Senin, 23 Mei 2016

Telaah penerjemahan



Telaah ini berdasarkan artikel Achdiati Ikram (Universitas Indonesia) dengan judul "Citra-citra Jawa yang dipindahkan ke dalam Dunia Melayu" dalam buku Henri Chambert-Loir (ed), Sadur, Jakarta: Kepustakaan Populer-Gramedia, 2009. 

 
Tiga Wajah Julius Caesar
Gender dan Politik dalam Terjemahan

Tulisan ini membahas tentang perbedaan penerjemahan tentang sosok Julius Caesar sebagai salah satu lakon Shakespeare dari sudut pandang 3 seniman Indonesia yaitu Muhammad Yamin, Asrul Sani, dan Ikranegara. Perbedaan teknik penerjemahan dipengaruhi oleh latar belakang ketiga seniman tersebut.
1.       Muhammad Yamin
Perbedaan ungkapan. Menggunakan banyak ungkapan yang kuno (tidak dapat digunakan lagi)
Sintaksis teks dan struktur kalimat yang dipergunakan panjang dan kompleks
Tujuan penerjemahannya adalah untuk penelitian sastra dan sejarah, terdapat catatan kaki
Karya Yamin dengan menyatakan keberpihakannya kepada Julius Caesar mencerminkan bahwa Yamin ingin mewujudkan berdirinya Republik Indonesia yang utuh dan aman hal ini dilatarbelakangi oleh posisinya pada waktu sebagai pemimpin pergerakan pemuda Jong Java
Karya Yamin juga cenderung setia pada teks sumber dan mengarah pada teks sastra
Julius Caesar karya Yamin menyuarakan pesan-pesan anti penghianatan dan separatisme yang kuat. Karena pada masa Yamin, terdapat banyak pemberontakan dan perpecahan di Indonesia

2.       Asrul Sani
Menggunakan gaya bahasa puitis
Sintaksis teks yang dipergunakan terbuka dan cenderung blak-blakan
Asrul Sani merupakan seniman yang hidup pada masa awal orde baru, maka hasil terjemahannya lebih banyak menyindir pihak pemerintah yang berkuasa pada zaman itu.
Karya terjemahan Asrul Sani dipengaruhi oleh semangat nasionalime sehingga ia lebih menyuarakan asripasi kelompoknya yang bervisi individualis dan universalis
Karya terjemahan yang dihasilkan banyak menggunakan kosakata dari bahasa Sanserkerta, Arab, atau Melayu yang mencerminkan pendewasaan bahasa Indonesia
Julius Caesar versi Asrul Sani merupakan lakon yang sesuai dengan penggambaran Shakespeare. Yaitu gabungan antara humanis liberal dan seni modern.

3.       Ikranegara
Karya terjemahannya berbeda karena latar belakang pekerjaannya sebagai dramawan dan tokoh panggung yang berasal dari Bali
Ia sengaja menyindir pemerintahan orde baru yang melenceng dari cita-cita penegakkan demokrasi dan pemerintahan yang bersih
Sindiriannya dikenal dengan “bulu-bulu sayap penguasa harus dicabuti”
Persamaan dengan teks asli Shakespeare, menginginkan pemerintahan yang bersih
Karya Ikranegara tidak mencerminkan perbedaan gender.
Lebih focus ke dunia politis dengan menghilangkan unsur feminisme (hubungan antar jenis kelamin)
Ikranegara menilai bahwa karya terjemahan Yamin dan Asrul Sani tidak dapat dipentaskan dalam teater.
Julius Caesar versi Ikranegara ditulis pada puncak “kestabilan” politik dibawah orde baru Soeharto yaitu mengkritik pemerintahan yang berkuasa saat itu. Jika Yamin menyebut Brutus sebagai kelompok Pemberontak, Ikranegara menyebut kelompok Brutus sebagai kelompok Pembersih yang diartikan bahwa gerakan pembersih patut dilakukan untuk membersihkan tirani penguasa pada masa itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar