dirancang dengan tepat untuk menjaga arsip, dokumen sebagai bukti konteks fungsional-struktural dan tindakan yang menyebabkan penciptaan mereka. Mengikuti prinsip-prinsip inti ini dan prosedur terkait, arsiparis diharapkan untuk mencerminkan atau, jika perlu, setransparan mungkin, dalam menciptakan arsip, melakukan transfer, pengendalian penataan arsip, seperti urutan dan karakter arsip sedemikian rupa agar penataannya sesuai dan sama persis seperti pencipta aslinya. Transparansi pengelolaan arsip seperti di atas, dipercaya dapat memungkinkan arsip berfungsi sebagai bukti yang dapat dipercaya tentang fakta, tindakan, dan gagasan yang terekam dalam arsip, sehingga singkatnya arsip menjadi bukti. Ketaatan yang ketat pada prinsip-prinsip sebagaimana dijabarkan di atas dipercaya juga akan menghilangkan, atau mengurangi sampai batas minimum, gangguan yang disebabkan oleh arsiparis yang muncul dalam karakteristik arsip. Jika gangguan ini dapat dihilangkan, atau diminimalisir, maka arsip dapat dikatakan mengandung bukti, mengandung‘‘ Kebenaran”, seperti yang dijabarkan oleh Jenkinson. Jadi, dalam kerangka kerja untuk misi kearsipan ini, arsiparis dipandang sebagai sosok yang netral, obyektif, tidak memihak, merupakan perantara jujur antara pencipta dan pengguna, yang bekerja (sekali lagi, mengutip Jenkinson) ‘‘tanpa prasangka atau pemikiran.’’7
Fokus para pelopor kearsipan sebagaimana dijelaskan di atas, juga mencerminkan keprihatinan para ahli di era sebelum mereka mengenai diplomasi,  penyusunan aturan analisis dokumen tingkat mikro untuk mendeteksi pemalsuan yang disamarkan sebagai arsip asli. Tetapi penekanan pada bukti ini tidak semata-mata bergantung pada akar diplomatik atau teks perintis dari profesi kearsipan. David Bearman menulis essai dengan judul, Electronic Evidence: Strategies for Managing Records in Contemporary Organizations. Esai ini termasuk analisis proyek utama dari Universitas Pittsburgh, yang merupakan karya pertama di dunia mengenai artikulasi persyaratan fungsional yang diperlukan untuk kearsipan dinamis yang berbasis pada bukti otentik di dunia digital. (Bearman 1994, 2006)


Proyek arsip dinamis elektronik Universitas British Columbia (dan proyek-proyek InterPARES yang mengikutinya) juga memiliki tujuan utama mengenai pengembangan strategi untuk pelestarian dari waktu ke waktu untuk menghasilkan arsip yang‘‘ otentik ’dan‘ ‘dapat diandalkan’ yang dihasilkan oleh komputer, ini menjadi semboyan ganda dari bukti berkualitas tinggi, dari 'arsip' yang dapat dipercaya.8  Fokus Australia di tahun 1990-an adalah pada akuntabilitas dan transparansi di seluruh rangkaian kegiatan kearsipan untuk menjaga bukti transaksi yang otentik.9  Dan rencana strategis 1997 untuk Arsip Nasional dan kantor Administration Record di Washington adalah, Ready Access to Essential Evidence.
Tetapi selain bukti, arsip juga menyimpan memori. Dan arsip menciptakan memori. Produk legislasi, misi resmi, pernyataan mandat, laporan tahunan, dan pidato pejabat arsip senior terus mengacu pada peran arsip dalam melestarikan ‘memori kolektif’ negara, masyarakat, lembaga, organisasi, dan individu; atau merujuk pada penilaian, seleksi, pengelolaan, dan kemudian penyimpanan arsip yang ‘signifikan,’ ’atau‘ ‘bernilai,’ ’atau‘ ‘yang berkepentingan’, dengan kata lain, berarti menjaga hal yang layak diingat, yang layak diabadikan. Sehingga, dari perspektif ini, maka, arsip dibangun dari kenangan tentang masa lalu, tentang sejarah, warisan, dan budaya, tentang akar pribadi dan hubungan keluarga, dan tentang siapa kita sebagai manusia; dengan demikian, perspektif ini menawarkan pandangan sekilas bahwa arsip berhubungan dengan diri kemanusiaan kita secara bersama-sama. Namun memori sangat selektif — dalam individu, dalam masyarakat, dan, ya, tentu saja dalam arsip. Ada ingatan ada juga melupakan. Dengan ingatan, muncul hak istimewa yang tak terhindarkan dari pencipta dan pencipta arsip, untuk melupakan atau membungkam fungsi, kegiatan, dan kelompok tertentu dalam masyarakat, dan orang lain. Ingatan, dan melupakan, dapat dilakukan oleh seluruh jajaran imperatif praktis, budaya, politik, simbolis, emosional dan etis dan merupakan pusat kekuatan, identitas, dan hak istimewa.10
Sejak arsiparis Amerika T. R. Schellenberg menghadapi masalah mengenai penilaian arsip pada pertengahan abad kedua puluh sebagai tanggapan terhadap longsoran dokumentasi yang berlebihan di semua media, pada saat itu arsiparis telah mengetahui bahwa mereka harus menentukan sepotong kecil catatan apakah akan disimpan sebagai arsip, dan kemudian memberikan otoritas untuk menghancurkan bagian lain dari dokumen yang tidak dianggap sebagai arsip. Kebutuhan yang dihasilkan oleh arsiparis kepada pengguna arsip seperti, untuk meneliti dan memahami sifat kompleks dari fungsi, struktur, proses, dan konteks terkait penciptaan dan penggunaan arsip, dan untuk menafsirkan kepentingan sebagai dasar penilaian arsip modern (dan untuk semua fungsi arsip selanjutnya), telah melemahkan gagasan tradisional tentang ketidakberpihakan arsiparis sebagai sosok yang netral atau sebagai penjaga bukti yang objektif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar