Terjemahan ini tidak lengkap karena panjang banget, jika ingin file lengkap email aza...
Diskusi
mengenai ‘‘ memori kolektif ’: memetakan munculnya konsep memori kolektif dalam
ilmu kearsipan
Trond Jacobsen • Ricardo L. Punzalan •
Margaret L. Hedstrom
Published online: 19 April 2013
Springer
Science+Business Media Dordrecht 2013
Abstraksi konsep ‘‘ kolektif ’atau‘ ‘sosial’ ’telah
menjadi semakin menonjol dalam wacana arsiparis selama beberapa dekade terakhir.
Lembaga kearsipan sering ditandai sebagai lembaga penting dari memori sosial,
dan banyak kegiatan profesional di dalamnya dianggap sebagai bentuk pelestarian
memori. Artikel ini menyajikan analisa sistematis tentang hubungan antara arsip
dan memori kolektif sebagaimana diartikulasikan dalam literatur arsip berbahasa
Inggris. Pertama-tama penulis mengidentifikasi tema-tema utama mengenai ingatan
kolektif dan mengelompokkan tulisan-tulisan arsip ke dalam empat pokok bahasan
utama. Kami kemudian menganalisis kutipan yang diambil dari 165 artikel tentang
memori kolektif yang diterbitkan antara 1980 dan 2010 di empat jurnal studi
kearsipan berbahasa Inggris. Kami mengidentifikasi para peneliti dan publikasi mereka
yang paling berpengaruh dan melacak evolusi konsep memori kolektif dalam
literatur tersebut. Dengan membandingkan literatur arsip pada memori kolektif dan
artikel yang diindeks di Web Ilmu Pengetahuan Thomson dan di Google Cendekia, penulis
mengidentifikasi disiplin ilmu tertentu, siapa penulisnya, dan karya arsiparis
yang meneliti tentang memori kolektif yang mungkin berguna sebagai bahan studi.
Penulis menemukan bahwa secara umum literatur kearsipan tentang memori kolektif
cukup sempit dan hanya merujuk pada lingkup internal komunitas kearsipan saja.
Tulisan ini merekomendasikan arsiparis untuk secara aktif melibatkan disiplin
ilmu lain ketika melakukan penelitian memori kolektif.
Kata kunci Memori kolektif memori sosial memori
publik lembaga kearsipan dan memori kutipan analisis transdisipliner
Konsep ‘‘ kolektif ’atau‘ ‘sosial’ ’telah menjadi
semakin menonjol dalam akademi selama 30 tahun terakhir. Minat akademisi dalam
memahami bagaimana individu, keluarga, kelompok sosial, dan bangsa mengenal dan
mengingat masa lalu terbukti dalam bidang-bidang seperti sejarah, sosiologi,
antropologi, psikologi, studi komunikasi dan studi budaya, di antara banyak
lainnya. ‘‘ Studi memori” muncul sebagai bidang multidisiplin berbeda yang
mengembangkan konsep inti dan definisi memori kolektif, yang merupakan metode
baru untuk menganalisis dinamika pembentukan dan transmisi memori, dan model
untuk pekerjaan komparatif lintas budaya, tempat, dan waktu (Misztal 2003).
Para arsiparis juga sangat
tertarik pada memori kolektif dan banyak yang mengklaim adanya hubungan khusus
antara arsip dan ingatan. Lembaga kearsipan sering ditandai sebagai lembaga
penting yang menjadi bagian dari memori sosial, dan banyak kegiatan profesional
dianggap sebagai bentuk pelestarian memori. Contoh upaya terbaru menunjukkan
kedalaman minat menngenai memori oleh banyak orang di komunitas kearsipan.1 Sejumlah
buku dan koleksi esai yang diedit oleh arsiparis diterbitkan tentang masalah
ini.2 Jurnal Archivaria (2002) dan Archival Science
(2001 and 2011) membahas berbagai masalah mengenai memori kolektif dan jurnal
terkemuka lainnya, seperti American Archivist dan Archives & Manuscripts,
secara teratur menerbitkan artikel yang meneliti berbagai aspek mengenai memori
dan arsip. Jelas arsiparis tertarik pada memori kolektif.
Hubungan antara arsip dan memori
yang diindekskan di dalamnya adalah perhatian khusus kami. Tujuan kami adalah
untuk lebih memahami bagaimana ide dan konsep ingatan kolektif diperkenalkan,
diadopsi, dan diedarkan di kalangan arsiparis. Kami menyadari ada ribuan
artikel dan monografi tentang topik tersebut, tetapi gagasan mana yang berhasil
dan siapakah penulis yang berhasil mengartikan gagasan ini?3 Bagaimana
gagasan memori kolektif memasuki wacana kearsipan dan bagaimana memori itu
digunakan dalam literatur kearsipan?
Tulisan ini menyajikan penelitian
sistematis tentang hubungan antara arsip dan memori kolektif sebagaimana
diartikulasikan dalam karya ilmiah kearsipan berbahasa Inggris.4 Pada
bagian pertama, tulisan ini mengidentifikasi tema-tema utama seputar konsep memori
kolektif yang ditemukan dalam kumpulan karya yang dipilih oleh para arsiparis
dan menempatkan tulisan-tulisan arsip itu ke dalam empat pokok bahasan utama. Bagian
pertama berisi survey bidang baru dari pokok ilmiah memori kolektif dan
mensintesis berbagai topik yang dbahas oleh para arsiparis agar dapat
mengungkapkan dengan lebih baik bagaimana hubungan antara memori arsip dan
memori kolektif diartikulasikan. Analisis tulisan ini menggarisbawahi kedalaman
minat para arsiparis.
Pada bagian kedua, terdapat
analisis kutipan tentang memori kolektif yang diekstraksi dari 165 artikel yang
diterbitkan antara 1980 dan 2010 di jurnal arsip berbahasa Inggris terkemuka seperti
American Archivist (USA), Archivaria (Canada), Archives & Manuscripts
(Australia), dan the international journal Archival Science.5 Selain
itu, terdapat identifikasi para sarjana yang paling berpengaruh dibidangnya,
bagaimana dan seberapa sering ide-ide baru memasuki wacana kearsipan, dan
seberapa sering karya-karya terkenal tersebut digunakan. Di bagian ini pembaca
diajak untuk beralih dari survei dan mensintesis makna menjadi analisis
pengaruh ilmiah dan perilaku kutipan.
Melalui kombinasi metode dan menitik
beratkan fokus utama penelitian, kami percaya karya ini menawarkan wawasan
tentang apa itu memori kolektif sehingga mengundang perhatian para sarjana
arsip, bagaimana mereka menggunakan memori kolektif dalam kehidupan sehari-hari
mereka, dan siapakah para cendekiawan dan kaum penganut tradisi ilmiah yang
paling mempengaruhi gagasan mengenai memori kolektif. Dalam kesimpulan, kami
menyampaikan analisis data yang isinya berupa rekomendasi untuk memberikan kesempatan
bagi arsiparis agar lebih terlibat dalam literatur non-arsip yang berguna bagi
kepentingan mereka dan untuk kepentingan orang-orang lain di bidang studi lain,
terutama bagi para ahli yang berpartisipasi dalam bidang memori kolektif.
Berbagai Pemahaman Mengenai Memori dalam Arsip
Pada bagian ini, kami mengategorikan sejumlah
pendekatan berbeda yang digunakan oleh arsiparis yang menggunakan konsep memori
kolektif. Apakah dan bagaimana substansi memori kolektif digunakan oleh
arsiparis dan dapat berkontribusi pada diskusi studi mengenai memori kolektif
yang lebih luas?
Para sarjana kearsipan
menggunakan konsep memori dengan banyak cara untuk menggambarkan peran arsip
dan dokumen dalam masyarakat. Kami telah membatasi 4 pokok bahasan utama yang
ditemukan dalam sumber literature berbahasa Inggris. Pokok bahasan pertama
adalah lembaga arsip sebagai lembaga warisan dan berfokus pada peran mereka
sebagai landasan simbolik untuk memori kolektif; misalnya, berbagai cara peggunaan
arsip sehingga memungkinkan untuk menjadikan perasaan yang timbul pada masa
lalu yang secara umum dialami bangsa menjadi identitas kolektif. Pokok bahasan
kedua adalah mengkritik peran arsip, lembaga kearsipan, dan arsiparis dalam
penciptaan, konstruksi, dan penyebaran ingatan sosial. Pokok bahasan ketiga
melacak hubungan di antara Arsip, memori dan kekuasaan
sosial. Contohnya termasuk karya tentang posisi etis lembaga kearsipan sebagai
lembaga sosial dan peran arsip dalam peringatan dan ingatan publik. Akhirnya,
memori digunakan untuk mengusulkan cara memanfaatkan sifat arsip sebagai bukti
dan artefak masa lalu termasuk gagasan tentang "memori arsip".
(Brothman 2001). Keempat pokok masalah di atas
tidakbersifat ekslusif satu sama lain melainkan saling berhubungan dan terkait.
Mewujudkan warisan dan identitas
kolektif
Sebuah
uraian awal yang terkenal dalam literatur kearsipan menggabungkan arsip dengan
warisan dan mengilustrasikan cara arsip dapat membantu menciptakan rasa
identitas kolektif. Seorang ahli dari Kanada Hugh A. Taylor adalah arsiparis
pertama yang menangani hubungan arsip dengan ingatan kolektif dalam esainya
tahun 1982 ‘‘The Collective Memory: Libraries and Archives as Heritage’’
(Taylor 1982–1983). Terinspirasi
oleh ide-ide seputar pelestarian warisan, Taylor berpendapat bahwa dokumen,
seperti bangunan bersejarah, situs arkeologi, atau karya seni hebat, adalah
artefak warisan. Sebagai bukti masa lalu, ia berpendapat bahwa arsip adalah
media komunikasi yang kuat bagi pembaca, memberikan rasa kedekatan dengan masa
lalu dan memiliki kualitas estetika dan emosi pada diri mereka sendiri” (Taylor
1982–1983, p.
123). Dengan demikian, arsip harus dilindungi dari kehancuran atau kemusnahan
akibat diabaikan, direproduksi, atau penghilangan akses. Taylor menulis di
tengah-tengah keadaan dimana boom ‘warisan budaya,’ yang merupakan awal dari
upaya intens dan berkelanjutan oleh sektor warisan untuk melestarikan sisa-sisa
masa lalu, sedang terjadi. Dorongan untuk melindungi ekspresi warisan yang
otentik dan unik menjadi perhatian utama dalam masyarakat yang secara perlahan
kehilangan koneksi dengan masa lalu mereka.
Taylor
meminta para arsiparis untuk mempertimbangkan peran mereka dalam pekerjaan
pengelolaan warisan dan untuk membuat program publik yang menyoroti aspek
koleksi warisan sambil bekerja sama dengan lembaga pengelola warisan lainnya,
seperti perpustakaan dan museum. Satu dekade kemudian, ia memperbarui seruan
untuk kerja sama ini dengan menggarisbawahi bahwa arsip tidak memiliki ‘‘monopoli
memori kolektif,’ yang mencakup semua bukti masa lalu yang masih hidup ’
(Taylor 1995). Pada
tahun 1995, Taylor memperluas gagasan tentang rekaman itu dengan membingkainya
sebagai ‘material budaya,’’ sebuah konsep yang dipinjam dari studi arkeologi,
antropologi, dan studi heritage. Taylor mendukung perlunya memahami arsip,
terutama selama masa aktifnya, sebagai ‘‘ instrumen 'yang kuat untuk melakukan
urusan birokrasi dan hubungan sosial. ‘‘arsip , "tulis Taylor,"
telah, dalam satu atau lain cara, berdampak pada kehidupan orang-orang yang di
dalam dokumen tersebut mereka diarahkan.’’ Dalam hal ini, Taylor menghubungkan
arsip dengan sisa-sisa budaya lain yang membangkitkan hubungan dengan masa lalu.
Memahami
arsip di luar konteks sejarah, utilitarian, yuridis, atau administratif
tradisional telah menjadi fitur utama dalam menghubungkan arsip dengan warisan
dan memori. Seorang ahli kearsipan Amerika James O’Toole, misalnya, telah
mengartikulasikan gagasan signifikan mengenai ‘makna simbolis’ dari arsip yang
memberikan lebih banyak ruang untuk menafsirkan arsip dalam konsepsi ‘‘
simbolik ’yang lebih luas (O’Toole 1993). Caranya
dengan Menjelajahi bagaimana arsip memicu rasa warisan kolektif dan mengilhami
lebih banyak refleksi tentang bagaimana arsip sebagai lembaga sosial yang berperan
dalam penyebaran kesadaran kolektif.
Banyak
ahli menganggap arsip sebagai situs di mana politik penyertaan dan pengucilan
dalam ingatan publik dan arsip adalah tempat membuat dan menyelaraskan narasi
resmi. Seperti yang dinyatakan Terry Cook, 'Mengingat secara Kolektif' - dan'
melupakan '- terjadi di dalam galeri, museum, perpustakaan, situs bersejarah,
monumen bersejarah, situs peringatan publik, dan arsip - mungkin terutama
melalui ditemukan dalam arsip ’ (Cook 1997). Berbagai
tulisan dalam uraian ini menggambarkan bagaimana masyarakat memperoleh
pengertian tentang masa lalu sebagaimana terkandung dalam koleksi arsip dan
bagaimana repositori digunakan untuk menandakan asal-usul sejarah bersama
(Harvey-Brown and Davis-Brown 1998;
Punzalan 2006).
Memikirkan
kembali, membingkai ulang, dan mendefinisikan kembali arsip
Penggunaan
kedua ‘‘memori ’menarik perhatian pada keterbatasan arsip dinamis dan statis
sebagai perwujudan peristiwa masa lalu atau sumber ingatan kolektif. Tulisan mengenai
topic ini menimbulkan pertanyaan yang menantang tentang bagaimana pengaruh
lembaga kearsipan dalam membentuk memori, dan jenis-jenis ingatan yang
bagaimana yang dihasilkan dan bersifat otentik dalam arsip. Pembahasan dalam
topik ini secara kritis dilakukan dengan cara memeriksa peran arsip sebagai
penjaga atau fasilitator memori. Yaitu dengan cara memahami hubungan langsung
antara memori dan arsip. Misalnya, Joan Schwartz dan Terry Cook pernah
mengklaim bahwa ‘‘Memori, seperti halnya history, berakar pada arsip. Tanpa
arsip, memori akan terputus-putus, pengetahuan tentang prestasi memudar,
kebanggaan dengan masa lalu yang terbagi menghilang ' (Schwartz and Cook 2002). Ahli
lain menekankan tentang ambiguitas hubungan antara arsip-memori. Misalnya,
Barbara Craig menggambarkan memori sebagai konsep yang kuat yang sering
dianggap memiliki makna yang jelas, tetapi pada kenyataannya sering tidak jelas
atau menyesatkan (Craig 2002). Francis X. Blouin, Jr. dan
William G. Rosenberg mengamati bahwa hubungan arsip-memori memaksa kita melihat
‘‘ batas-batas spasial ’dari arsip (Blouin and Rosenberg 2007).
Konteks
sosial di mana arsip terkait dengan memori, dan apakah pengetahuan yang
dibangun dari sumber-sumber kearsipan menjadi ingatan sosial, perlu diteliti
lebih lanjut. Michael Piggott mencirikan asosiasi kasual antara arsip dan
memori sebagai suatu hal yang bersifat‘‘ riang ’namun kurang menarik bagi
memori (Piggott 2005a). Demikian pula, Margaret
Hedstrom berpendapat bahwa meskipun secara retoris menggoda untuk
mengasosiasikan arsip dengan ingatan, namun syarat dan ketentuan hubungan antara
arsip dan memori tidak dipahami dengan jelas (Hedstrom 2010). Untuk Menyerukan
karakterisasi yang lebih bernuansa atau dikalibrasi, para pihak yang skeptis
mengutip kurangnya bukti langsung yang menunjukkan bagaimana arsip atau
arsiparis dan fungsi arsip berperan dalam pembangunan memori. Tulisan yang dari
kelompok skeptic ini dan karya-karya serupa mempermasalahkan pandangan yang
diterima begitu saja bahwa arsip dan memori adalah konsep yang setara.
Sementara
itu, pihak lain bereaksi terhadap kepercayaan tradisional bahwa arsip
memberikan bukti netral, andal, atau lengkap dari tindakan masa lalu. Richard
Harvey-Brown dan Beth Davis-Brown berpendapat bahwa pekerjaan kearsipan
memiliki motivasi dan konsekuensi politik yang melekat (Harvey-Brown and
Davis-Brown 1998). Mereka berpendapat bahwa
fungsi kearsipan standar seperti seleksi, pengelolaan, dan pelestarian dapat
secara langsung memengaruhi memori sosial. Verne Harris menyimpulkan bahwa arsip
hanya terdiri dari 'potongan' peristiwa dan proses yang seharusnya diwujudkan
atau diungkapkan oleh rangkaian dokumen secara keseluruhan. (Harris 2002). Dia meminta arsiparis untuk mengklaim lebih sedikit dan
memberikan lebih banyak, dan berpendapat bahwa arsip tidak memberikan narasi
lengkap tentang peristiwa masa lalu tetapi hanya ‘‘serpihan dari potongan” dari
apa yang sebenarnya telah terjadi.
Arsip, menurut Ketelaar, adalah
saksi yang tidak bisa diandalkan — sering dimanipulasi untuk mewakili
perspektif rezim yang menindas — dan dengan demikian memberikan dasar yang buruk
untuk konstruksi memori apakah oleh elit lama yang dominan atau masyarakat yang
baru berubah seperti yang terjadi di Afrika Selatan pasca-Apartheid. Dengan
kata lain, arsip tidak secara meyakinkan menghadirkan ‘memori kolektif,’
melainkan sebagian kebenaran (Harris 1997).
Metafora
kadang-kadang digunakan untuk memberikan karakterisasi yang lebih bernuansa
peran arsip dalam konstruksi memori. Laura Millar, misalnya, menolak anggapan
bahwa arsip adalah ingatan mereka sendiri; alih-alih, arsip merupakan ‘batu
sentuhan’ yang memicu ingatan dan kenangan akan peristiwa masa lalu, tetapi
hanya jika mereka diakses, dibaca, dan digunakan (Millar 2006). Hedstrom
menggunakan konsep desain komputer ‘antarmuka’ untuk menggambarkan bagaimana
arsiparis berfungsi sebagai perantara antara dokumen dan penggunanya dengan
cara yang memungkinkan, tetapi juga membatasi, interpretasi dari masa lalu '
(Hedstrom 2002). Demikian pula, Robert McIntosh
menggunakan gagasan ‘‘ asal usul ’untuk menekankan peran mediasi para arsiparis
dalam penciptaan ingatan saat mereka ‘mempraktikkan politik ingatan, dan penentuan
dari apa yang akan diingat ’ (McIntosh 1998). Jeanette
Bastian menawarkan ‘‘ komunitas kearsipan ’sebagai kerangka kerja untuk
memahami dinamika arsip dan memori masyarakat sambil memperluas gagasan tentang
asal-usul dan kepemilikan arsip (Bastian 2003). ‘‘
Teks memori ’adalah konsep lain yang digunakan beberapa orang untuk
menggambarkan arsip dan dinamika memori komunitas. Secara terpisah, Bastian dan
Eric Ketelaar menggunakan ungkapan ‘‘teks memori ’untuk menekankan perlunya
melampaui batas format arsip tradisional untuk mewujudkan kinerja budaya dan
mendistribusikan kenangan. (Bastian 2006;
Ketelaar 2005).
Beberapa tulisan
menyarankan bahwa memori adalah hal yang berharga dan dapat direkam di luar repositori
arsip dengan atau tanpa arsip dan meskipun terdapat pembatasan arsip. Bastian,
misalnya, menyerukan para arsiparis untuk berperan lebih aktif dalam
mendokumentasikan manifestasi dan ekspresi memori kolektif untuk meningkatkan
koleksi arsip dan memfasilitasi ‘keberlanjutan arsip yang berisi peristiwa dan
ingatan’ (Bastian 2009, p. 129). Dia menganggap ‘‘memori
sebagai perpanjangan dari peristiwa itu sendiri ’dan menghubungkan memori dan
kontra-memori melalui arsip‘ ‘mungkin menjadi salah satu cara untuk menambah,
meningkatkan, dan mengontekstualisasikan arsip, sebagai cara untuk mengisi beberapa ruang tidak berdokumen
dan tidak terdokumentasi ' (Bastian 2009, p.
119). Dalam hal ini, memori terdapat di luar arsip tetapi dapat dimobilisasi
untuk meningkatkan dan memfasilitasi penyimpanan arsip.
Ahli lain
percaya bahwa arsip dapat dipahami oleh publik, arsiparis perlu menemukan cara
yang lebih baik untuk berinteraksi dengan publik yang lebih luas, terutama
peneliti dan sarjana. Richard Cox berpendapat bahwa arsip dapat secara aktif
melibatkan dan bahkan mempromosikan memori kolektif dengan cara penjangkauan,
pemrograman publik, dan advokasi (Cox 1993). Fungsionalitas
interaktif yang semakin meningkat dari World Wide Web juga telah diusulkan
sebagai celah bagi arsip untuk terlibat atau menumbuhkan memori kolektif. Ketelaar,
misalnya, mengeksplorasi bagaimana teknologi web dapat memungkinkan penggunaan
arsip secara publik sehingga memungkinkan untuk menyajikan berbagai versi
peristiwa yang terkandung dalam arsip dengan menyesuaikan rekaman untuk narasi
spesifik mereka sendiri. Teknologi dalam pandangannya dapat membuka arsip
sebagai ‘ruang memori’sosial (Ketelaar 2008).
Studi-studi
ini menunjukkan keinginan yang berkembang untuk menilai fungsi arsip dan
arsiparis dalam masyarakat dan untuk memperluas konsepsi signifikansi kearsipan
dan memori.
Selain
itu, dialog penting namun kurang dapat berkembang telah dimulai tentang peran
fungsi kearsipan dalam membentuk penciptaan memori.
Arsip, Kekuasaan Sosial dan Etika
Dengan frekuensi pembahasan yang terus meningkat, para
arsiparis mulai mempelajari posisi sosial dan tanggung jawab mereka sebagai
peserta dalam fenomena memori kolektif ini. Dalam uraian ini, memori disebutkan
sering digunakan untuk mempelajari peran etis para arsiparis dalam kaitannya
dengan komunitas yang terpinggirkan dan upaya untuk mencapai keadilan. Sebagai
contoh, dalam isu yang baru-baru ini dibahas dala jurnal Archival Science, isu
tersebut disampaikan oleh editor David Wallace (2011) yaitu, menempatkan arsip dalam dinamika kompleks
‘‘etika konstruksi memori.’’ Wallace menginterogasi hubungan antara arsip, memori,
politik dan keadilan, dan menempatkan arsiparis dalam proses politik yang
mendalam untuk membangun versi tertentu dari masa lalu. Pada saat yang sama, ia
mengakui adanya tantangan untuk mempromosikan dan mencapai keadilan sosial,
hasil yang sulit dipahami tetapi kuat dalam konteks politis seperti itu.
(Wallace 2011). Adalah suatu hal yang perlu dilakukan untuk
mempelajari hasil dari para arsiparis terutama yang berhubungan dengan masa
lalu karena hal ini bisa berubah, karena, masa lalu dapat menjelaskan
ketidakadilan yang telah terjadi dan dapat mengungkapkan struktur kekuasaan.
Menulis arsip di luar negara maju, Michelle Caswell
(2010) dan Ricardo Punzalan (2009) secara terpisah menggambarkan
bahwa arsip, baik sebagai catatan maupun ruang sosial, dapat memfasilitasi
ingatan atau peringatan publik. Caswell (2010) berpendapat bahwa sementara catatan dapat menjadi pengingat yang kuat
akan rezim yang menindas dan digunakan sebagai bukti dalam upaya mencari
keadilan dan akuntabilitas, arsip juga dapat berfungsi sebagai situs di mana
para korban, penyintas, dan keluarga mereka melakukan tindakan memorialisasi
yang melampaui lembaga sosial lainnya, seperti pengadilan kriminal
internasional dan komisi kebenaran. Caswel menulis bahwa ‘‘arsip berhasil
menciptakan ingatan publik tentang Khmer Merah dengan cara di mana Tribunal
tidak’ (Caswell 2010, p. 41). Demikian pula, Punzalan (2009) menunjukkan bagaimana penciptaan arsip berfungsi sebagai pengingat
untuk para mantan orang-orang yang menderita kusta ketika mereka sedang dalam
masa sulit di era kolonial. Dalam konteks ini, arsip telah berfungsi sebagai
situs peringatan bagi komunitas terlantar atau tertindas.
Semakin banyak tulisan yang
membahas terkait memori dengan arsip yang dikumpulkan dan dihasilkan oleh
pengadilan hak asasi manusia dan komisi kebenaran. Tulisan-tulisan tersebut
membahas memori dalam kerangka sebagai saksi atau memberikan kesaksian dan
dampak selanjutnya dari arsip-arsip yang diciptakan dalam keadaan ini dalam
rekonsiliasi, keadilan sosial, dan penulisan sejarah. Nannelli (2009), contohnya,
mengakui adanya masalah dari arsip yang dibuat oleh komisi yang menyelidiki
pelanggaran HAM yang dilaporkan di Timor Lorosae di bawah rezim Indonesia. Dia
mengungkapkan adanya kompleksitas ketika mengandalkan kesaksian individu dan
kolektif yang diambil dari memori orang-orang yang dalam suasana politik dimana
komisi kebenaran bekerja, inilah kesulitan yang di alami oleh komisi kebenaran.
Meskipun demikian, kesaksian yang dihasilkan dalam proses semacam itu dapat
menjadi penting untuk memastikan bahwa kejahatan seperti itu tidak akan pernah
terjadi lagi meskipun kurangnya materi atau bukti lain dari kekejaman masa lalu.
Dengan demikian, penting untuk mengingat konteks penciptaan arsip-arsip ini, dan
konteks situasi yang membentuk isi arsip dan bagaimana arsip tersebut dibaca
dan digunakan ' (Nannelli 2009, p. 39).
Josias (2011) menunjukkan
bagaimana transformasi politik dan pencarian keadilan sosial dapat memberikan
dorongan untuk penciptaan memori dan ingatan publik. Jika memori dianggap tidak
berada secara eksklusif dalam repositori arsip, kegiatan arsip dan berbagai
bentuk dokumentasi tidak dibatasi dalam dinding lembaga arsip. Dia
menggambarkan upaya berbagai lembaga untuk membangun Afrika Selatan ‘‘baru”
pasca-apartheid melalui pameran publik, koleksi sejarah lisan, dan dialog
publik. Sementara di luar lembaga kearsipan tradisional, upaya kearsipan ini
membantu membentuk dan mempertahankan ingatan masyarakat dan kelembagaan.
Bagi
Valderhaug (2011), arsiparis secara etis
dipanggil untuk menggunakan keahlian mereka untuk ‘‘menemukan dokumentasi apa
pun yang dapat ditemukan ’dalam rangka mengakomodasi salah satu tujuan dari
memori akan keadilan. Ketika terdapat sangat sedikit bukti, jika ada, untuk
mendokumentasikan kejahatan terhadap suatu komunitas, memori bisa menjadi
kekuatan yang kuat yang dapat menopang upaya untuk mencari keadilan dan
retribusi. Dalam beberapa kasus, arsip diharapkan memberikan bukti dari
"kebenaran" dari memory itu sendiri.’’ Diskusi yang muncul ini
mengkaji bagaimana arsip digunakan untuk mencari keadilan bagi tindakan
ketidakadilan di masa lalu atau bahkan yang terlupakan.
perkembangan
global yang mendukung hak asasi manusia dan pembentukan pengadilan dan komisi
kebenaran mungkin telah mengilhami para arsiparis untuk merenungkan peran
mereka dalam mengejar keadilan dan perbaikan sosial. Selain memberikan bukti
kekejaman, arsip juga bisa menjadi ruang untuk mengenang, mengingat, dan
memulihkan memori.
Menemukan memori dalam arsip
Penggunaan lain memori dalam
kajian kearsipan ditujukan untuk membangun tempat unik di lapangan dalam
memahami dinamika transmisi dan konstruksi memori kolektif. Seperti yang pernah
ditanyakan oleh Michael Piggott, ‘‘Jadi, apakah terdapat memori kearsipan dan
memori perpustakaan atau museum yang berbeda, ketika semua secara kolektif
sekarang akan ditata sebagai lembaga memori? ' (Piggott 2005a, p. 64) Dalam hal ini, kita
dapat mempertimbangkan bagaimana konsep memori arsip telah dieksplorasi.
Foote (1990) mungkin
adalah orang pertama yang mengilhami pemikiran seperti itu di lapangan dengan
menyoroti kapasitas arsip dalam ‘‘ memperluas jangkauan komunikasi temporal dan
spasial.’’ Foote menempatkan arsip di antara berbagai sumber daya komunikasi
yang dapat memfasilitasi transfer informasi secara terus menerus lintas
generasi. Demikian pula, Jimerson (2009, p. 211)
berpendapat bahwa ‘‘ mendokumentasikan pengingat masa lalu, ’ dapat digunakan
dan ditafsirkan dalam berbagai cara. Dokumen-dokumen semacam itu bukan memori,
tetapi pengganti memori. Foote dan Jimerson melampirkan memori ke objek tetap
untuk mengabadikannya dari waktu ke waktu. Hedstrom (2010) baru-baru
ini menyimpulkan bahwa ‘‘Arsip adalah sumber untuk penemuan potensial atau
pemulihan ingatan yang telah hilang’’ dan bahwa tantangannya adalah untuk
memahami bagaimana arsip dimobilisasi dalam proses tersebut.
Selain
memahami peran arsip sebagai sumber memori tersembunyi atau yang telah hilang, uraian
ini juga menantang para pemikir arsip untuk merefleksikan asumsi yang tidak
disebutkan dan konseptualisasi tentang sifat masa lalu yang memengaruhi akses
dan pelestarian. Brothman (2001) mengundang
berbagai pihak untuk melakukan eksplorasi lebih lanjut dari konsepsi kearsipan
masa lalu dan bagaimana arsip terlibat dalam mendefinisikan dan membangun versi
masa lalu.
Memposisikan
tempat arsip dalam dinamika memori kadang-kadang berarti mengakui bahwa sejarah
dan memori dari masing-masing pihak menawarkan makna dan pendekatan yang
berbeda dengan masa lalu. Dalam memikirkan konsepsi arsip tentang waktu,
memori, dan sejarah, Brothman mengkarakterisasi dua tipe arsiparis: ‘‘
arsiparis sejarah ’dan‘ ‘arsiparis memori.’’ Arsiparis sejarah terutama peduli
dengan ‘‘ menemukan arsip dan, di dalamnya mengungkap bukti untuk mengembangkan
narasi linier tentang masa lalu … Arsiparis memori tertarik pada residu masa lalu
sebagai bahan yang mempromosikan pengetahuan terintegrasi, identitas sosial,
dan pembentukan kesadaran kelompok ' (Brothman 2001, p. 62).
Sebagai
gambaran dari konteks yang terjadi di Australia, Piggott (2005b) menggambarkan
contoh dan sampel dari ‘ arsip memori kolektif.’’ Dia berpendapat bahwa
institusi khusus dan lembaga pengingat seperti museum dan memorial mengumpulkan
arsip yang mendokumentasikan berbagai peristiwa yang layak untuk dikenang. Seiring
berjalannya waktu, arsip mereka tersebut menjadi memorial. Dengan demikian,
memorials dan proses memorialization (pengingatan) menjadi elemen
konstitutif dari arsip memori kolektif tersebut. Dalam konteks ini, catatan
tidak dapat dipisahkan dari memori.
Kesimpulan dari Uraian di atas
Arsiparis
menggunakan konsep memori untuk menempatkan arsip dalam domain yang lebih besar
dari warisan dan budaya material, dengan demikian menekankan hubungan arsip
dengan institusi serupa lainnya. Para sarjana kearsipan juga menggunakan
ingatan untuk mempelajari keterbatasan lapangan, dan terkadang menantang
gagasan lama tentang arsip sebagai sumber netral dan objektif di masa lalu.
Salah
satu proposisi adalah bahwa arsip adalah fondasi dan sumber ingatan. Berkembangnya kegiatan mengenang
dan commemoration (peringatan) publik di luar ruang lingkup arsip
tampaknya menantang proposisi tersebut. Pertanyaan tentang netralitas arsip
memunculkan pertanyaan politik tentang apa yang ditulis dalam arsip dan
bagaimana kinerja fungsi arsip pada akhirnya memengaruhi memori sosial.
Posisi
lain mengasumsikan bahwa memori yang melekat dalam fungsi arsip tidak harus
sama dengan pembentukan kesadaran kolektif. Arsiparis harus melakukan segala
upaya untuk membawa memori kolektif ke dalam arsip, dan untuk membuat arsip
memberi makan ke dalam memori sosial. Membawa arsip ke dalam interaksi dengan
memori mungkin memerlukan implementasi yang lebih baik dan efektif dari fungsi
arsip yang sudah ada dari program publik, advokasi, dan akses.
Kemungkinan
yang diberikan oleh teknologi jaringan dan digital mungkin juga menyediakan
lebih banyak ruang untuk interaksi publik agar arsip dapat secara langsung
berkontribusi pada produksi dan penyebaran memori. Arsiparis juga dapat secara
aktif mendokumentasikan contoh kegiatan mengenang dan mengingat masa lalu untuk
menambah dan memperluas koleksi yang ada atau untuk memberikan konteks ke arsip
yang sudah dalam penyimpanan arsip.
Meskipun memori
adalah bagian dari kosa kata arsiparis, tidak ada konsensus tentang peran arsip
dalam pembentukan memori. Perbedaan dalam definisi dan penggunaan istilah
mempengaruhi bagaimana hubungan memori arsip-kolektif dirasakan. ‘‘ Memori
’dapat dilihat sebagai wacana yang digunakan oleh arsiparis dalam memikirkan
arsip, arsiparis, dan pentingnya arsip dalam masyarakat. Arsiparis
kadang-kadang menggunakan memori sebagai singkatan untuk mengartikulasikan
tanggung jawab sosial mereka dan fungsi arsip dalam masyarakat, kadang-kadang
dengan santai dan kadang-kadang secara kritis. Meskipun terkenal sebagai subjek
yang terlalu sering diteliti, memori juga memiliki kapasitas untuk merekomendasikan
tujuan yang mendalam.
Arsiparis menggunakan memori untuk berbicara satu
sama lain dan para pengguna memori lainnya. Mereka juga menggunakan memori
secara refleksif untuk mempertimbangkan apa yang mereka lakukan dan makna serta
tujuan arsip yang mereka simpan.
Memori kolektif dalam berbagai studi kearsipan: Analisa kutipan
Pada bagian sebelumnya, kami menyoroti tema-tema
berbeda dan memeriksa argumen-argumen kunci oleh para arsiparis yang menulis
dalam bahasa Inggris tentang memori kolektif. Hal yang masih kurang adalah
pandangan yang jelas tentang pengaruh intelektual yang membentuk kajian itu. Pada
bagian ini, kami menjelaskan beberapa analisis kutipan sistematis dari kajian
memori kolektif yang diterbitkan dalam jurnal arsip berbahasa Inggris terkemuka.
Studi kutipan memperlakukan kutipan sebagai jenis mata uang simbolis yang
memberi sinyal pengaruh intelektual, menempatkan argumen penulis dalam konteks
ilmiah yang lebih besar, dan berfungsi sebagai media komunikasi yang berguna
sebagai proxy untuk interaksi sosial (Lievrouw 1990). Dengan menelusuri kutipan dapat memberikan
pandangan tentang ‘ekologi sosial pengetahuan’ untuk ide-ide yang ada di antara
para sarjana dan lintas disiplin ilmu melalui media kutipan mereka (Shin et al.
2009, p. 319).
Kami mempelajari kajian memori
kolektif dalam jurnal studi arsip terkemuka untuk menjawab tiga pertanyaan
utama:
1.
Siapa
penulis berpengaruh yang menulis tentang memori kolektif dalam literatur kearsipan
dan seberapa besar pengaruhnya?
2.
Artikel dan
buku jurnal mana yang memengaruhi konsep memori kolektif dalam literatur kearsipan?
3.
Penulis
mana yang dikutip dalam artikel tentang memori kolektif dalam literatur studi kearsipan?
Temuan utama kami adalah bahwa
sebagian besar kajian kearsipan berbahasa Inggris pada memori kolektif tetap sempit
dan merujuk hanya pada lingkup arsip itu sendiri. Salah satu indikator adalah
ketergantungan yang kuat pada beberapa sumber yang dikutip berulang-ulang. Yang
kedua adalah bahwa seluruh bidang keilmuan memori kolektif yang aktif diabaikan
oleh sebagian besar arsiparis, yang paling signifikan adalah sosiologi dan
psikologi sosial. Indikator ketiga adalah bahwa karya yang dihasilkan oleh
arsiparis pada dasarnya tidak terlihat oleh para sarjana di bidang lain. Indikator
terakhir adalah bahwa Maurice Halbwachs adalah satu-satunya non-arsiparis yang
banyak dikutip oleh arsiparis dan non-arsiparis.
Kami menggunakan metode yang
relatif sederhana untuk mengidentifikasi pokok fikiran utama artikel dan
mengekstrak kutipan. Kami mengidentifikasi pokok-pokok fikiran utama dari
artikel-artikel tentang memori koletif yang diterbitkan periode 1980 -2010 di
jurnal American Archivist (US), Archivaria (Canada), Archives and Manuscripts
(Australia), dan Archival Science.7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar