Telaah ini berdasarkan artikel Achdiati Ikram (Universitas Indonesia) dengan judul "Citra-citra Jawa yang dipindahkan ke dalam Dunia Melayu" dalam buku Henri Chambert-Loir (ed), Sadur, Jakarta: Kepustakaan Populer-Gramedia, 2009.
Tiga Wajah Julius Caesar
Gender dan Politik dalam
Terjemahan
Tulisan ini membahas tentang perbedaan penerjemahan tentang sosok Julius
Caesar sebagai salah satu lakon Shakespeare
dari sudut pandang 3 seniman Indonesia yaitu Muhammad Yamin, Asrul Sani,
dan Ikranegara. Perbedaan teknik penerjemahan dipengaruhi oleh latar belakang
ketiga seniman tersebut.
1.
Muhammad Yamin
Perbedaan ungkapan. Menggunakan banyak ungkapan
yang kuno (tidak dapat digunakan lagi)
Sintaksis teks dan struktur kalimat yang
dipergunakan panjang dan kompleks
Tujuan penerjemahannya adalah untuk penelitian
sastra dan sejarah, terdapat catatan kaki
Karya Yamin dengan menyatakan keberpihakannya
kepada Julius Caesar mencerminkan bahwa Yamin ingin mewujudkan berdirinya
Republik Indonesia yang utuh dan aman hal ini dilatarbelakangi oleh posisinya
pada waktu sebagai pemimpin pergerakan pemuda Jong Java
Karya Yamin juga cenderung setia pada teks
sumber dan mengarah pada teks sastra
Julius Caesar karya Yamin menyuarakan
pesan-pesan anti penghianatan dan separatisme yang kuat. Karena pada masa
Yamin, terdapat banyak pemberontakan dan perpecahan di Indonesia
2.
Asrul Sani
Menggunakan gaya bahasa puitis
Sintaksis teks yang dipergunakan terbuka dan
cenderung blak-blakan
Asrul Sani merupakan seniman yang hidup pada
masa awal orde baru, maka hasil terjemahannya lebih banyak menyindir pihak
pemerintah yang berkuasa pada zaman itu.
Karya terjemahan Asrul Sani dipengaruhi oleh
semangat nasionalime sehingga ia lebih menyuarakan asripasi kelompoknya yang
bervisi individualis dan universalis
Karya terjemahan yang dihasilkan banyak
menggunakan kosakata dari bahasa Sanserkerta, Arab, atau Melayu yang
mencerminkan pendewasaan bahasa Indonesia
Julius Caesar versi Asrul Sani merupakan lakon
yang sesuai dengan penggambaran Shakespeare. Yaitu gabungan antara humanis
liberal dan seni modern.
3.
Ikranegara
Karya terjemahannya berbeda karena latar
belakang pekerjaannya sebagai dramawan dan tokoh panggung yang berasal dari
Bali
Ia sengaja menyindir pemerintahan orde baru
yang melenceng dari cita-cita penegakkan demokrasi dan pemerintahan yang bersih
Sindiriannya dikenal dengan “bulu-bulu sayap
penguasa harus dicabuti”
Persamaan dengan teks asli Shakespeare,
menginginkan pemerintahan yang bersih
Karya Ikranegara tidak mencerminkan perbedaan
gender.
Lebih focus ke dunia politis dengan
menghilangkan unsur feminisme (hubungan antar jenis kelamin)
Ikranegara menilai bahwa karya terjemahan Yamin
dan Asrul Sani tidak dapat dipentaskan dalam teater.
Julius Caesar versi Ikranegara ditulis pada
puncak “kestabilan” politik dibawah orde baru Soeharto yaitu mengkritik
pemerintahan yang berkuasa saat itu. Jika Yamin menyebut Brutus sebagai
kelompok Pemberontak, Ikranegara menyebut kelompok Brutus sebagai kelompok
Pembersih yang diartikan bahwa gerakan pembersih patut dilakukan untuk
membersihkan tirani penguasa pada masa itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar