Terjemahan ini tidak lengkap jika ingin terjemahan full please email me
BAB TUJUH BELAS
GERAKAN
OIKUNEMISME DI INDONESIA DENGAN PERHATIAN KHUSUS PADA DEWAN GEREJA NASIONAL
INDONESIA
Parameter atau
indikator yang biasa digunakan untuk memantau proses pergerakan oikumenisme di
Indonesia adalah dengan mengacu pada Dewan Nasional Gereja Indonesia yang
disebut dengan Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI), Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI, yang didirikan pada
tahun 1950 dan sejak tahun 1984 berubah menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, PGI). Namun DGI / PGI,
tidak identik dengan gerakan oikumene. Kinerja lembaga ini, terutama selama
sepuluh tahun terakhir, mungkin bertentangan dengan semangat gerakan, seperti
yang diamati dengan keprihatinan mendalam oleh banyak pemimpin gereja dan
pendeta gereja. Selain itu, seperti yang akan kita lihat, ada beberapa dewan
atau persekutuan gereja-gereja lain di Indonesia yang juga mengklaim sebagai
lembaga oikumene.
Namun, DGI / PGI memainkan peran yang sangat
kuat dan signifikan. DGI/PGI secara umum diakui sebagai 'pembawa bendera' dari
gerakan ekumenis di negara ini dan — setidaknya sampai tahun 1980-an — bertindak
sebagai perwakilan dari Gereja-Gereja Protestan untuk pemerintah dan
kepercayaan lain. Karena itu kami akan memberikan perhatian khusus kepada
DGI/PGI, dengan mempertimbangkan benih dan perkembangan gerakan oikumene yang cukup
lama berjalan sebelum berdirinya serta peran beberapa lembaga atau kelompok
lain yang juga mengklaim sebagai ekspresi dan manifestasi dari gerakan dan
semangat ini. Dengan melakukan ini kita juga akan melihat beragam dan luasnya
pemahaman tentang oikumene di antara gereja-gereja dan orang-orang Kristen di
negara ini.
Perkembangan gerakan oikumene di negara ini
merupakan bagian dari gerakan internasional, termasuk beragam pemahaman dan
ekspresi oikumene. Karena itu kita tidak dapat menghindari sekilas aspek
sejarah global, terutama di antara organisasi misi dan konferensi yang
memprakarsai gerakan ini. Karena gerakan ini juga dipengaruhi oleh realitas
politik dan ideologis (seperti munculnya nasionalisme di antara negara-negara
jajahan sejak awal abad kedua puluh), kita juga harus mencatat sejarah ini
dalam perspektif global maupun global. Sejalan dengan ini, ide dan gerakan
tiga-diri (berdiri sendiri, menyebarkan ajaran kristen dan mandiri) juga membuat
kontribusi timbal balik untuk gerakan oikumene, di mana mereka saling mendukung
pertumbuhan satu sama lain.
Sebagai
survei umum, bab ini terutama bersumber pada publikasi formal dan
institusional, tetapi dalam kasus-kasus tertentu juga mencoba untuk memberikan
potret nyata dari perkembangan di lapangan. Ruang lingkup gerakan oikumene akan
tidak terlalu nampak jika hanya dilihat dalam kegiatan formal atau formulasi. Karena
itu isu-isu hangat juga akan dihadirkan untuk melihat dinamika gerakan ini.
Benih-benih dan Para Pionir
Seperti yang telah disebutkan dalam bab enam, pada paruh pertama abad
ke-19, raja Belanda dan pemerintah kolonial Belanda memprakarsai lembaga gereja
baru di negara ini yang disebut Gereja Protestan di Hindia Belanda, yang biasa
disebut Indische Kerk. Berdasarkan perspektif pengakuan, gereja ini
memiliki kelemahan yang cukup serius: tidak memiliki identitas pengakuan. Tetapi
dari sudut pandang tertentu kita dapat juga mengatakan bahwa gereja ini
menyatukan tradisi Reformed, Lutheran dan Protestan lainnya dan tidak
menekankan keseragaman doktrinal, sehingga sampai batas tertentu gereja ini
juga dapat disebut sebagai salah satu pelopor gereja dengan semangat oikumene.
Sementara
itu, dari awal abad ke-19 semakin banyak masyarakat misionaris memilih negara
ini sebagai ladang misi mereka. Sudah sejak paruh kedua abad ke-19 dan
seterusnya tumbuh kesadaran di antara masyarakat misionaris ini bahwa mereka
harus membangun kerja sama di berbagai sektor. Kerjasama pertama adalah di
media informasi dan komunikasi (lih. Bab dua puluh satu). Dari 1851 sampai
seterusnya mereka menerbitkan bulletin bulanan yang disebut Opwekker (Awakener).
Pada awalnya buletin ini diprakarsai oleh masyarakat misionaris, Genootschap voor In- en
Uitwendige Zending (Kelompok Masyarakat untuk Misi Internal dan Eksternal) yang dipimpin
oleh Pendeta E.W. King, dan dari tahun 1881 hingga 1941 itu diambil alih dan
diterbitkan oleh asosiasi misionaris yang baru didirikan dari berbagai badan
misi, Nederlandsch
Indische Zendingsbond (NIZB). Buletin ini berisi laporan dari berbagai konferensi misionaris
dan memberikan ruang yang luas untuk artikel yang merangsang diskusi mengenai
pengembangan misi dan gereja, termasuk kerja sama dan persatuan di antara
mereka.
Bidang
kerja sama yang kedua adalah mempersiapkan pekerja pribumi. Pada tahun 1869 JA.
Schuurman, seorang menteri di Batavia / Jakarta, menerbitkan sebuah artikel
untuk memanggil orang-orang Kristen di negara ini untuk membangun seminari. Seruan
ini direspon secara positif oleh beberapa masyarakat misionaris, dan pada tahun
1878 mereka membangun seminari di Depok, sekitar 35 km selatan Batavia. Banyak
perkumpulan misi mengirim siswa
dari daerah misi mereka: Tanah Batak, Minahasa, Timor, Sangir-Talaud, serta
dari daerah di Jawa. Melalui proses belajar dan mengajar di antara para guru
dan siswa mereka diperkaya dan belajar banyak hal berharga dari satu sama lain,
dan mengembangkan semangat kerja sama dan persatuan yang kemudian disebut
semangat oikumenis. Semangat ini diungkapkan dalam banyak hal ketika para siswa
menyelesaikan studi mereka dan kembali ke gereja mereka sendiri.
Seminari
Depok ini ditutup pada tahun 1926 karena masyarakat sponsor telah membuka
seminari mereka masing-masing dan berencana untuk memulai seminari tingkat yang
lebih tinggi atau universitas. Rencana ini diimplementasikan dalam pendirian
yang disebut Hoogere Theologische School (Sekolah Tinggi Teologi) pada tahun 1934 (sejak
1936 pindah ke Batavia/Jakarta, dan sejak 1954 dikenal sebagai Sekolah Tinggi Theologia [STT] Jakarta). Peran aliran teologis ini
dalam pengembangan semangat dan gerakan oikumenis sangat luar biasa, hingga
saat ini. Hendrik Kraemer, salah satu penggagas sekolah ini, mengatakan dalam
pidato pengukuhannya bahwa di masa depan keberadaan dan peran sekolah ini akan
sangat penting secara teologis dan eklesiastik bagi perkembangan komunitas
Kristen Protestan Indonesia yang kuat dan tidak terpecah-pecah, bahkan meskipun
gereja dipisahkan oleh faktor geografis dan etnis.
Langkah
ketiga menuju kerja sama adalah pembentukan persatuan masyarakat misi yang
disebutkan di atas, NIZB, pada tahun 1881, sebagai kesepakatan dan keputusan
konferensi misionaris di Seminari Depok pada tahun 1880. NIZB secara teratur
menyelenggarakan konferensi misionaris untuk membahas masalah aktual dan
masalah yang dihadapi dalam kegiatan misionaris dan penginjilan. Dari tahun
1920-an, NIZB juga membahas perkembangan gereja menuju otonomi dan penghidupan
sendiri, serta kerjasama dan persatuan gereja. Dari tahun 1920-an, NIZB juga
membahas perkembangan gereja menuju otonomi dan penghidupan sendiri, serta
kerjasama dan persatuan gereja. Karena beberapa kendala, hingga konferensi
terakhir NIZB di Karang Pandan pada tahun 1941, ide ini tidak dapat
diimplementasikan, meskipun komite persiapan telah menyiapkan rancangan
konstitusi. Namun, konferensi ini sangat penting karena juga dihadiri oleh
beberapa pemimpin adat terkemuka seperti Soewidji, J. Leimena dan Amir
Sjarifuddin, yang mengusulkan ide-ide mereka mengenai persatuan gereja-gereja
di Indonesia serta sudut pandang dan peran dari gereja-gereja dalam gerakan
nasionalis. Mereka juga mengkritik masyarakat misionaris yang tidak membangun
dan mendukung kesadaran politik dan semangat nasionalisme di antara orang-orang
Kristen pribumi.
Langkah
keempat adalah berdirinya Zendingsconsulaat (Konsulat Misi, 1906) sebagai
penghubung antara pemerintah dan dewan berbagai masyarakat misionaris di negara
ini. Hubungan yang harmonis antara pemerintah kolonial dan konsulat misi di
Batavia meningkatkan hubungan harian para misionaris dan pegawai negeri. Hal tersebut juga mempengaruhi kerja sama
masyarakat misionaris di Belanda, termasuk pendirian Dewan Misionaris Belanda
pada 1929. Konsulat ini ada hingga tahun 1953 dan memainkan peran penting dalam
memupuk kerja sama dan pertumbuhan gereja melalui masyarakat misionaris mereka
masing-masing.3
Peran komunitas
Alkitab juga layak disebutkan. Sebagai lembaga antar gereja dan antar
misionaris, Nederlands Bijbelgenootschap (NBG) ditetapkan sebagai
organisasi induk untuk Konsulat Misi. Hal yang lebih penting adalah peranan NBG
(dan pada tingkat yang jauh lebih rendah peranan British and Foreign Bible
Society) dalam menyediakan infrastruktur dan personel yang memenuhi syarat
untuk penerjemahan Alkitab dalam sejumlah bahasa Indonesia, dan terutama dalam
mencari solusi untuk masalah sulit seperti untuk memilih satu dari banyak ragam
bahasa Melayu untuk menjadi bahasa Alkitab Melayu umum yang dapat menggantikan
Leijdecker dan, pada abad kedua puluh, terjemahan Klinkert. Namun, masalah ini
baru terpecahkan setelah Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) telah mengambil alih kepemimpinan di bidang
ini dari NBG (1954).
Di antara
gereja-gereja Cina, terutama di Jawa, ada perkembangan yang patut dicatat. Semangat
persatuan di antara gereja-gereja ini memiliki hubungan yang erat dengan
gerakan nasionalis yang dipimpin oleh Sun Yat Sen, dan gerakan oikumenis di
Cina seperti yang terlihat antara lain dalam pendirian NCC di Cina pada tahun
1922. Langkah pertama diambil dalam konferensi mereka di Bogor pada bulan
November 1926, dipimpin oleh Pendeta Pouw Peng Hong. Konferensi ini sepakat
untuk membentuk forum bagi umat Kristen Cina yang mereka panggil Bond van Chinese Christenen in
Indonesiƫ, dengan tujuan untuk
menyatukan semua orang Kristen Tionghoa di Indonesia. Terlepas dari beberapa
kelemahan, seperti memiliki karakter yang lebih Cina daripada Indonesia, mereka
terus berkembang dengan membentuk lembaga baru yang mereka sebut Geredja Tionghoa Serikat. Namun, sampai tahun 1940-an, gagasan untuk
menyatukan semua gereja Cina dalam satu lembaga masih menjadi mimpi; mereka
hanya dapat membentuk, pada tahun 1948, sebuah dewan untuk gereja-gereja Cina
yang mereka sebut Dewan
Geredja-geredja Kristen Tionghoa.4
Kami juga harus
menyebutkan pendirian organisasi pelajar dan wanita. Pada tahun 1924, Nederlandsche Christen Studenten Vereeniging (Serikat Pelajar Kristen Belanda) mengirim Dr.
C.L. van Doorn untuk melayani pemuda dan pelajar Kristen di Indonesia. Pada
tahun 1926 Ia mendirikan Christen
Studenten Vereeniging [op Java] (Christian Students’ Union [in Java]). Pada
tahun yang sama Dr. John R. Mott, seorang tokoh penting dalam gerakan oikumenis
dan ketua Federasi Mahasiswa Kristen Dunia, dan beberapa pemimpin lainnya,
mengunjungi Indonesia untuk program misi dan pemuda. Selama pertemuan, termasuk
konferensi pemuda dan konferensi NIZB, mereka mempromosikan gagasan oikoumene
atau persatuan gereja. Kunjungan ini memberikan kesan yang sangat mendalam dan
moto dari WSCF, ut omnes unum sint (kutipan dari Yohanes 17:21), mulai dikenal di kalangan orang Kristen
Indonesia. Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1928, Christen Jonge Vrouwen Federatie (Federasi Wanita Muda
Kristen), yang dipimpin antara lain oleh Ibu Gunung Mulia dan Ibu A.L. Fransz,
dibentuk dan diterima sebagai anggota Federasi Kristen Wanita Muda Dunia).
Terakhir
tetapi tidak kalah penting kita harus menyebutkan peran Konferensi Misionaris
Internasional (IMC). Dalam konferensi pertama di Edinburgh 1910 tidak ada
Kristen pribumi dari Hindia Belanda atau Indonesia yang hadir. Delegasi dari
Indonesia hanya terdiri dari beberapa misionaris, tetapi Dr. Todung Sutan
Gunung Mulia menghadiri konferensi kedua, di Yerusalem pada tahun 1928. Dia
terkesan dengan perhatian serius konferensi ini terhadap berbagai masalah
sosial-politik-ekonomi yang terkait dengan esensi dan tujuan misi, serta
kehadiran perwakilan dari beberapa gereja yang baru berdiri. Itulah sebabnya
dalam pidatonya di konferensi NIZB, segera setelah dia kembali dari Yerusalem,
dia dengan tajam mengkritik kebijakan misi yang tidak secara serius
memperhitungkan beberapa perkembangan internasional atau global yang penting.5
Dengan
kata lain, melalui Dr. Gunung Mulia konferensi Yerusalem mendorong
gereja-gereja yang baru berdiri di Indonesia untuk memperkuat kesadaran mereka
akan persatuan dan kerja sama, dan untuk merefleksikan tugas mereka dengan
lebih serius dalam rangka mencapai otonomi. Tidak heran bahwa konferensi IMC
ketiga di Tambaram pada tahun 1938 dihadiri oleh lebih banyak orang Kristen
Indonesia asli (ada dua belas, di antaranya adalah Ibu A.L. Fransz dan Dr J.
Leimena) selain beberapa pemimpin misi yang bekerja di negara ini. Lebih dari
yang pertama, konferensi ini mendorong gereja-gereja baru termasuk yang ada di
Indonesia untuk lebih serius dalam upaya mengekspresikan persatuan mereka.
Sebagai
tindak lanjut dari konferensi internasional ini, beberapa konferensi penting
terjadi di negara ini. Salah satunya adalah konferensi WSCF untuk wilayah Asia
di Citeureup, dekat dengan Batavia / Jakarta, pada tahun 1933, dihadiri oleh
delegasi dari banyak negara barat dan Asia. Dalam konferensi ini CSV op Java
yang diketuai oleh Dr. J. Leimena diterima sebagai anggota WSCF. Konferensi ini memberi
kesan mendalam pada para peserta dan Dr. Hendrik Kraemer, salah satu pemimpin
misionaris yang terus mendesak dan mendorong masyarakat misionaris untuk
memberikan otonomi kepada gereja-gereja muda, memuji konferensi ini karena
keberhasilannya dalam upaya memfasilitasi dan untuk mendukung persatuan
orang-orang muda Kristen. Kemudian, sejak 1947, op CSV Java menjadi Madjelis Pemoeda Kristen
Oikoumene.
dan sejak tahun 1954 menjadi Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia. Banyak
pemimpin gerakan ini kemudian menjadi pemimpin terkemuka dalam gerakan
ekumenis, seperti Fridolin Ukur, Liem Khiem Yang, Sabam Siagian, Sabam Sirait,
dan Nico Rajawane.
Menindaklanjuti konferensi Tambaram, pada bulan
Januari 1939 para pemimpin beberapa gereja di Jawa bertemu di Batavia / Jakarta
untuk membahas kemungkinan pembentukan dewan gereja dan misi di Indonesia. Mereka
membentuk komite kerja yang terdiri dari beberapa pemimpin terkemuka, tetapi
rencana ini harus ditunda karena pecahnya Perang Dunia II.
Perang
Dunia II (1939-1945) dan pendudukan militer Jepang (1942-1945) menghambat
kemajuan gerakan ekumenis namun dapat memotivasi timbulnya beberapa langkah
baru. Periode yang pendek pada masa pendudukan Jepang menjadi katalisator untuk
pengembangan aspirasi oikumenis untuk mempercepat, memperluas dan meningkatkan
penyebaran gagasan persatuan Kristen. Gereja-gereja dipaksa untuk menerapkan
strategi swadaya dan pemerintahan sendiri masing-masing. Kesulitan dan tekanan
yang biasa terjadi memiliki peran penting dalam mengkonkretkan gagasan
persaudaraan Kristen (saudara / persaudaraan). Persatuan umat Kristen Indonesia
juga diimplementasikan melalui beberapa organisasi yang dibentuk oleh pemerintah
militer Jepang, seperti Kiristokyodan Rengokai (Dewan Kristen atau Persekutuan) di Minahasa,
Sulawesi Selatan, Kalimantan dan Maluku, yang memberi gereja pengalaman
berharga tentang bagaimana hidup dalam semangat dan suasana oikumenis.
Kehadiran
dan kegiatan beberapa pendeta kepala yang dikirim oleh Nippon Kirisuto Kyodan (Gereja Kristen Jepang) juga
memperkuat pengalaman oikumenis dan memperluas pemahaman orang Kristen
Indonesia, meskipun sering dibebani dengan beban politik. Salah satu pendeta
kepala, Pdt. H. Shirato, ketua Rengokai, mengatakan: “Orang Kristen Indonesia,
bersatu untuk mendukung Dai Nippon!” Tetapi Shirato dan rekan-rekannya tidak
hanya meminta orang-orang Kristen untuk mendukung pemerintahan mereka, mereka
juga membantu dan membela orang-orang Kristen sehubungan dengan pemerintah,
terutama terhadap tindakan brutal personel militer.
Persiapan Menuju DGI
Satu tahun setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dan setelah
pembebasan misionaris Eropa dari interniran, sebuah konferensi misionaris
diadakan di Batavia / Jakarta pada 10-20 Agustus 1946.
Konferensi ini diprakarsai oleh Zendingsconsulaat dan ada dua masalah
utama untuk dibahas: (1) tempat dan tugas misi dan kegiatan misionaris di
Indonesia merdeka yang baru, dan (2) rencana untuk mendirikan majelis atau badan
oikumene gereja-gereja. Mengenai masalah pertama, JC Hoekendijk, yang akan
menjadi seorang missiologis terkemuka, memperkenalkan teologinya tentang
kerasulan dan apa yang disebut pendekatan komprehensif yang menekankan tugas
gereja sebagai penyebar Injil untuk menghadapi dan merawat umat manusia dan
dunia, yaitu sebagai kesatuan yang holistik dan komprehensif. Konsep dan
pendekatan ini diadopsi kemudian oleh DGI dan anggotanya, dan dipertahankan
hingga saat ini.
Mengenai masalah kedua, diskusi didasarkan pada
ide dari M. de Niet (Zendingsconsul 1939–1949). Sebagai hasil
dari meditasinya selama interniran Jepang ia menyarankan pada Desember 1945
untuk mendirikan Balai Kristen. Nota de Niet ini mengusulkan agar para anggota
majelis ini adalah gereja-gereja Indonesia dan juga gereja-gereja asing yang
melakukan misi dan penginjilan di negara ini. Balai ini dipimpin oleh
sekretariat dengan sejumlah sekretaris yang ahli di bidangnya masing-masing
(dogmatik, misiologi, pedagogi, lingkungan sosial, dan administrasi). Kantor
pusat berada di Batavia, dilengkapi dengan berbagai fasilitas (perpustakaan,
museum, pondok, dll.) Sementara di beberapa daerah juga akan didirikan dewan
Kristen provinsi sebagai bagian dari kamar nasional.
Gereja Protestant Indonesia menyetujui
gagasan ini tetapi konferensi lebih memilih opsi lain, baik pembentukan Gereja yang Esa (Sebuah Gereja yang Bersatu) di Indonesia, atau
federasi gereja-gereja di Indonesia. De Niet sendiri sadar bahwa tidaklah mudah
untuk membentuk satu Gereja Kristen Indonesia yang bersatu. Itulah sebabnya
dalam Nota-nya dia sudah memperingatkan, “Satu Gereja Kristen Indonesia yang
sejati tidak dapat dibentuk oleh sekelompok orang atau atas otoritas manusia
dalam semalam atau dengan aklamasi atau suara mayoritas. Gereja itu harus berdiri
dengan karunia Allah, dan berkembang, walaupun hasilnya mungkin berbeda dari
apa yang dipikirkan orang Kristen.”7 Akhirnya konferensi menarik beberapa kesimpulan
(tanpa mengambil keputusan),
1. Kebersamaan gereja-gereja Oekumenis
di Indonesia, yang sudah diungkapkan sebelum Perang Dunia II dalam berbagai
bentuk, harus dilanjutkan dan diperluas cakupannya.
2. Sasaran kebersamaan oekumene tersebut adalah
pendirian satu gereja tunggal di Indonesia.
3.
Dewan gereja-gereja dan misi di Indonesia direncanakan
sebagai badan kerja sama antar gereja-gereja di Indonesia dan gereja-gereja
di Eropa dengan tujuan untuk mengintensifkan
dialog mengenai oekumene dan kerja sama antar gereja-gereja.
4. Karena kondisi politik yang menghambat pertemuan
dewan gereja nasional dan misi, disarankan agar gereja and bakal
gereja-gereja di beberapa daerah yang berlokasi
sejauh mungkin dari dewan regional atau provinsi untuk melakukan dan
mempromosikan tugas bersama.
Sementara itu,
sebelum konferensi Agustus 1946, di daerah-daerah tertentu seperti di
Yogyakarta, diadakan Konferensi Gereja Protestan dan berhasil membentuk Dewan Permoesjawaratan Geredja-geredja di Indonesia. Dalam konferensi ini,
dihadiri oleh cukup banyak orang Indonesia asli, beberapa peserta menyatakan
aspirasi mereka untuk lebih bertanggung jawab dalam penginjilan dan juga
keluhan mereka bahwa misi asing menghambat upaya gereja untuk persatuan dan
mengurangi minat gereja-gereja Indonesia dalam menangani sendiri tugas misi dan
penginjilan (evangelisme). Karenanya, konferensi ini menyimpulkan bahwa misi
asing tidak boleh lagi datang ke negara ini. Mereka mungkin mengirim misionaris
mereka, tetapi hanya untuk ditugaskan dan dikelola oleh gereja-gereja di
Indonesia.
Kesimpulan ini
menimbulkan ketegangan antara Dewan Permoesjawaratan dan kelompok misi. Untuk
menetralkan ketegangan, maka kedua belah pihak berkumpul pada Mei 1947 dalam
semangat "kemitraan dalam kepatuhan," dan mereka mencapai kesepakatan
yang disebut “Kwitang Accoord”. Dalam dokumen ini disepakati, antara lain bahwa
gereja-gereja di Indonesia dan mitra gereja asing mereka akan membentuk dewan
gereja yang terdiri dari sinode dengan perwakilan dari kedua belah pihak. Meskipun
dua kelompok kecil menghasilkan dokumen ini, itu bisa dipahami sebagai titik
balik dalam hubungan misi dan gereja-gereja di Indonesia.
Pada
akhir konferensi Agustus 1946 di Jakarta beberapa anggota gereja terkemuka dari
Indonesia timur mengusulkan sebuah konferensi di wilayah mereka. Mereka sepakat
untuk mengadakan konferensi khusus pada bulan Maret 1947 dengan dua item agenda
utama: (1) untuk menyatakan kesatuan gereja-gereja dan calon gereja-gereja yang
bermunculan; dan (2) membentuk dewan gereja dan gereja yang muncul sebagai
cabang dari Balai Geredja Keristen di Indonesia. Sesuai dengan rencana
ini, 54 delegasi dari 16 gereja dan beberapa perkumpulan misionaris berkumpul
di Malino (dekat Makassar), dan pada 17 Maret 1947 mereka mendirikan Madjelis Oesaha Bersama Geredja-geredja Keristen, yang berpoesat di Makassar, disingkat sebagai Madjelis Keristen.
Badan
oikumene ini diterima sebagai anggota semua organisasi misi yang bertujuan
untuk melayani gereja. Dalam konstitusi itu juga dirumuskan bahwa salah satu
tujuannya adalah untuk menyelidiki pendirian salah satu Gereja Kristen di
Indonesia.
Sejalan dengan ini, konferensi memutuskan bahwa
posisi Madjelis Keristen harus sebagai cabang dan proyek percontohan dari badan
oekumene nasional yang akan datang: melakukan pekerjaan dalam skala kecil dari
hal yang nantinya dilakukan oleh DGI di masa depan. Bahkan, para pemimpin
terkemuka di Madjelis Keristen memainkan peran penting dalam pendirian dan
pelaksanaan DGI.
Keputusan
penting lain dari konferensi Malino adalah pendirian sekolah teologi ekumenis
untuk gereja-gereja di Indonesia timur yang kemudian diwujudkan sebagai Sekolah
Tinggi Theologia Indonesia Timur
(STTIntim) di Makassar.
Selain
konferensi dan gerakan di Jawa (Yogyakarta) dan Indonesia bagian timur
(Makassar), ada beberapa pertemuan ekumenis di daerah lain, seperti Sulawesi
Utara dan Sumatera Timur. Gereja-gereja Cina mengadakan konferensi pada bulan
Mei 1948 di Jakarta sebagai kelanjutan dari gerakan sebelum perang, diikuti
oleh sebuah konferensi pada bulan September 1949 yang membentuk Dewan Geredja-geredja Kristen Tionghoa di-Indonesia (DGKTI). Selain bertujuan
untuk mempererat hubungan dan meningkatkan persatuan di antara gereja-gereja
Cina, mereka juga ingin mencari hubungan dengan gereja-gereja di Indonesia, dan
mempromosikan penginjilan (evangelisme). Perwakilan dari DGKTI dan anggotanya
juga menghadiri konferensi untuk menemukan DGI dan menyatakan kesediaan mereka
untuk bergabung dengan dewan tersebut. Namun, DGKTI mempertahankan
keberadaannya sampai berubah menjadi Badan
Permusjawaratan Persatuan Geredjani (BPPG, Badan Konsultasi
Dewan Gereja) tahun 1954. BPPG menyatukan sejumlah gereja Cina di Jawa di
Indonesia dengan nama Sinode Am Gereja
Kristen Indonesia (Sinode Umum Gereja Kristen Indonesia) pada
tahun 1962, yang menghasilkan
kesatuan lebih nyata pada tahun-tahun berikutnya.
Gereja
Protestant Indonesia (GPI) juga memiliki andil dalam proses
pendirian DGI. Meskipun GMIM telah menjadi otonom pada tahun 1934, diikuti oleh
GPM pada tahun 1935 dan GMIT pada tahun 1947, hingga tahun 1948 GPI — ketika
melahirkan gereja lain, GPIB — tetap mempertahankan keberadaannya sebagai
'gereja induk' bagi gereja-gereja regional tersebut, walaupun GPI juga
mendukung Nota de Niet yang disebutkan di atas. Mengikuti ide yang diajukan
oleh Pendeta A.Z.R. Wenas, ketua GMIM, GPI mengambil langkah baru dalam
konferensi sinode umum kedua pada Juni 1948, dengan menggabungkan otonomi dan
persatuan. Di satu sisi GPI berlanjut seperti kulit buah jeruk, dalam
mengumpulkan unit-unit otonom bersama — karena itu berfungsi secara berbeda
dari model kesatuan mangga atau anggur — dan di sisi lain GPI mendukung
unit-unitnya bergabung dengan DGI seperti yang dilakukan oleh GPI itu sendiri. GPI
bahkan menyatakan kesediaannya untuk bubar jika gereja-gereja di Indonesia
mencapai persatuan dalam bentuk yang lebih sempurna daripada GPI.
Berdirinya Dewan Gereja-gereja di Indonesia, DGI8
Setelah membentuk komite perencanaan yang terdiri dari perwakilan
organisasi atau dewan yang disebutkan di atas, komite dan sekitar empat puluh
pemimpin gereja dan delegasi mengadakan konferensi persiapan di Jakarta pada
bulan November 1949. Beberapa dari mereka baru saja kembali dari sidang raya
majelis untuk mendirikan Dewan Gereja-Gereja Sedunia di Amsterdam dan membawa
beberapa ide dan konsep baru dari majelis itu yang dianggap dapat memperkaya
visi oikumenis untuk dirumuskan dan diimplementasikan dalam dewan nasional
mendatang. Salah satu topik yang dibahas dalam konferensi persiapan itu adalah
inti dari gerakan oikumenis di antara gereja-gereja, berdasarkan pada kertas
kerja yang disiapkan oleh Pdt. J.L.Ch. Abineno.9
Konferensi ini mencapai pemahaman bahwa,
meskipun nasionalisme memiliki kontribusi, gerakan oikumenis di Indonesia tidak
terutama didasarkan pada nasionalisme tetapi pada kesadaran persatuan Kristen
sebagai tubuh Kristus. Konferensi itu juga sepakat bahwa tujuan utama gerakan
ini adalah pembentukan satu Gereja Kristen di Indonesia, berdasarkan keyakinan
bahwa persatuan esensial sudah ada, dan proses panjang menuju persatuan harus
dimulai dengan pembentukan badan yang bekerja sama. Konferensi ini juga
menyadari bahwa gerakan dan persatuan tidak terjadi dalam bentuk konferensi
tetapi di dalam dan oleh orang-orang dari gereja itu sendiri. Telah disadari
juga dalam konferensi ini bahwa gerakan oikumenis ini tidak hanya mewakili
suatu gerakan untuk mempersatukan orang-orang Protestan, tetapi semua orang
Kristen, bahkan Gereja Katolik Roma dan kelompok-kelompok yang berbeda pendapat.
Dalam pesan penutup konferensi ini bahkan ditekankan bahwa gereja tidak mencari
persatuan demi persatuan itu sendiri, dan tidak ada untuk dirinya sendiri
tetapi untuk seluruh dunia, dan berdiri di tengah-tengah dunia sebagai pelayan
dari Injil Kerajaan Allah.
Konferensi
persiapan ini juga membahas beberapa agenda dan program lain yang diharapkan
akan ditangani kemudian oleh dewan yang akan datang, yaitu hubungan dengan
berbagai dewan regional yang ada dan sedang berkembang, perawatan spiritual
untuk personil militer, layanan kesehatan dan sosial, penerbitan dan media
komunikasi (termasuk radio), sekolah dan pendidikan, pendidikan teologis,
masyarakat Alkitab, pemuda, hubungan internasional, bahasa resmi, gereja dan
politik, pembagian tugas dan komposisi komisi. Semua hal penting dan
operasional ini dirumuskan dalam rancangan konstitusi dan anggaran rumah tangga. Sejumlah pemimpin oikumenis
internasional seperti W. Visser t Hooft dan C.W. Ranson juga menghadiri
konferensi ini, di mana mereka berbagi informasi tentang gerakan oikumenis
global dan menyumbangkan gagasan dan saran mereka mengenai hal-hal tersebut.
Sebagai tindak lanjut dari konferensi persiapan,
konferensi pendirian DGI sebagai dewan gereja nasional diadakan pada 22-28 Mei
1950 di kampus HTS / STT Jakarta. Salah satu poin penting dari diskusi adalah
apakah dewan ini hanya akan terdiri dari gereja-gereja atau juga masyarakat
misi. Akhirnya disepakati bahwa dewan hanya akan menerima gereja-gereja Indonesia
sebagai anggota. Sejalan dengan ini, diputuskan bahwa Zendingsconsulaat
akan dilikuidasi dan tugasnya, termasuk tugas mewakili gereja-gereja kepada
pemerintah, akan diambil alih oleh DGI. Mengenai kegiatan misi dan penginjilan
yang sebelumnya dilakukan oleh berbagai masyarakat misionaris, konferensi
tersebut sampai pada pemahaman bahwa kegiatan misi dan penginjilan adalah tugas
yang secara mendasar bagi gereja. Untuk mengoordinasikan tugas ini, DGI akan
membentuk komisi permanen dan gereja-gereja akan berkumpul dalam komisi ini
bersama dengan masyarakat misi asing.
Mengenai tujuan oekumene, disepakati dan
dirumuskan dalam konstitusi bahwa tujuan akhir dari dewan ini adalah pembentukan Gereja Kristen yang Esa
di Indonesia. Setelah penerimaan dan persetujuan konstitusi, konferensi yang terdiri
dari perwakilan dari 27 gereja menyatakan pembentukan DGI melalui Pengumuman 10 sebagai
berikut:
Kami, peserta
Konferensi untuk Pembentukan Dewan Geredja-geredja di
Indonesia,
bersama ini mengumumkan bahwa Dewan Geredja-geredja di
Indonesia telah berdiri sebagai
tempat konsultasi dan wadah untuk melakukan segala upaya bersama dengan gereja-gereja
di Indonesia menuju kesatuan gereja-gereja di Indonesia, sebagaimana dinyatakan
dalam konstitusi Dewan Geredja-geredja di Indonesia
yang telah
diputuskan dalam konferensi pada tanggal 25 Mei1950. Kami percaya bahwa
pendirian Dewan Geredja-geredja di Indonesia, sebagai upaya menuju implementasi
pesan Tuhan kepada umat-Nya, hanyalah rahmat Tuhan. Kami memercayai dewan ini ke
tangan Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Semoga Tuhan selalu bersama kita sejak saat ini
dan selamanya, untuk kemuliaan nama Tuhan di dunia ini. Djakarta 25 Mei 1950.
Selain mengangkat komite eksekutif (di mana Todung Sutan Gunung Mulia
diangkat sebagai ketua pertama), konferensi ini juga meluangkan waktu untuk
membahas perilisan buletin Berita mengenai deklarasi pendirian Republik Maluku Selatan (RMS, gerakan
separatis) pada tanggal 25 April 1950, tetapi kemudian setuju bahwa konferensi akan
mempercayakan masalah ini untuk ditangani oleh Komite Eksekutif yang baru
terpilih.
Beberapa perkembangan dan
tantangan, terutama pada konsep persatuan 11
Dalam pendirian
DGI, dua aspirasi disatukan, yaitu mengesa (menjadi satu) dan mandiri (menjadi
mandiri). Dalam konferensi pendiri tahun 1950 (kemudian juga dianggap sebagai
majelis umum pertama DGI) tujuan dewan juga dinyatakan, tetapi makna atau isi
tujuan yang tepat dan bagaimana pencapaiannya belum ditentukan. Pada
tahun-tahun dan masa bakti berikutnya, ada banyak diskusi dan perjuangan
mengenai pertanyaan-pertanyaan ini. Dalam konferensi kedua, 20–30 Juni 1953,
misalnya, dirumuskan bahwa, “yang dimaksud dengan pembentukan Gereja Satu
Kristen adalah pembentukan satu Gereja Kristus di Indonesia yang memiliki satu
pengakuan dan satu atura dasar gereja." Berdasarkan hal ini, DGI membentuk
komite khusus Faith (Keimanan) and Order (Perintah), mencontoh apa yang
dilakukan di WCC. Tugas komite ini adalah untuk menyesuaikan dan menyatukan
pengakuan (pernyataan iman) dan perintah gereja dari para anggota untuk
memiliki kesamaan landasan persatuan. Tetapi kemudian disadari bahwa pendekatan
komparatif ini tidak sesuai dengan esensi dan sifat gereja, karena norma-norma
kesatuan gereja tidak ditentukan oleh realitas historis dan empiris gereja.