Minggu, 03 Desember 2017

Bahasa: Kawan Atau Lawan?



Bahasa: Kawan Atau Lawan?
Oleh Rini Rusyeni

“Jika kamu berbicara dengan seseorang menggunakan bahasa yang ia pahami, maka ia akan menyimpannya di kepalanya, tapi jika kamu berbicara menggunakan bahasa yang ia gunakan, maka ia akan menyimpannya di hatinya”(Nelson Mandela).
Kutipan di atas memiliki makna yang dalam yaitu dengan bahasa maka seseorang akan dapat mempererat hubungan dengan orang lain atau bahkan dapat meyakinkan orang tersebut untuk mengikuti dan meyakini pendapat yang diberikan oleh seseorang tadi. Namun, apakah peranan bahasa hanya untuk itu? selain bahasa digunakan sebagai kawan untuk meyakinkan orang lain agar mengikuti kita, bahasa juga dapat menjadi lawan yang dapat menghancurkan kita apabila kita tidak berhati-hati menggunakannya. Tulisan ini akan menguraikan lebih jauh tentang peranan bahasa dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia pada masa kolonial Belanda dan penjajahan Jepang dalam rekaman arsip yang dibuat pada masa tersebut.
Bahasa Melayu dan Belanda
Sejarah telah membuktikan betapa peranan bahasa sangat besar dalam menaklukan sebuah bangsa dan negara. Contoh nyata penggunaan bahasa untuk menaklukan sebuah bangsa adalah yang pernah dilakukan oleh bangsa penjajah Belanda ketika menguasai Indonesia pada masa kolonial. Pemerintah Kolonial Belanda di bawah Gubernur Jenderal Godert van der Capellen (1816-26) menekankan pendekatan yang lebih erat kepada kaum pribumi dengan cara mengangkat kaum priyayi sebagai perwakilan pemerintah kolonial. Dalam melaksanakan kebijakan ini para pejabat pemerintah kolonial, yang mayoritas merupakan orang-orang Eropa, diharuskan untuk melakukan komunikasi langsung dengan menggunakan bahasa pribumi kepada para priyayi tersebut. Pada masa itu terdapat dua bahasa pribumi yang mayoritas digunakan oleh kaum priyayi, yaitu: bahasa Melayu dan bahasa Jawa. Para pejabat pemerintah kolonial diharuskan untuk menguasai kedua bahasa tersebut baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Untuk meningkatkan penguasaan bahasa pribumi di antara para pejabat pemerintah kolonial, pemerintah membuka sekolah khusus di Semarang (1818) dan Surakarta (1832). Para staf dan pegawai pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu harus dapat menguasai bahasa pribumi (Melayu dan Jawa) baik secara lisan maupun tulisan.
 
Gambar 1: Surat Keputusan Gubernur Jenderal untuk Pengangkatan Kepala Daerah Karawang (ANRI, Jakarta, Inlandsche Zaken archives, no. 119. 19, tanggal 11 September, 1820.
Teks Belanda
Teks Melayu
Nademaal op heden tot district hoofd van Pamanukan in de Residensi Crawang is benoemd aangesteld Raden Wangsa Diridja, zo is het een ieder dien zulks aangaan  bij deze gelasten hen Raden Wangsa Dirija als district hoofd van Pamanukan te erkennen van behoren

Governor Generaal

Bahwa pada sekarang ini diberi nama dan pangkat Kepala Daerah dari Pamanukan yang di dalam Residensi Karawang kepada Raden Wangsa Diridja dan sebab itu maka diperintah kepada segala orang yang harus mengetahui dia dan menghormati dia sebagai kepala lurah di Pamanukan.

Gubernur Jenderal

Tabel 1: Transliterasi Surat Keputusan Gubernur Jenderal untuk Pengangkatan Kepala Daerah Karawang (Gambar 1).
Penggunaan bahasa pribumi oleh Belanda nampak seperti pada gambar 1 di atas. Dalam rangka melakukan pendekatan dengan masyarakat pribumi di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan surat keputusan pengangkatan dalam dua bahasa, yaitu Bahasa Belanda-Melayu, dan Belanda-Jawa. Surat Keputusan ini dikeluarkan sebagai alat Belanda untuk meyakinkan para priyayi bahwa dengan menjadi bawahan mereka sang priyayi tersebut akan diberikan jabatan, kekuasaan wilayah, dan penghormatan dari Belanda sebagai seorang kepala daerah. Bagi Belanda Surat Keputusan ini juga berperan sebagai alat bukti bahwa seluruh masyarakat dan wilayah Karawang menjadi daerah kekuasaaan Belanda. Tanpa berperang, cukup dengan mengeluarkan surat keputusan berbahasa Melayu tersebut, Belanda berhasil menguasai wilayah Karawang dan sekitarnya. Dengan penguasaan bahasa tersebut, Belanda juga berhasil menguasai wilayah lain di seluruh wilayah Hindia Belanda pada masa itu. Dalam melaksanakan kebijakan bahasa ini, Belanda tidak memperkenalkan secara serius pelajaran bahasa Belanda kepada para pribumi. Pada masa ini bahasa Belanda merupakan bahasa elit yang hanya digunakan oleh para pejabat Eropa dan beberapa petinggi pribumi yang memiliki hubungan erat dengan pejabat pemerintah kolonial.
Bahasa Indonesia dan Jepang
Memasuki tahun 1942, Jepang masuk ke Hindia Belanda dan mengusir pemerintah kolonial Belanda. Pada masa ini Jepang juga mengeluarkan kebijakan mengenai penggunaan bahasa karena Jepang sangat menyadari bahwa pada masa Belanda berkuasa, kemampuan berbahasa adalah jalan utama untuk mencapai kekuasaan yang utuh di Hindia Belanda. Namun, terdapat sedikit perubahan kebijakan mengenai bahasa pada saaat Jepang berkuasa di wilayah ini. Pada masa ini bahasa melayu tidak lagi digunakan oleh masyarakat Indonesia. Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 menjadi titik tolak penggunaan bahasa Indonesia di antara para pemuda dan kaum terpelajar walaupun pada masa itu bahasa Indonesia masih belum menyebar luas ke seluruh wilayah. Penggunaan bahasa Indonesia ini baru dapat berkembang pesat pada saat Jepang menjajah Indonesia. Setelah Jepang menguasai Hindia Belanda, semua hal yang berbau Belanda dihilangkan, termasuk juga penggunaan nama negara menjadi Indonesia. Bahasa baku untuk masyarakat Indonesia pun hanya diizinkan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Militer Jepang, yang merupakan pimpinan tertinggi di Indonesia pada masa itu menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jepang untuk menekan penggunaan bahasa Belanda, yang pada masa itu diajarkan sebagai bahasa utama di kota-kota besar, sekolah dan kantor-kantor pemerintah. Jepang melarang semua bentuk komunikasi dengan menggunakan bahasa Belanda dan menggantinya dengan bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Sebagaimana tertulis dalam Almanak Asia Raya 2603:
  1. “Semua bangsa pun pula bagi bangsa Belanda sendiri dilarang keras berbicara atau menulis dalam bahasa belanda
  2. Perkataan-perkataan dinas yang dipakai di kantor harus pula ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Nippon
  3. Merk toko-toko, nama-nama perkumpulan yang masih tertulis dalam bahasa Belanda harus dihilangkan
Selanjutnya jika setelah maklumat ini diumumkan, masih terdapat juga orang-orang yang memakai bahasa yang terlarang, maka mereka dianggap pembantu Belanda dan disitu pihak polisi harus bertindak keras terhadap mereka. (Sumber: Perpustakaan Leiden University)

Kebijkan ini berbeda dengan apa yang terjadi pada masa kolonial Belanda, dimana penggunaan bahasa pribumi (Melayu dan Jawa) hanya untuk komunikasi antara pejabat Pemerintah dengan para priyayi dan pemerintah Belanda tidak secara spesifik memberikan kebijakan mengenai penggunaan bahasa di antara para pribumi pada masa itu.

Kebijakan mengenai bahasa pada penjajahan Jepang memiliki dampak yang sangat positif bagi bangsa Indonesia. Penyebaran bahasa Indonesia ke seluruh wilayah nusantara, yang awalnya merupakan alat propaganda bagi Jepang untuk membuat masyarakat Indonesia tunduk dan percaya kepada Jepang, tetapi malah menyatukan masyarakat Indonesia yang pada masa penjajahan Belanda masih terpecah belah.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiPdKH-jRJZ23R3mjoc6oxg__r-_qDWSzPG2spqNLO3p_DW5r_iS7HH57uE9SqDauMeJbx_a-JHPuFC-Xo4uFktRKZnb3MKbKf0tqFegd3PDgND1kw2_l7whvTLnT5K-O9pQP99F_YX1nJ-/s1600/bicarajepang_poster.jpg
Gambar 2: Poster Propaganda Jepang (Sumber: Harian Sejarah)

Penggunaan bahasa Indonesia secara meluas di wilayah Indonesia, tidak hanya membangkitkan rasa persatuan tetapi juga menciptakan rasa kebersamaan di seluruh lapisan masyarakat. Seluruh masyarakat yang sebelumnya terpecah-pecah dalam beberapa kelompok yang menggunakan beberapa bahasa berbeda seperti bahasa Belanda, bahasa daerah (Melayu dan Jawa), pada masa ini semua menggunakan satu bahasa yaitu bahasa Indonesia. Bagi Jepang, walaupun sebenarnya kebijakan ini sangat berhasil karena mereka berhasil menghilangkan pengaruh bahasa Belanda dari masyarakat Indonesia, namun hal ini justru merupakan sebuah kebijakan yang berbuah pada kegagalan karena seiring dengan meluasnya penggunaan bahasa Indonesia di seluruh nusantara, keinginan bangsa Indonesia menjadi lebih kuat untuk dapat merdeka dan bebas dari penjajahan. Hal ini tentu merugikan Jepang, yang pada saat itu sangat membutuhkan seluruh sumberdaya yang ada di Indonesia untuk mendukung Jepang dalam perang Pasifik. Pada akhirnya kebijakan bahasa yang dikeluarkan oleh Jepang tersebut berdampak pada Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia  pada tanggal 17 Agustus 1945. Indonesia merdeka, Jepang harus angkat kaki dari Indonesia, dan bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan bangsa Indonesia.
Kehadiran bahasa tak pelak menjadi alat yang sangat penting dalam sejarah perjalanan semua bangsa di dunia. Bahasa akan menjadi kawan atau lawan tergantung dari cara bangsa tersebut menghayati dan menggunakannya. Belanda menggunakan bahasa pribumi hanya untuk menggunakannya kepada sekelompok priyayi yang mereka percayai sebagai alat kekuasaan mereka. Dengan bahasa Mereka berhasil memecah belah masyarakat Indonesia dengan menanam kepercayaan bahwa bangsa Belanda memiliki kedudukan lebih tinggi dari masyarakat di Hindia Belanda. Sedangkan Jepang menggunakan bahasa untuk menunjukkan rasa kebersamaan dan persatuan sebagai sesama bangsa di Asia. Namun, nampaknya motivasi  yang diberikan oleh bangsa Jepang tersebut malah menginspirasi bangsa Indonesia untuk dapat bersatu, tumbuh bersama dan berkembang menjadi bangsa yang merdeka. Bahasa bisa menjadi kawan, lawan dan bahkan bisa menjadi sumber kekuatan yang tak terpatahkan oleh apapun. Seperti pepatah mengatakan “bahasa adalah darah yang mengalir dalam jiwa, masuk ke dalam pemikiran dan keluar sebagai sumber kekuatan untuk tumbuh berkembang” (Oliver Wendell Holmes).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar