Rabu, 15 Mei 2019

Terjemahan Artikel: Memori Kolektif dan Konsep Memori Kolektif dalam Ilmu Kearsipan



Terjemahan ini tidak lengkap karena panjang banget, jika ingin file lengkap email aza...

Diskusi mengenai ‘‘ memori kolektif ’: memetakan munculnya konsep memori kolektif dalam ilmu kearsipan

Trond Jacobsen   Ricardo L. Punzalan

Margaret L. Hedstrom


Published online: 19 April 2013
Springer Science+Business Media Dordrecht 2013


Abstraksi konsep ‘‘ kolektif ’atau‘ ‘sosial’ ’telah menjadi semakin menonjol dalam wacana arsiparis selama beberapa dekade terakhir. Lembaga kearsipan sering ditandai sebagai lembaga penting dari memori sosial, dan banyak kegiatan profesional di dalamnya dianggap sebagai bentuk pelestarian memori. Artikel ini menyajikan analisa sistematis tentang hubungan antara arsip dan memori kolektif sebagaimana diartikulasikan dalam literatur arsip berbahasa Inggris. Pertama-tama penulis mengidentifikasi tema-tema utama mengenai ingatan kolektif dan mengelompokkan tulisan-tulisan arsip ke dalam empat pokok bahasan utama. Kami kemudian menganalisis kutipan yang diambil dari 165 artikel tentang memori kolektif yang diterbitkan antara 1980 dan 2010 di empat jurnal studi kearsipan berbahasa Inggris. Kami mengidentifikasi para peneliti dan publikasi mereka yang paling berpengaruh dan melacak evolusi konsep memori kolektif dalam literatur tersebut. Dengan membandingkan literatur arsip pada memori kolektif dan artikel yang diindeks di Web Ilmu Pengetahuan Thomson dan di Google Cendekia, penulis mengidentifikasi disiplin ilmu tertentu, siapa penulisnya, dan karya arsiparis yang meneliti tentang memori kolektif yang mungkin berguna sebagai bahan studi. Penulis menemukan bahwa secara umum literatur kearsipan tentang memori kolektif cukup sempit dan hanya merujuk pada lingkup internal komunitas kearsipan saja. Tulisan ini merekomendasikan arsiparis untuk secara aktif melibatkan disiplin ilmu lain ketika melakukan penelitian memori kolektif.

Kata kunci Memori kolektif memori sosial memori publik lembaga kearsipan dan memori kutipan analisis transdisipliner

Konsep ‘‘ kolektif ’atau‘ ‘sosial’ ’telah menjadi semakin menonjol dalam akademi selama 30 tahun terakhir. Minat akademisi dalam memahami bagaimana individu, keluarga, kelompok sosial, dan bangsa mengenal dan mengingat masa lalu terbukti dalam bidang-bidang seperti sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, studi komunikasi dan studi budaya, di antara banyak lainnya. ‘‘ Studi memori” muncul sebagai bidang multidisiplin berbeda yang mengembangkan konsep inti dan definisi memori kolektif, yang merupakan metode baru untuk menganalisis dinamika pembentukan dan transmisi memori, dan model untuk pekerjaan komparatif lintas budaya, tempat, dan waktu (Misztal 2003).

Para arsiparis juga sangat tertarik pada memori kolektif dan banyak yang mengklaim adanya hubungan khusus antara arsip dan ingatan. Lembaga kearsipan sering ditandai sebagai lembaga penting yang menjadi bagian dari memori sosial, dan banyak kegiatan profesional dianggap sebagai bentuk pelestarian memori. Contoh upaya terbaru menunjukkan kedalaman minat menngenai memori oleh banyak orang di komunitas kearsipan.1 Sejumlah buku dan koleksi esai yang diedit oleh arsiparis diterbitkan tentang masalah ini.2 Jurnal Archivaria (2002) dan Archival Science (2001 and 2011) membahas berbagai masalah mengenai memori kolektif dan jurnal terkemuka lainnya, seperti American Archivist dan Archives & Manuscripts, secara teratur menerbitkan artikel yang meneliti berbagai aspek mengenai memori dan arsip. Jelas arsiparis tertarik pada memori kolektif.

Hubungan antara arsip dan memori yang diindekskan di dalamnya adalah perhatian khusus kami. Tujuan kami adalah untuk lebih memahami bagaimana ide dan konsep ingatan kolektif diperkenalkan, diadopsi, dan diedarkan di kalangan arsiparis. Kami menyadari ada ribuan artikel dan monografi tentang topik tersebut, tetapi gagasan mana yang berhasil dan siapakah penulis yang berhasil mengartikan gagasan ini?3 Bagaimana gagasan memori kolektif memasuki wacana kearsipan dan bagaimana memori itu digunakan dalam literatur kearsipan?
Tulisan ini menyajikan penelitian sistematis tentang hubungan antara arsip dan memori kolektif sebagaimana diartikulasikan dalam karya ilmiah kearsipan berbahasa Inggris.4 Pada bagian pertama, tulisan ini mengidentifikasi tema-tema utama seputar konsep memori kolektif yang ditemukan dalam kumpulan karya yang dipilih oleh para arsiparis dan menempatkan tulisan-tulisan arsip itu ke dalam empat pokok bahasan utama. Bagian pertama berisi survey bidang baru dari pokok ilmiah memori kolektif dan mensintesis berbagai topik yang dbahas oleh para arsiparis agar dapat mengungkapkan dengan lebih baik bagaimana hubungan antara memori arsip dan memori kolektif diartikulasikan. Analisis tulisan ini menggarisbawahi kedalaman minat para arsiparis.

Pada bagian kedua, terdapat analisis kutipan tentang memori kolektif yang diekstraksi dari 165 artikel yang diterbitkan antara 1980 dan 2010 di jurnal arsip berbahasa Inggris terkemuka seperti American Archivist (USA), Archivaria (Canada), Archives & Manuscripts (Australia), dan the international journal Archival Science.5 Selain itu, terdapat identifikasi para sarjana yang paling berpengaruh dibidangnya, bagaimana dan seberapa sering ide-ide baru memasuki wacana kearsipan, dan seberapa sering karya-karya terkenal tersebut digunakan. Di bagian ini pembaca diajak untuk beralih dari survei dan mensintesis makna menjadi analisis pengaruh ilmiah dan perilaku kutipan.
Melalui kombinasi metode dan menitik beratkan fokus utama penelitian, kami percaya karya ini menawarkan wawasan tentang apa itu memori kolektif sehingga mengundang perhatian para sarjana arsip, bagaimana mereka menggunakan memori kolektif dalam kehidupan sehari-hari mereka, dan siapakah para cendekiawan dan kaum penganut tradisi ilmiah yang paling mempengaruhi gagasan mengenai memori kolektif. Dalam kesimpulan, kami menyampaikan analisis data yang isinya berupa rekomendasi untuk memberikan kesempatan bagi arsiparis agar lebih terlibat dalam literatur non-arsip yang berguna bagi kepentingan mereka dan untuk kepentingan orang-orang lain di bidang studi lain, terutama bagi para ahli yang berpartisipasi dalam bidang memori kolektif.

Berbagai Pemahaman Mengenai Memori dalam Arsip

Pada bagian ini, kami mengategorikan sejumlah pendekatan berbeda yang digunakan oleh arsiparis yang menggunakan konsep memori kolektif. Apakah dan bagaimana substansi memori kolektif digunakan oleh arsiparis dan dapat berkontribusi pada diskusi studi mengenai memori kolektif yang lebih luas?
Para sarjana kearsipan menggunakan konsep memori dengan banyak cara untuk menggambarkan peran arsip dan dokumen dalam masyarakat. Kami telah membatasi 4 pokok bahasan utama yang ditemukan dalam sumber literature berbahasa Inggris. Pokok bahasan pertama adalah lembaga arsip sebagai lembaga warisan dan berfokus pada peran mereka sebagai landasan simbolik untuk memori kolektif; misalnya, berbagai cara peggunaan arsip sehingga memungkinkan untuk menjadikan perasaan yang timbul pada masa lalu yang secara umum dialami bangsa menjadi identitas kolektif. Pokok bahasan kedua adalah mengkritik peran arsip, lembaga kearsipan, dan arsiparis dalam penciptaan, konstruksi, dan penyebaran ingatan sosial. Pokok bahasan ketiga melacak hubungan di antara Arsip, memori dan kekuasaan sosial. Contohnya termasuk karya tentang posisi etis lembaga kearsipan sebagai lembaga sosial dan peran arsip dalam peringatan dan ingatan publik. Akhirnya, memori digunakan untuk mengusulkan cara memanfaatkan sifat arsip sebagai bukti dan artefak masa lalu termasuk gagasan tentang "memori arsip". (Brothman 2001). Keempat pokok masalah di atas tidakbersifat ekslusif satu sama lain melainkan saling berhubungan dan terkait.  

Mewujudkan warisan dan identitas kolektif
Sebuah uraian awal yang terkenal dalam literatur kearsipan menggabungkan arsip dengan warisan dan mengilustrasikan cara arsip dapat membantu menciptakan rasa identitas kolektif. Seorang ahli dari Kanada Hugh A. Taylor adalah arsiparis pertama yang menangani hubungan arsip dengan ingatan kolektif dalam esainya tahun 1982 ‘‘The Collective Memory: Libraries and Archives as Heritage’’ (Taylor 1982–1983). Terinspirasi oleh ide-ide seputar pelestarian warisan, Taylor berpendapat bahwa dokumen, seperti bangunan bersejarah, situs arkeologi, atau karya seni hebat, adalah artefak warisan. Sebagai bukti masa lalu, ia berpendapat bahwa arsip adalah media komunikasi yang kuat bagi pembaca, memberikan rasa kedekatan dengan masa lalu dan memiliki kualitas estetika dan emosi pada diri mereka sendiri” (Taylor 1982–1983, p. 123). Dengan demikian, arsip harus dilindungi dari kehancuran atau kemusnahan akibat diabaikan, direproduksi, atau penghilangan akses. Taylor menulis di tengah-tengah keadaan dimana boom ‘warisan budaya,’ yang merupakan awal dari upaya intens dan berkelanjutan oleh sektor warisan untuk melestarikan sisa-sisa masa lalu, sedang terjadi. Dorongan untuk melindungi ekspresi warisan yang otentik dan unik menjadi perhatian utama dalam masyarakat yang secara perlahan kehilangan koneksi dengan masa lalu mereka.

Taylor meminta para arsiparis untuk mempertimbangkan peran mereka dalam pekerjaan pengelolaan warisan dan untuk membuat program publik yang menyoroti aspek koleksi warisan sambil bekerja sama dengan lembaga pengelola warisan lainnya, seperti perpustakaan dan museum. Satu dekade kemudian, ia memperbarui seruan untuk kerja sama ini dengan menggarisbawahi bahwa arsip tidak memiliki ‘‘monopoli memori kolektif,’ yang mencakup semua bukti masa lalu yang masih hidup ’ (Taylor 1995). Pada tahun 1995, Taylor memperluas gagasan tentang rekaman itu dengan membingkainya sebagai ‘material budaya,’’ sebuah konsep yang dipinjam dari studi arkeologi, antropologi, dan studi heritage. Taylor mendukung perlunya memahami arsip, terutama selama masa aktifnya, sebagai ‘‘ instrumen 'yang kuat untuk melakukan urusan birokrasi dan hubungan sosial. ‘‘arsip , "tulis Taylor," telah, dalam satu atau lain cara, berdampak pada kehidupan orang-orang yang di dalam dokumen tersebut mereka diarahkan.’’ Dalam hal ini, Taylor menghubungkan arsip dengan sisa-sisa budaya lain yang membangkitkan hubungan dengan masa lalu.

Memahami arsip di luar konteks sejarah, utilitarian, yuridis, atau administratif tradisional telah menjadi fitur utama dalam menghubungkan arsip dengan warisan dan memori. Seorang ahli kearsipan Amerika James O’Toole, misalnya, telah mengartikulasikan gagasan signifikan mengenai ‘makna simbolis’ dari arsip yang memberikan lebih banyak ruang untuk menafsirkan arsip dalam konsepsi ‘‘ simbolik ’yang lebih luas (O’Toole 1993). Caranya dengan Menjelajahi bagaimana arsip memicu rasa warisan kolektif dan mengilhami lebih banyak refleksi tentang bagaimana arsip sebagai lembaga sosial yang berperan dalam penyebaran kesadaran kolektif.

 Banyak ahli menganggap arsip sebagai situs di mana politik penyertaan dan pengucilan dalam ingatan publik dan arsip adalah tempat membuat dan menyelaraskan narasi resmi. Seperti yang dinyatakan Terry Cook, 'Mengingat secara Kolektif' - dan' melupakan '- terjadi di dalam galeri, museum, perpustakaan, situs bersejarah, monumen bersejarah, situs peringatan publik, dan arsip - mungkin terutama melalui ditemukan dalam arsip ’ (Cook 1997). Berbagai tulisan dalam uraian ini menggambarkan bagaimana masyarakat memperoleh pengertian tentang masa lalu sebagaimana terkandung dalam koleksi arsip dan bagaimana repositori digunakan untuk menandakan asal-usul sejarah bersama (Harvey-Brown and Davis-Brown 1998; Punzalan 2006).

Memikirkan kembali, membingkai ulang, dan mendefinisikan kembali arsip
Penggunaan kedua ‘‘memori ’menarik perhatian pada keterbatasan arsip dinamis dan statis sebagai perwujudan peristiwa masa lalu atau sumber ingatan kolektif. Tulisan mengenai topic ini menimbulkan pertanyaan yang menantang tentang bagaimana pengaruh lembaga kearsipan dalam membentuk memori, dan jenis-jenis ingatan yang bagaimana yang dihasilkan dan bersifat otentik dalam arsip. Pembahasan dalam topik ini secara kritis dilakukan dengan cara memeriksa peran arsip sebagai penjaga atau fasilitator memori. Yaitu dengan cara memahami hubungan langsung antara memori dan arsip. Misalnya, Joan Schwartz dan Terry Cook pernah mengklaim bahwa ‘‘Memori, seperti halnya history, berakar pada arsip. Tanpa arsip, memori akan terputus-putus, pengetahuan tentang prestasi memudar, kebanggaan dengan masa lalu yang terbagi menghilang ' (Schwartz and Cook 2002). Ahli lain menekankan tentang ambiguitas hubungan antara arsip-memori. Misalnya, Barbara Craig menggambarkan memori sebagai konsep yang kuat yang sering dianggap memiliki makna yang jelas, tetapi pada kenyataannya sering tidak jelas atau menyesatkan (Craig 2002). Francis X. Blouin, Jr. dan William G. Rosenberg mengamati bahwa hubungan arsip-memori memaksa kita melihat ‘‘ batas-batas spasial ’dari arsip (Blouin and Rosenberg 2007).

Konteks sosial di mana arsip terkait dengan memori, dan apakah pengetahuan yang dibangun dari sumber-sumber kearsipan menjadi ingatan sosial, perlu diteliti lebih lanjut. Michael Piggott mencirikan asosiasi kasual antara arsip dan memori sebagai suatu hal yang bersifat‘‘ riang ’namun kurang menarik bagi memori (Piggott 2005a). Demikian pula, Margaret Hedstrom berpendapat bahwa meskipun secara retoris menggoda untuk mengasosiasikan arsip dengan ingatan, namun syarat dan ketentuan hubungan antara arsip dan memori tidak dipahami dengan jelas (Hedstrom 2010). Untuk Menyerukan karakterisasi yang lebih bernuansa atau dikalibrasi, para pihak yang skeptis mengutip kurangnya bukti langsung yang menunjukkan bagaimana arsip atau arsiparis dan fungsi arsip berperan dalam pembangunan memori. Tulisan yang dari kelompok skeptic ini dan karya-karya serupa mempermasalahkan pandangan yang diterima begitu saja bahwa arsip dan memori adalah konsep yang setara.

Sementara itu, pihak lain bereaksi terhadap kepercayaan tradisional bahwa arsip memberikan bukti netral, andal, atau lengkap dari tindakan masa lalu. Richard Harvey-Brown dan Beth Davis-Brown berpendapat bahwa pekerjaan kearsipan memiliki motivasi dan konsekuensi politik yang melekat (Harvey-Brown and Davis-Brown 1998). Mereka berpendapat bahwa fungsi kearsipan standar seperti seleksi, pengelolaan, dan pelestarian dapat secara langsung memengaruhi memori sosial. Verne Harris menyimpulkan bahwa arsip hanya terdiri dari 'potongan' peristiwa dan proses yang seharusnya diwujudkan atau diungkapkan oleh rangkaian dokumen secara keseluruhan. (Harris 2002). Dia meminta arsiparis untuk mengklaim lebih sedikit dan memberikan lebih banyak, dan berpendapat bahwa arsip tidak memberikan narasi lengkap tentang peristiwa masa lalu tetapi hanya ‘‘serpihan dari potongan” dari apa yang sebenarnya telah terjadi.
Arsip, menurut Ketelaar, adalah saksi yang tidak bisa diandalkan — sering dimanipulasi untuk mewakili perspektif rezim yang menindas — dan dengan demikian memberikan dasar yang buruk untuk konstruksi memori apakah oleh elit lama yang dominan atau masyarakat yang baru berubah seperti yang terjadi di Afrika Selatan pasca-Apartheid. Dengan kata lain, arsip tidak secara meyakinkan menghadirkan ‘memori kolektif,’ melainkan sebagian kebenaran (Harris 1997).

Metafora kadang-kadang digunakan untuk memberikan karakterisasi yang lebih bernuansa peran arsip dalam konstruksi memori. Laura Millar, misalnya, menolak anggapan bahwa arsip adalah ingatan mereka sendiri; alih-alih, arsip merupakan ‘batu sentuhan’ yang memicu ingatan dan kenangan akan peristiwa masa lalu, tetapi hanya jika mereka diakses, dibaca, dan digunakan (Millar 2006). Hedstrom menggunakan konsep desain komputer ‘antarmuka’ untuk menggambarkan bagaimana arsiparis berfungsi sebagai perantara antara dokumen dan penggunanya dengan cara yang memungkinkan, tetapi juga membatasi, interpretasi dari masa lalu ' (Hedstrom 2002). Demikian pula, Robert McIntosh menggunakan gagasan ‘‘ asal usul ’untuk menekankan peran mediasi para arsiparis dalam penciptaan ingatan saat mereka ‘mempraktikkan politik ingatan, dan penentuan dari apa yang akan diingat ’ (McIntosh 1998). Jeanette Bastian menawarkan ‘‘ komunitas kearsipan ’sebagai kerangka kerja untuk memahami dinamika arsip dan memori masyarakat sambil memperluas gagasan tentang asal-usul dan kepemilikan arsip (Bastian 2003). ‘‘ Teks memori ’adalah konsep lain yang digunakan beberapa orang untuk menggambarkan arsip dan dinamika memori komunitas. Secara terpisah, Bastian dan Eric Ketelaar menggunakan ungkapan ‘‘teks memori ’untuk menekankan perlunya melampaui batas format arsip tradisional untuk mewujudkan kinerja budaya dan mendistribusikan kenangan. (Bastian 2006; Ketelaar 2005).

Beberapa tulisan menyarankan bahwa memori adalah hal yang berharga dan dapat direkam di luar repositori arsip dengan atau tanpa arsip dan meskipun terdapat pembatasan arsip. Bastian, misalnya, menyerukan para arsiparis untuk berperan lebih aktif dalam mendokumentasikan manifestasi dan ekspresi memori kolektif untuk meningkatkan koleksi arsip dan memfasilitasi ‘keberlanjutan arsip yang berisi peristiwa dan ingatan’ (Bastian 2009, p. 129). Dia menganggap ‘‘memori sebagai perpanjangan dari peristiwa itu sendiri ’dan menghubungkan memori dan kontra-memori melalui arsip‘ ‘mungkin menjadi salah satu cara untuk menambah, meningkatkan, dan mengontekstualisasikan arsip, sebagai cara untuk mengisi beberapa ruang tidak berdokumen dan tidak terdokumentasi ' (Bastian 2009, p. 119). Dalam hal ini, memori terdapat di luar arsip tetapi dapat dimobilisasi untuk meningkatkan dan memfasilitasi penyimpanan arsip.

Ahli lain percaya bahwa arsip dapat dipahami oleh publik, arsiparis perlu menemukan cara yang lebih baik untuk berinteraksi dengan publik yang lebih luas, terutama peneliti dan sarjana. Richard Cox berpendapat bahwa arsip dapat secara aktif melibatkan dan bahkan mempromosikan memori kolektif dengan cara penjangkauan, pemrograman publik, dan advokasi (Cox 1993). Fungsionalitas interaktif yang semakin meningkat dari World Wide Web juga telah diusulkan sebagai celah bagi arsip untuk terlibat atau menumbuhkan memori kolektif. Ketelaar, misalnya, mengeksplorasi bagaimana teknologi web dapat memungkinkan penggunaan arsip secara publik sehingga memungkinkan untuk menyajikan berbagai versi peristiwa yang terkandung dalam arsip dengan menyesuaikan rekaman untuk narasi spesifik mereka sendiri. Teknologi dalam pandangannya dapat membuka arsip sebagai ‘ruang memori’sosial (Ketelaar 2008).

Studi-studi ini menunjukkan keinginan yang berkembang untuk menilai fungsi arsip dan arsiparis dalam masyarakat dan untuk memperluas konsepsi signifikansi kearsipan dan memori.
Selain itu, dialog penting namun kurang dapat berkembang telah dimulai tentang peran fungsi kearsipan dalam membentuk penciptaan memori.

Arsip, Kekuasaan Sosial dan Etika
Dengan frekuensi pembahasan yang terus meningkat, para arsiparis mulai mempelajari posisi sosial dan tanggung jawab mereka sebagai peserta dalam fenomena memori kolektif ini. Dalam uraian ini, memori disebutkan sering digunakan untuk mempelajari peran etis para arsiparis dalam kaitannya dengan komunitas yang terpinggirkan dan upaya untuk mencapai keadilan. Sebagai contoh, dalam isu yang baru-baru ini dibahas dala jurnal Archival Science, isu tersebut disampaikan oleh editor David Wallace (2011) yaitu, menempatkan arsip dalam dinamika kompleks ‘‘etika konstruksi memori.’’ Wallace menginterogasi hubungan antara arsip, memori, politik dan keadilan, dan menempatkan arsiparis dalam proses politik yang mendalam untuk membangun versi tertentu dari masa lalu. Pada saat yang sama, ia mengakui adanya tantangan untuk mempromosikan dan mencapai keadilan sosial, hasil yang sulit dipahami tetapi kuat dalam konteks politis seperti itu. (Wallace 2011). Adalah suatu hal yang perlu dilakukan untuk mempelajari hasil dari para arsiparis terutama yang berhubungan dengan masa lalu karena hal ini bisa berubah, karena, masa lalu dapat menjelaskan ketidakadilan yang telah terjadi dan dapat mengungkapkan struktur kekuasaan.

Menulis arsip di luar negara maju, Michelle Caswell (2010) dan Ricardo Punzalan (2009) secara terpisah menggambarkan bahwa arsip, baik sebagai catatan maupun ruang sosial, dapat memfasilitasi ingatan atau peringatan publik. Caswell (2010) berpendapat bahwa sementara catatan dapat menjadi pengingat yang kuat akan rezim yang menindas dan digunakan sebagai bukti dalam upaya mencari keadilan dan akuntabilitas, arsip juga dapat berfungsi sebagai situs di mana para korban, penyintas, dan keluarga mereka melakukan tindakan memorialisasi yang melampaui lembaga sosial lainnya, seperti pengadilan kriminal internasional dan komisi kebenaran. Caswel menulis bahwa ‘‘arsip berhasil menciptakan ingatan publik tentang Khmer Merah dengan cara di mana Tribunal tidak’ (Caswell 2010, p. 41). Demikian pula, Punzalan (2009) menunjukkan bagaimana penciptaan arsip berfungsi sebagai pengingat untuk para mantan orang-orang yang menderita kusta ketika mereka sedang dalam masa sulit di era kolonial. Dalam konteks ini, arsip telah berfungsi sebagai situs peringatan bagi komunitas terlantar atau tertindas.
Semakin banyak tulisan yang membahas terkait memori dengan arsip yang dikumpulkan dan dihasilkan oleh pengadilan hak asasi manusia dan komisi kebenaran. Tulisan-tulisan tersebut membahas memori dalam kerangka sebagai saksi atau memberikan kesaksian dan dampak selanjutnya dari arsip-arsip yang diciptakan dalam keadaan ini dalam rekonsiliasi, keadilan sosial, dan penulisan sejarah. Nannelli (2009), contohnya, mengakui adanya masalah dari arsip yang dibuat oleh komisi yang menyelidiki pelanggaran HAM yang dilaporkan di Timor Lorosae di bawah rezim Indonesia. Dia mengungkapkan adanya kompleksitas ketika mengandalkan kesaksian individu dan kolektif yang diambil dari memori orang-orang yang dalam suasana politik dimana komisi kebenaran bekerja, inilah kesulitan yang di alami oleh komisi kebenaran. Meskipun demikian, kesaksian yang dihasilkan dalam proses semacam itu dapat menjadi penting untuk memastikan bahwa kejahatan seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi meskipun kurangnya materi atau bukti lain dari kekejaman masa lalu. Dengan demikian, penting untuk mengingat konteks penciptaan arsip-arsip ini, dan konteks situasi yang membentuk isi arsip dan bagaimana arsip tersebut dibaca dan digunakan ' (Nannelli 2009, p. 39).
Josias (2011) menunjukkan bagaimana transformasi politik dan pencarian keadilan sosial dapat memberikan dorongan untuk penciptaan memori dan ingatan publik. Jika memori dianggap tidak berada secara eksklusif dalam repositori arsip, kegiatan arsip dan berbagai bentuk dokumentasi tidak dibatasi dalam dinding lembaga arsip. Dia menggambarkan upaya berbagai lembaga untuk membangun Afrika Selatan ‘‘baru” pasca-apartheid melalui pameran publik, koleksi sejarah lisan, dan dialog publik. Sementara di luar lembaga kearsipan tradisional, upaya kearsipan ini membantu membentuk dan mempertahankan ingatan masyarakat dan kelembagaan.

Bagi Valderhaug (2011), arsiparis secara etis dipanggil untuk menggunakan keahlian mereka untuk ‘‘menemukan dokumentasi apa pun yang dapat ditemukan ’dalam rangka mengakomodasi salah satu tujuan dari memori akan keadilan. Ketika terdapat sangat sedikit bukti, jika ada, untuk mendokumentasikan kejahatan terhadap suatu komunitas, memori bisa menjadi kekuatan yang kuat yang dapat menopang upaya untuk mencari keadilan dan retribusi. Dalam beberapa kasus, arsip diharapkan memberikan bukti dari "kebenaran" dari memory itu sendiri.’’ Diskusi yang muncul ini mengkaji bagaimana arsip digunakan untuk mencari keadilan bagi tindakan ketidakadilan di masa lalu atau bahkan yang terlupakan.

perkembangan global yang mendukung hak asasi manusia dan pembentukan pengadilan dan komisi kebenaran mungkin telah mengilhami para arsiparis untuk merenungkan peran mereka dalam mengejar keadilan dan perbaikan sosial. Selain memberikan bukti kekejaman, arsip juga bisa menjadi ruang untuk mengenang, mengingat, dan memulihkan memori.

Menemukan memori dalam arsip

Penggunaan lain memori dalam kajian kearsipan ditujukan untuk membangun tempat unik di lapangan dalam memahami dinamika transmisi dan konstruksi memori kolektif. Seperti yang pernah ditanyakan oleh Michael Piggott, ‘‘Jadi, apakah terdapat memori kearsipan dan memori perpustakaan atau museum yang berbeda, ketika semua secara kolektif sekarang akan ditata sebagai lembaga memori? ' (Piggott 2005a, p. 64) Dalam hal ini, kita dapat mempertimbangkan bagaimana konsep memori arsip telah dieksplorasi.

Foote (1990) mungkin adalah orang pertama yang mengilhami pemikiran seperti itu di lapangan dengan menyoroti kapasitas arsip dalam ‘‘ memperluas jangkauan komunikasi temporal dan spasial.’’ Foote menempatkan arsip di antara berbagai sumber daya komunikasi yang dapat memfasilitasi transfer informasi secara terus menerus lintas generasi. Demikian pula, Jimerson (2009, p. 211) berpendapat bahwa ‘‘ mendokumentasikan pengingat masa lalu, ’ dapat digunakan dan ditafsirkan dalam berbagai cara. Dokumen-dokumen semacam itu bukan memori, tetapi pengganti memori. Foote dan Jimerson melampirkan memori ke objek tetap untuk mengabadikannya dari waktu ke waktu. Hedstrom (2010) baru-baru ini menyimpulkan bahwa ‘‘Arsip adalah sumber untuk penemuan potensial atau pemulihan ingatan yang telah hilang’’ dan bahwa tantangannya adalah untuk memahami bagaimana arsip dimobilisasi dalam proses tersebut.
Selain memahami peran arsip sebagai sumber memori tersembunyi atau yang telah hilang, uraian ini juga menantang para pemikir arsip untuk merefleksikan asumsi yang tidak disebutkan dan konseptualisasi tentang sifat masa lalu yang memengaruhi akses dan pelestarian. Brothman (2001) mengundang berbagai pihak untuk melakukan eksplorasi lebih lanjut dari konsepsi kearsipan masa lalu dan bagaimana arsip terlibat dalam mendefinisikan dan membangun versi masa lalu.
Memposisikan tempat arsip dalam dinamika memori kadang-kadang berarti mengakui bahwa sejarah dan memori dari masing-masing pihak menawarkan makna dan pendekatan yang berbeda dengan masa lalu. Dalam memikirkan konsepsi arsip tentang waktu, memori, dan sejarah, Brothman mengkarakterisasi dua tipe arsiparis: ‘‘ arsiparis sejarah ’dan‘ ‘arsiparis memori.’’ Arsiparis sejarah terutama peduli dengan ‘‘ menemukan arsip dan, di dalamnya mengungkap bukti untuk mengembangkan narasi linier tentang masa lalu … Arsiparis memori tertarik pada residu masa lalu sebagai bahan yang mempromosikan pengetahuan terintegrasi, identitas sosial, dan pembentukan kesadaran kelompok ' (Brothman 2001, p. 62).

Sebagai gambaran dari konteks yang terjadi di Australia, Piggott (2005b) menggambarkan contoh dan sampel dari ‘ arsip memori kolektif.’’ Dia berpendapat bahwa institusi khusus dan lembaga pengingat seperti museum dan memorial mengumpulkan arsip yang mendokumentasikan berbagai peristiwa yang layak untuk dikenang. Seiring berjalannya waktu, arsip mereka tersebut menjadi memorial. Dengan demikian, memorials dan proses memorialization (pengingatan) menjadi elemen konstitutif dari arsip memori kolektif tersebut. Dalam konteks ini, catatan tidak dapat dipisahkan dari memori.

Kesimpulan dari Uraian di atas
Arsiparis menggunakan konsep memori untuk menempatkan arsip dalam domain yang lebih besar dari warisan dan budaya material, dengan demikian menekankan hubungan arsip dengan institusi serupa lainnya. Para sarjana kearsipan juga menggunakan ingatan untuk mempelajari keterbatasan lapangan, dan terkadang menantang gagasan lama tentang arsip sebagai sumber netral dan objektif di masa lalu.

Salah satu proposisi adalah bahwa arsip adalah fondasi dan sumber ingatan. Berkembangnya kegiatan mengenang dan commemoration (peringatan) publik di luar ruang lingkup arsip tampaknya menantang proposisi tersebut. Pertanyaan tentang netralitas arsip memunculkan pertanyaan politik tentang apa yang ditulis dalam arsip dan bagaimana kinerja fungsi arsip pada akhirnya memengaruhi memori sosial.

Posisi lain mengasumsikan bahwa memori yang melekat dalam fungsi arsip tidak harus sama dengan pembentukan kesadaran kolektif. Arsiparis harus melakukan segala upaya untuk membawa memori kolektif ke dalam arsip, dan untuk membuat arsip memberi makan ke dalam memori sosial. Membawa arsip ke dalam interaksi dengan memori mungkin memerlukan implementasi yang lebih baik dan efektif dari fungsi arsip yang sudah ada dari program publik, advokasi, dan akses.
Kemungkinan yang diberikan oleh teknologi jaringan dan digital mungkin juga menyediakan lebih banyak ruang untuk interaksi publik agar arsip dapat secara langsung berkontribusi pada produksi dan penyebaran memori. Arsiparis juga dapat secara aktif mendokumentasikan contoh kegiatan mengenang dan mengingat masa lalu untuk menambah dan memperluas koleksi yang ada atau untuk memberikan konteks ke arsip yang sudah dalam penyimpanan arsip.

Meskipun memori adalah bagian dari kosa kata arsiparis, tidak ada konsensus tentang peran arsip dalam pembentukan memori. Perbedaan dalam definisi dan penggunaan istilah mempengaruhi bagaimana hubungan memori arsip-kolektif dirasakan. ‘‘ Memori ’dapat dilihat sebagai wacana yang digunakan oleh arsiparis dalam memikirkan arsip, arsiparis, dan pentingnya arsip dalam masyarakat. Arsiparis kadang-kadang menggunakan memori sebagai singkatan untuk mengartikulasikan tanggung jawab sosial mereka dan fungsi arsip dalam masyarakat, kadang-kadang dengan santai dan kadang-kadang secara kritis. Meskipun terkenal sebagai subjek yang terlalu sering diteliti, memori juga memiliki kapasitas untuk merekomendasikan tujuan yang mendalam.
Arsiparis menggunakan memori untuk berbicara satu sama lain dan para pengguna memori lainnya. Mereka juga menggunakan memori secara refleksif untuk mempertimbangkan apa yang mereka lakukan dan makna serta tujuan arsip yang mereka simpan.

Memori kolektif dalam berbagai studi kearsipan: Analisa kutipan
Pada bagian sebelumnya, kami menyoroti tema-tema berbeda dan memeriksa argumen-argumen kunci oleh para arsiparis yang menulis dalam bahasa Inggris tentang memori kolektif. Hal yang masih kurang adalah pandangan yang jelas tentang pengaruh intelektual yang membentuk kajian itu. Pada bagian ini, kami menjelaskan beberapa analisis kutipan sistematis dari kajian memori kolektif yang diterbitkan dalam jurnal arsip berbahasa Inggris terkemuka. Studi kutipan memperlakukan kutipan sebagai jenis mata uang simbolis yang memberi sinyal pengaruh intelektual, menempatkan argumen penulis dalam konteks ilmiah yang lebih besar, dan berfungsi sebagai media komunikasi yang berguna sebagai proxy untuk interaksi sosial (Lievrouw 1990). Dengan menelusuri kutipan dapat memberikan pandangan tentang ‘ekologi sosial pengetahuan’ untuk ide-ide yang ada di antara para sarjana dan lintas disiplin ilmu melalui media kutipan mereka (Shin et al. 2009, p. 319).

Kami mempelajari kajian memori kolektif dalam jurnal studi arsip terkemuka untuk menjawab tiga pertanyaan utama:

1.       Siapa penulis berpengaruh yang menulis tentang memori kolektif dalam literatur kearsipan dan seberapa besar pengaruhnya?

2.       Artikel dan buku jurnal mana yang memengaruhi konsep memori kolektif dalam literatur kearsipan?

3.       Penulis mana yang dikutip dalam artikel tentang memori kolektif dalam literatur studi kearsipan?

Temuan utama kami adalah bahwa sebagian besar kajian kearsipan berbahasa Inggris pada memori kolektif tetap sempit dan merujuk hanya pada lingkup arsip itu sendiri. Salah satu indikator adalah ketergantungan yang kuat pada beberapa sumber yang dikutip berulang-ulang. Yang kedua adalah bahwa seluruh bidang keilmuan memori kolektif yang aktif diabaikan oleh sebagian besar arsiparis, yang paling signifikan adalah sosiologi dan psikologi sosial. Indikator ketiga adalah bahwa karya yang dihasilkan oleh arsiparis pada dasarnya tidak terlihat oleh para sarjana di bidang lain. Indikator terakhir adalah bahwa Maurice Halbwachs adalah satu-satunya non-arsiparis yang banyak dikutip oleh arsiparis dan non-arsiparis.

Kami menggunakan metode yang relatif sederhana untuk mengidentifikasi pokok fikiran utama artikel dan mengekstrak kutipan. Kami mengidentifikasi pokok-pokok fikiran utama dari artikel-artikel tentang memori koletif yang diterbitkan periode 1980 -2010 di jurnal American Archivist (US), Archivaria (Canada), Archives and Manuscripts (Australia), dan Archival Science.7



Tidak ada komentar:

Posting Komentar