Terjemahan ini tidak lengkap karena super panjang (total 29 halaman) jika ingin file terjemahan full pages silahkan email aza....
Bukti, memori, identitas, dan
komunitas: empat paradigma kearsipan
yang berubah
Terry Cook
Published online: 28 June 2012
© Springer Science+Business Media B.V. 2012
Abstrak artikel ini berpendapat bahwa paradigma kearsipan selama 150
tahun terakhir telah melalui empat fase: dari warisan yuridis ke memori budaya
untuk keterlibatan masyarakat untuk membentuk komunitas yang sadar akan arsip (community
archiving-komunitas kearsipan).
Dengan demikian, arsiparis telah berubah fungsi, dari kurator pasif menjadi
penilai aktif menjadi mediator masyarakat kemudian menjadi fasilitator
masyarakat. Fokus pemikiran ilmu kearsipan telah berpindah dari bukti ke memori
menuju identitas yang menjadi bagian dari komunitas, karena arus intelektual
yang lebih luas telah berubah dari pra-modern ke modern menuju postmodern dan
sekarang menjadi kontemporer. Komunitas sadar arsip (Community archiving-komunitas kearsipan) dan realitas
digital menawarkan kemungkinan untuk memperbaiki wacana yang mengganggu dan
terkadang bertentangan ini dalam profesi kita.
Kata kunci: Teori Kearsipan ·
Perubahan Paradigma · Bukti · Memori ·
Identitas Profesional ·
Community archiving (komunitas sadar arsip)
Dalam masyarakat multikultural yang terglobalisasi saat ini, adalah suatu
hal yang tetap menjadi tugas penting dalam penelitian akademik dan wacana
publik untuk mempertanyakan mitos sejarah dan budaya dan mengevaluasi kembali
paradigma tradisional …. Antusiasme dekonstruksionis dan interdisipliner dalam
dekade terakhir telah menantang mitos epistemologis pendiri serta metodologi
disiplin akademis tradisional. Tetapi apakah perubahan paradigma ini berisiko
menimbulkan ortodoksi akademik baru?… Akankah pemecahan mitos muncul sebagai bentuk
dari sikap destruktif atau apakah menjadi pondasi awal perubahan?
Artikel ini ditulis
sebagai salah satu materi konferensi internasional tentang ‘‘Myth-Making and
Myth-Breaking in History and the Humanities’’1 Isi artikel ini dapat
digunakan sebagai literatur kearsipan dan bahan masukan arsiparis, dan menjadi
materi bahasan bagi peneliti profesional, tentang bagaimana mendefinisikan identitas kita
dan peran kita dalam masyarakat. Pemikiran
serupa, telah bahas pada konferensi internasional arsiparis, sejarawan,
seniman, filsuf, kritikus sastra, kurator museum, dan lainnya, yang
diselenggarakan oleh University of Dundee pada bulan Desember 2010. Dengan
disponsori oleh Pusat Studi Kearsipan dan Informasi, konferensi Dundee memiliki
tema, "Memori, Identitas, dan Paradigma Arsip." Dan dalam
konferensi tersebut tidak sedikit pembicara yang menunjukkan bahwa
istilah-istilah seperti memori, identitas, dan arsip sekarang dipandang sebagai
masalah dan, seperti yang digunakan dalam banyak literatur arsip, sebagai hal
yang tidak jelas, tidak hanya ketika diambil secara terpisah, tetapi juga dan
terutama ketika dipertimbangkan untuk digunakan secara bersama, dikombinasikan
dengan hal lain, apalagi ketika digunakan untuk membentuk paradigma kearsipan yang
mencakup semua hal.2
Banyak sejarawan, dengan hanya mengambil satu contoh
saja, menyatakan bahwa identitas di masa lalu dibentuk oleh ingatan bersama
atau kolektif yang menjiwai tradisi-tradisi yang diciptakan, dan bahwa
identitas-identitas semacam itu, begitu dibentuk, namun bersifat tidak tetap, mudah
berubah-ubah, bergantung pada waktu, ruang, dan keadaan, yang diciptakan
kembali agar sesuai dengan masa kini, dan harus selalu terus-menerus dimunculkan
kembali.3 Ketika pengaruh ras, etnis, kelas, jenis
kelamin, dan orientasi seksual yang berbeda-beda harus disatukan maka hendaknya
kelompok-kelompok terkait dalam masyarakat membentuk identitas yang menyatukan
perbedaan tersebut, dengan mencari dalam memori atau kenangan masa lalu, kenangan
berupa trauma atau prestasi, yang menjadi amunisi yang sangat kuat untuk
membenarkan dan memperkuat formulasi identitas mereka, sehingga dapat
menyatukan mereka pada masa sekarang. Ini adalah proses pembuatan memori dan
pembentukan identitas yang telah menarik perhatian banyak ahli dalam dekade
terakhir. Proses output dari pembentukan memori atau identitas ini adalah: patung,
situs bersejarah, dokumen arsip.4
Dalam pemikiran yang paling mendasar baik di lingkup akademisi
dan di masyarakat, peran apa yang dimainkan oleh arsip, atau kearsipan, atau
arsiparis, dalam memori dan proses identitas tersebut? Bagi beberapa arsiparis,
memori dan identitas adalah konsep yang tidak terlalu relevan dengan arsip,
atau dengan teori atau praktik kearsipan, walaupun sebenarnya kita sering
berbicara tentang '' memori kolektif '' yang dimanifestasikan melalui arsip,
arsip sebagai '' rumah ingatan, '' dan seterusnya. Secara tradisional arsip berisi
tentang memperoleh, menggambarkan, dan melestarikan dokumen sebagai bukti,
melindungi ketidakberpihakan mereka melalui sikap netralitas dan objektivitas
yang sadar diri para arsiparis. Konsep-konsep seperti memori, identitas, dan
komunitas mungkin merupakan hasil dari penggunaan arsip yang sekarang ini sudah
sangat banyak peneliti dan warga menggunakan arsip, namun, sayangnya pandangan
tradisional berpendapat bahwa semakin banyak arsip digunakan, seharusnya tidak
mengubah konsepsi kearsipan secara
langsung (see Piggott 2005).
Mungkin, bagaimanapun, kita para arsiparis perlu lebih
memahami tentang perbedaan, dalam bidang kita, dan dalam pekerjaan kita, antara
proses kearsipan yang kita lakukan dan produk akhir yang dihasilkan, yaitu arsip.
Mungkin dalam proses semacam itu, kita perlu menanamkan identitas kita sendiri
dan ingatan kolektif serta mitologi kita sendiri. Mungkin dalam mendefinisikan
dan menjalankan proses-proses penanaman identitas, ingatan kolektif serta
mitologi tersebut, kita akan dapat menemukan rasa kebersamaan sebagai bagian
dari komunitas kita yaitu sebagai bagian dari individu profesional yang
berpikiran sama. Batasan pendapat para ahli bahwa arsip adalah sumber informasi
tidak memihak, di satu sisi, dan pendapat lain bahwa arsip adalah interpretasi
sosial, di sisi lain, mungkin jauh lebih menantang dan interaktif daripada yang
sering diduga. Namun Ambiguitas arsip harus diakui, dan dianut, sebagai jalan
untuk pengembangan dunia kearsipan di abad ke-21. Hasilnya adalah, arsip
sebagai konsep, sebagai praktik, sebagai institusi, dan sebagai profesi dapat
diubah untuk berkembang di era digital seperti saat ini, khususnya dalam hal
para warga negara memiliki peran, melalui media sosial digital yang dapat
merekam semua jenis jejak yang berpotensi menarik, dan berpotensi menjadi arsip
yang berperan dalam kehidupan manusia, yang dapat mendekatkan kita sebagai arsiparis,
sejarawan, peneliti secara terus menerus dan berkelanjutan dengan masyarakat
luas, dimana hal ini merupakan hal yang hampir tidak dapat dilakukan sebelumnya.5
Meskipun saya telah menggunakan kata
"paradigma" (dengan permintaan maaf kepada Thomas Kuhn) dalam tidak
kurang dari tiga judul artikel yang telah saya tulis beberapa tahun belakangan
dan satu lagi dalam artikel ini untuk mencerminkan tema judul konferensi Dundee
itu sendiri, '' paradigma '' menyiratkan sistem formal (atau setidaknya
diakui), atau sebagai model mental, dari sikap, kepercayaan, dan pola tentang
beberapa fenomena. Dan konsep paradigm ini sebenarnya membuat saya agak tidak
nyaman untuk menjelaskan beberapa pernyataan umum yang saya buat di sini
tentang empat paradigma kearsipan. Mungkin ‘‘paradigma ’ini dapat didefinisikan
secara umum sebagai kerangka kerja untuk berpikir tentang arsip, atau pola
pikir arsip, cara membayangkan arsip dan proses kearsipan.
Saya ingin membahas tentang memori bersama yang dimiliki
para arsiparis, yang merupakan identitas kita, rasa komunitas kita, perasaan ketika
kita berinteraksi dengan komunitas eksternal dalam masyarakat kontemporer kita,
baik komunitas fisik nyata di lingkungan dan kota kita, maupun komunitas
virtual online dengan media sosial untuk membentuk kembali dunia kita,
pemerintahannya, komunikasinya dan pola pembuatan catatannya dalam arsip, dan
proses pembentukan identitasnya. Bagaimana kita membayangkan diri kita sendiri?
Paradigma atau kerangka kerja apa yang harus mencakup dan menggerakkan ide-ide
dan pekerjaan serta misi kita seperti yang kita bayangkan bersama di masa depan
arsip kita? Imajinasi tentang komunitas seperti di atas, terutama dalam konteks
identitas, memori dan arsip, telah dibahas oleh Benedict Andersondalam bukunya
yang fenomenal: Imagined Communities:
Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Membayangkan dalam
pengertian Anderson adalah tentang menciptakan pandangan bersama tentang
beberapa fenomena yang dapat diterima oleh penganutnya sebagai milik mereka,
apakah sebagai warga negara yang menjadi bagian dari suatu bangsa, dalam contoh
Anderson, atau dari komunitas yang lebih kecil, bahkan anggota profesi. Andersen
mengatakan bahwa bangsa sebagai komunitas yang dibayangkan, '' Komunitas ini
dalam imajinasi karena para anggotanya bahkan negara terkecilpun tidak akan
pernah tahu sebagian besar dari anggota-anggota mereka, bertemu dengan mereka,
atau bahkan mendengar tentang mereka, namun dalam pikiran setiap kehidupan terdapat
citra persekutuan dari para anggota tersebut.’’ Andersen juga menerangkan bahwa
‘‘para anggota ini dibayangkan sebagai sebuah komunitas’’ karena, terlepas dari ketidaksetaraan
dan banyaknya perbedaan antara wilayah internal, komponen, atau individu, semua
anggota merasakan 'persahabatan' yang menyeluruh yang menjadi milik mereka
bersama. Imajinasi ini, walaupun tidak seluruhnya, memiliki nuansa historis,
selain itu juga imajinasi ini berisi ‘‘legitimasi emosional ’di masa sekarang. Komunitas
yang dibayangkan (imagined communities) pada awalnya adalah “aspek
paling penting dari 'persimpangan' kekuatan sejarah yang rumit; tetapi, jika
sekali saja imagined communities tersebut diciptakan, maka komunitas
tersebut menjadi ‘modular,’ mampu ditransplantasikan, dengan berbagai tingkat
kesadaran diri, ke berbagai macam medan sosial, untuk bergabung dengan berbagai
konstelasi politik dan ideologis yang luas.’’ (Anderson 1983,
pp. 4, 6–7, original emphasis)
Sejalan dengan Anderson, sejarawan Amerika dan
spesialis hukum, Norman Cantor, mencatat bahwa secara tradisional ada dua cara
untuk membentuk imajinasi kita bersama dalam hal hukum. Cara pertama yang
merupakan pandangan sempit dan internal yaitu cara yang menuntut agar seseorang
hanya menulis tentang hukum di masa lalu, dan bagaimana hukum telah berubah
dari asalnya menjadi seperti yang kita miliki saat ini, dengan mempelajari
pemikiran para ahli hukum besar. Hasilnya adalah imajinasi yang ‘‘sangat
teknis, ’dengan fokus pada operasi dan teknik profesi hukum.’ Cara yang kedua, yang merupakan cara yang drekomendasikan oleh Cantor, adalah dengan membayangkan hukum
‘‘secara interaktif dengan memperhatikan hal yang terjadi pada masa kini kemudian
digabungkan dengan konteks budaya, masyarakat, dan politik masa lalu ….’’ Melalui
pendekatan ini, Cantor melihat bahwa ini adalah pendekatan positif atau disebut
juga pendekatan ‘‘ sosiologis dan budaya, yang 'menunjukkan bahwa imajinasi ini
paling baik dilihat sebagai ‘sosiologi sejarah.’’ (Cantor 1997, p. xv)
Apakai itu ‘‘sosiologi historis dan bagaimana
hubungannya dengan arsip, dan arsiparis, dan bagaimana kita dapat' membayangkan
arsip 'dengan cara yang sama seperti yang disarankan Cantor? Ingatan mendalam
apa dan identitas bersama apa yang memungkinkan arsiparis merasa menjadi bagian
dari komunitas, apakah mereka bekerja di lembaga arsip sektor publik atau
swasta; yang berhubungan dengan fotografi, peta, atau catatan pemerintah; di
lembaga nasional besar atau kecil lokal; apakah arsiparis tersebut bekerja sendiri,
atau dengan arsiparis lain, atau bekerja sama dengan pustakawan, kurator
museum, atau manajer arsip, apakah arsiparis tersebut bekerja sebagai
arsiparis, manajer arsip, pendidik arsip, atau penulis arsip?
Apa yang telah ada, apa yang sekarang, dan apa yang
mungkin menjadi ikatan inspirasional dan kemungkinan menjadi ikatan intelektual
yang dapat memberi makna bagi komunitas kita? Apa yang menjadikan kita semua
sebagai arsiparis? Menjadi seorang Arsiparis bukan berarti bahwa ia adalah
seorang arsiparis sejati hanya karena mereka melakukan hal yang sama di tempat
yang berbeda (penilaian, akuisisi, proses transfer, deskripsi, presevasi, membuat
akses), atau karena para arsiapris ini atau orang lain menemukan apa yang
mereka lakukan untuk menjadi '' berharga'', tetapi seorang menjadi arsiparis karena
apa yang mereka lakukan memiliki signifikansi dan dampak sosialnya kepada diri
sendiri dan komunitas, arsiparis yang memiliki maknanya sendiri,
transendensinya sendiri melampaui duniawi menuju hal yang ideal, dari individu
ke individu menuju ke arah komunal. Dan bagaimana dalam kesamaan komunitas
seperti itu kita mendamaikan perbedaan yang jelas, seringkali mendasar, tentang
nilai-nilai inti dari upaya pelaksanaan kegiatan kearsipan? Untuk sisi komunitas
juga tentang ini tentang menggusur mitos lama dan kemudian membangun mitos
baru, tentang merangkul masa depan dan mendukung masa lalu.
Dengan mempelajari masalah yang berhubungan dengan
arsip dan sejarah media, salah satunya adalah dengan membaca banyak makalah seperti
yang lakukan di konferensi Dundee, dari sudut pandang faktor sosial, budaya,
dan politik dihubungkan dengan arsip; maka konsep
filosofis, psikologis, estetika, dan mitos yang lebih luas dan relevan dengan
mengingat dan melupakan; dan menghubungkan ini dengan kekhawatiran yang ada saat
ini di sekitar determinisme teknologi, kekuatan media, akuntabilitas publik,
kesadaran Aborigin, bahkan kebencian spiritual, kita, sebagai arsiparis
memiliki kesempatan untuk mengendapkan momen '' distilasi spontan '' yang
Benedict Anderson sarankan untuk dapat memberikan definisi mengenai, resonansi
emosional, dan makna yang lebih dalam bagi anggota dari setiap 'komunitas yang
dibayangkan,'(imagined communities) 'termasuk komunitas kearsipan. ‘‘Hanya
dengan menjelajahi dan memperluas jangkauan profesional kita hingga mencapai batas
integritas yang kita miliki, seorang 'ahli teori kearsipan Hugh Taylor telah
menegaskan bahwa, ‘‘…akankah kita
melarikan diri dari daerah terpencil yang, meskipun tampaknya tenang dan
nyaman, namun terlihat stagnan dan tidak sesuai dengan diri kita.’’ (Taylor
1993, p. 220) Seperti
yang telah dianjurkan oleh Taylor di atas, kita perlu berusaha mengubah air
tenang menjadi sebuah komunitas yang dinamis yang memiliki makna sosial yang
relevan dengan masyarakat kontemporer yang menjadi bagian diri kita, dan menjadi
bagian dari banyak komunitas internal, seperti halnya komunitas arsip, seperti yang akan dibahas dalam artikel
ini, yaitu komunitas internal yang kaya akan asumsi, ide, dan kegiatan, di mana
persatuan dan keragaman perlu direkonsiliasi. Proses rekonsiliasi ini hendaknya
menyentuh keprihatinan etis yang penting untuk bagaimana arsiparis berinteraksi
dengan masyarakat. Eric Ketelaar
mengingatkan kita bahwa arsip sekarang menjadi ‘‘ruang praktik memori, ruang di
mana orang dapat mencoba untuk menempatkan trauma mereka dalam konteks dengan
mengakses dokumen, tidak hanya untuk
mencari kebenaran atau mencari sejarah, tetapi mengubah pengalaman mereka
menjadi makna.’’ (Ketelaar
2009, p. 120) Arsip
yang begitu merangkul ingatan dan terbuka untuk pembuatan makna tersebut, Ketelaar
mengajarkan kita bahwa, ‘‘arsip dapat menjadi alat untuk melakukan ritual
penyembuhan. Arsip sebagai ruang penyimpanan dan kepercayaan bersama.’’ Masa lalu yang dibagi bersama, dan merangkul
kepercayaan publik, ‘‘tidak hanya bersifat genealogis atau tradisional, sesuatu yang dapat Anda ambil atau
tinggalkan, "sebagai tontonan budaya atau perjalanan nostalgia ke masa
lalu. Ketelaar melanjutkan bahwa: ‘‘Arsip seharusnya lebih dari itu: arsip dapat
mendorong moral seseorang untuk memiliki komunitas. Arsip menggambarkan masa lalu, mempertahankannya
melalui waktu hingga waktu sekarang, sehingga memberi kesinambungan, kohesi,
dan koherensi kepada komunitas. Arsip adalah komunitas… mengikat masa lalu dan, menjadi alat
mediasi melalui teks-teks memori.’’ (Ketelaar 2005, p.
54)6
Dan visi arsiparis dan arsip di atas membawa saya,
kembali ke dikotomi sentral dalam mitologi profesi kearsipan, bukti versus memori,
peran kita sebagai penjaga, dalam pengertian Jenkinsonian, produk arsip, bukti,
pada satu di sisi lain, versus peran penafsiran atau mediasi kita, di sisi
lain, sebagaimana dimanifestasikan dalam semua proses kearisipan, merupakan pembuatan
memori. Dikotomi antara bukti dan memori ini telah memicu kontroversi dalam
beberapa tahun terakhir yang telah membagi peran arsiparis, dari yang
berhubungan dengan fungsi-fungsi mendasar seperti penilaian dan deskripsi; kemudian
menjadi lebih menjadi kontroversial terutama
yang berhubungan dengan arsip elektronik atau digital, strategi dokumentasi,
dan kegiatan penyusunan referensi dan jangkauannya; atau, peran mendasar, yang
mengarah pada sifat pendidikan kearsipan dan dengan demikian karakteristik dari
apa yang membuat kearsipan menjadi ideal pada awal abad kedua puluh satu. Dikotomi
bukti-ingatan ini — semacam skizofrenia yang retak — menghalangi identitas
holistik dalam profesi kearsipan dan karena itu menghambat penyampaian pesan
yang masuk akal dan meyakinkan kepada banyak publik aktual dan potensial. Dikotomi
ini membutakan kita untuk melakukan sinergitas atas segala pemikiran dan
paradigma yang berbeda-beda.
Poin utama arsip secara tradisional berfokus pada
bukti. Berikut adalah pelopor kearsipan Inggris yang terkenal, Sir Hilary
Jenkinson pada zaman dahulu menggambarkan bagaimana sosok arsiparis yang ideal:
‘‘Arsiparis menjunjung tinggi Kesucian
Bukti di atas segalanya; Tugas arsiparis adalah penyelamatan setiap
bukti yang dilampirkan pada dokumen-dokumen yang berkomitmen untuk tugasnya; Tujuannya,
untuk menyediakan, tanpa prasangka, untuk semua orang yang ingin mengetahui
Pengetahuan … Arsiparis pada zaman dahulu adalah arsiparis yang memprioritaskan
Kebenaran seutuhnya tanpa pamrih dari apa yang dihasilkan oleh dunia modern ….’’ (Jenkinson 1947, pp. 258–259)
Konsep sentral profesionalisme arsiparis pada periode Jenkinson yaitu respect des fonds, original order,
dan provenance dirancang dengan tepat untuk menjaga arsip, dokumen
sebagai bukti konteks fungsional-struktural dan tindakan yang menyebabkan
penciptaan mereka. Mengikuti prinsip-prinsip inti ini dan prosedur terkait,
arsiparis diharapkan untuk mencerminkan atau, jika perlu, setransparan mungkin,
dalam menciptakan arsip, melakukan transfer, pengendalian penataan arsip, seperti
urutan dan karakter arsip sedemikian rupa agar penataannya sesuai dan sama
persis seperti pencipta aslinya. Transparansi pengelolaan arsip seperti di atas,
dipercaya dapat memungkinkan arsip berfungsi sebagai bukti yang dapat dipercaya
tentang fakta, tindakan, dan gagasan yang terekam dalam arsip, sehingga
singkatnya arsip menjadi bukti. Ketaatan yang ketat pada prinsip-prinsip sebagaimana
dijabarkan di atas dipercaya juga akan menghilangkan, atau mengurangi sampai batas
minimum, gangguan yang disebabkan oleh arsiparis yang muncul dalam
karakteristik arsip. Jika gangguan ini dapat dihilangkan, atau diminimalisir,
maka arsip dapat dikatakan mengandung bukti, mengandung‘‘ Kebenaran”, seperti
yang dijabarkan oleh Jenkinson. Jadi, dalam kerangka kerja untuk misi kearsipan
ini, arsiparis dipandang sebagai sosok yang netral, obyektif, tidak memihak, merupakan
perantara jujur antara pencipta dan pengguna, yang bekerja (sekali lagi,
mengutip Jenkinson) ‘‘tanpa prasangka atau pemikiran.’’7
Fokus para pelopor kearsipan sebagaimana dijelaskan di
atas, juga mencerminkan keprihatinan para ahli di era sebelum mereka mengenai
diplomasi, penyusunan aturan analisis
dokumen tingkat mikro untuk mendeteksi pemalsuan yang disamarkan sebagai arsip
asli. Tetapi penekanan pada bukti
ini tidak semata-mata bergantung pada akar diplomatik atau teks perintis dari
profesi kearsipan. David Bearman menulis essai dengan judul, Electronic Evidence: Strategies for Managing
Records in Contemporary Organizations. Esai ini termasuk analisis proyek utama
dari Universitas Pittsburgh, yang merupakan karya pertama di dunia mengenai
artikulasi persyaratan fungsional yang diperlukan untuk kearsipan dinamis yang berbasis
pada bukti otentik di dunia digital. (Bearman 1994, 2006)
Proyek arsip dinamis elektronik Universitas British
Columbia (dan proyek-proyek InterPARES yang mengikutinya) juga memiliki tujuan
utama mengenai pengembangan strategi untuk pelestarian dari waktu ke waktu untuk
menghasilkan arsip yang‘‘ otentik ’dan‘ ‘dapat diandalkan’ yang dihasilkan oleh
komputer, ini menjadi semboyan ganda dari bukti berkualitas tinggi, dari 'arsip'
yang dapat dipercaya.8 Fokus Australia di tahun 1990-an adalah pada
akuntabilitas dan transparansi di seluruh rangkaian kegiatan kearsipan untuk
menjaga bukti transaksi yang otentik.9 Dan rencana strategis 1997 untuk Arsip
Nasional dan kantor Administration Record di Washington adalah, Ready Access to Essential Evidence.
Tetapi selain bukti, arsip juga menyimpan memori. Dan
arsip menciptakan memori. Produk legislasi, misi resmi, pernyataan mandat,
laporan tahunan, dan pidato pejabat arsip senior terus mengacu pada peran arsip
dalam melestarikan ‘memori kolektif’ negara, masyarakat, lembaga, organisasi,
dan individu; atau merujuk pada penilaian, seleksi, pengelolaan,
dan kemudian penyimpanan arsip yang ‘signifikan,’ ’atau‘ ‘bernilai,’ ’atau‘ ‘yang
berkepentingan’, dengan kata lain, berarti menjaga hal yang layak diingat, yang
layak diabadikan. Sehingga, dari perspektif ini, maka, arsip dibangun dari kenangan
tentang masa lalu, tentang sejarah, warisan, dan budaya, tentang akar pribadi
dan hubungan keluarga, dan tentang siapa kita sebagai manusia; dengan demikian,
perspektif ini menawarkan pandangan sekilas bahwa arsip berhubungan dengan diri
kemanusiaan kita secara bersama-sama. Namun memori sangat selektif — dalam
individu, dalam masyarakat, dan, ya, tentu saja dalam arsip. Ada ingatan ada
juga melupakan. Dengan ingatan, muncul hak istimewa yang tak terhindarkan dari
pencipta dan pencipta arsip, untuk melupakan atau membungkam fungsi, kegiatan, dan
kelompok tertentu dalam masyarakat, dan orang lain. Ingatan, dan melupakan,
dapat dilakukan oleh seluruh jajaran imperatif praktis, budaya, politik,
simbolis, emosional dan etis dan merupakan pusat kekuatan, identitas, dan hak
istimewa.10
Sejak arsiparis Amerika T. R. Schellenberg menghadapi
masalah mengenai penilaian arsip pada pertengahan abad kedua puluh sebagai
tanggapan terhadap longsoran dokumentasi yang berlebihan di semua media, pada
saat itu arsiparis telah mengetahui bahwa mereka harus menentukan sepotong
kecil catatan apakah akan disimpan sebagai arsip, dan kemudian memberikan
otoritas untuk menghancurkan bagian lain dari dokumen yang tidak dianggap
sebagai arsip. Kebutuhan yang dihasilkan oleh arsiparis kepada pengguna arsip
seperti, untuk meneliti dan memahami sifat kompleks dari fungsi, struktur,
proses, dan konteks terkait penciptaan dan penggunaan arsip, dan untuk
menafsirkan kepentingan sebagai dasar penilaian arsip modern (dan untuk semua
fungsi arsip selanjutnya), telah melemahkan gagasan tradisional tentang ketidakberpihakan
arsiparis sebagai sosok yang netral atau sebagai penjaga bukti yang objektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar