Bahasa: Kawan Atau Lawan?
Oleh Rini Rusyeni
“Jika kamu berbicara dengan seseorang menggunakan
bahasa yang ia pahami, maka ia akan menyimpannya di kepalanya, tapi jika kamu
berbicara menggunakan bahasa yang ia gunakan, maka ia akan menyimpannya di
hatinya”(Nelson Mandela).
Kutipan di atas memiliki makna yang
dalam yaitu dengan bahasa maka seseorang akan dapat mempererat hubungan dengan
orang lain atau bahkan dapat meyakinkan orang tersebut untuk mengikuti dan
meyakini pendapat yang diberikan oleh seseorang tadi. Namun, apakah peranan
bahasa hanya untuk itu? selain bahasa digunakan sebagai kawan untuk meyakinkan
orang lain agar mengikuti kita, bahasa juga dapat menjadi lawan yang dapat
menghancurkan kita apabila kita tidak berhati-hati menggunakannya. Tulisan ini
akan menguraikan lebih jauh tentang peranan bahasa dalam sejarah perjalanan
bangsa Indonesia pada masa kolonial Belanda dan penjajahan Jepang dalam rekaman
arsip yang dibuat pada masa tersebut.
Bahasa Melayu dan Belanda
Sejarah telah membuktikan betapa
peranan bahasa sangat besar dalam menaklukan sebuah bangsa dan negara. Contoh
nyata penggunaan bahasa untuk menaklukan sebuah bangsa adalah yang pernah
dilakukan oleh bangsa penjajah Belanda ketika menguasai Indonesia pada masa
kolonial. Pemerintah Kolonial Belanda di bawah Gubernur Jenderal Godert van der
Capellen (1816-26) menekankan pendekatan yang lebih erat kepada kaum pribumi
dengan cara mengangkat kaum priyayi sebagai perwakilan pemerintah kolonial.
Dalam melaksanakan kebijakan ini para pejabat pemerintah kolonial, yang
mayoritas merupakan orang-orang Eropa, diharuskan untuk melakukan komunikasi
langsung dengan menggunakan bahasa pribumi kepada para priyayi tersebut. Pada
masa itu terdapat dua bahasa pribumi yang mayoritas digunakan oleh kaum priyayi,
yaitu: bahasa Melayu dan bahasa Jawa. Para pejabat pemerintah kolonial
diharuskan untuk menguasai kedua bahasa tersebut baik dalam bentuk lisan maupun
tulisan. Untuk meningkatkan penguasaan bahasa pribumi di antara para pejabat
pemerintah kolonial, pemerintah membuka sekolah khusus di Semarang (1818) dan
Surakarta (1832). Para staf dan pegawai pemerintahan kolonial Belanda pada masa
itu harus dapat menguasai bahasa pribumi (Melayu dan Jawa) baik secara lisan
maupun tulisan.
Gambar 1: Surat
Keputusan Gubernur Jenderal untuk Pengangkatan Kepala Daerah Karawang (ANRI, Jakarta, Inlandsche Zaken archives,
no. 119. 19, tanggal 11 September, 1820.
Teks
Belanda
|
Teks
Melayu
|
Nademaal
op heden tot district hoofd van Pamanukan in de Residensi Crawang is benoemd
aangesteld Raden Wangsa Diridja, zo is het een ieder dien zulks aangaan bij deze gelasten hen Raden Wangsa Dirija
als district hoofd van Pamanukan te erkennen van behoren
Governor
Generaal
|
Bahwa
pada sekarang ini diberi nama dan pangkat Kepala Daerah dari Pamanukan yang
di dalam Residensi Karawang kepada Raden Wangsa Diridja dan sebab itu maka
diperintah kepada segala orang yang harus mengetahui dia dan menghormati dia
sebagai kepala lurah di Pamanukan.
Gubernur
Jenderal
|
Tabel 1: Transliterasi Surat Keputusan Gubernur Jenderal
untuk Pengangkatan Kepala Daerah Karawang (Gambar 1).
Penggunaan bahasa
pribumi oleh Belanda nampak seperti pada gambar 1 di atas. Dalam rangka
melakukan pendekatan dengan masyarakat pribumi di Hindia Belanda (sekarang
Indonesia), pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan surat keputusan
pengangkatan dalam dua bahasa, yaitu Bahasa Belanda-Melayu, dan Belanda-Jawa.
Surat Keputusan ini dikeluarkan sebagai alat Belanda untuk meyakinkan para
priyayi bahwa dengan menjadi bawahan mereka sang priyayi tersebut akan
diberikan jabatan, kekuasaan wilayah, dan penghormatan dari Belanda sebagai
seorang kepala daerah. Bagi Belanda Surat Keputusan ini juga berperan sebagai
alat bukti bahwa seluruh masyarakat dan wilayah Karawang menjadi daerah kekuasaaan
Belanda. Tanpa berperang, cukup dengan mengeluarkan surat keputusan berbahasa
Melayu tersebut, Belanda berhasil menguasai wilayah Karawang dan sekitarnya.
Dengan penguasaan bahasa tersebut, Belanda juga berhasil menguasai wilayah lain
di seluruh wilayah Hindia Belanda pada masa itu. Dalam melaksanakan kebijakan
bahasa ini, Belanda tidak memperkenalkan secara serius pelajaran bahasa Belanda
kepada para pribumi. Pada masa ini bahasa Belanda merupakan bahasa elit yang
hanya digunakan oleh para pejabat Eropa dan beberapa petinggi pribumi yang
memiliki hubungan erat dengan pejabat pemerintah kolonial.
Bahasa Indonesia dan
Jepang
Memasuki tahun 1942,
Jepang masuk ke Hindia Belanda dan mengusir pemerintah kolonial Belanda. Pada
masa ini Jepang juga mengeluarkan kebijakan mengenai penggunaan bahasa karena
Jepang sangat menyadari bahwa pada masa Belanda berkuasa, kemampuan berbahasa
adalah jalan utama untuk mencapai kekuasaan yang utuh di Hindia Belanda. Namun,
terdapat sedikit perubahan kebijakan mengenai bahasa pada saaat Jepang berkuasa
di wilayah ini. Pada masa ini bahasa melayu tidak lagi digunakan oleh
masyarakat Indonesia. Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 menjadi titik
tolak penggunaan bahasa Indonesia di antara para pemuda dan kaum terpelajar
walaupun pada masa itu bahasa Indonesia masih belum menyebar luas ke seluruh
wilayah. Penggunaan bahasa Indonesia ini baru dapat berkembang pesat pada saat
Jepang menjajah Indonesia. Setelah Jepang menguasai Hindia Belanda, semua hal
yang berbau Belanda dihilangkan, termasuk juga penggunaan nama negara menjadi
Indonesia. Bahasa baku untuk masyarakat Indonesia pun hanya diizinkan
menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Militer Jepang, yang merupakan
pimpinan tertinggi di Indonesia pada masa itu menggunakan bahasa Indonesia dan
bahasa Jepang untuk menekan penggunaan bahasa Belanda, yang pada masa itu
diajarkan sebagai bahasa utama di kota-kota besar, sekolah dan kantor-kantor
pemerintah. Jepang melarang semua bentuk komunikasi dengan menggunakan bahasa
Belanda dan menggantinya dengan bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Sebagaimana
tertulis dalam Almanak Asia Raya 2603:
- “Semua bangsa pun pula bagi bangsa Belanda sendiri dilarang keras berbicara atau menulis dalam bahasa belanda
- Perkataan-perkataan dinas yang dipakai di kantor harus pula ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Nippon
- Merk toko-toko, nama-nama perkumpulan yang masih tertulis dalam bahasa Belanda harus dihilangkan
Selanjutnya jika setelah maklumat ini diumumkan, masih
terdapat juga orang-orang yang memakai bahasa yang terlarang, maka mereka
dianggap pembantu Belanda dan disitu pihak polisi harus bertindak keras
terhadap mereka. (Sumber: Perpustakaan Leiden University)
Kebijkan
ini berbeda dengan apa yang terjadi pada masa kolonial Belanda, dimana
penggunaan bahasa pribumi (Melayu dan Jawa) hanya untuk komunikasi antara
pejabat Pemerintah dengan para priyayi dan pemerintah Belanda tidak secara
spesifik memberikan kebijakan mengenai penggunaan bahasa di antara para pribumi
pada masa itu.
Kebijakan
mengenai bahasa pada penjajahan Jepang memiliki dampak yang sangat positif bagi
bangsa Indonesia. Penyebaran bahasa Indonesia ke seluruh wilayah nusantara,
yang awalnya merupakan alat propaganda bagi Jepang untuk membuat masyarakat
Indonesia tunduk dan percaya kepada Jepang, tetapi malah menyatukan masyarakat
Indonesia yang pada masa penjajahan Belanda masih terpecah belah.
Gambar
2: Poster Propaganda Jepang (Sumber: Harian Sejarah)
Penggunaan bahasa Indonesia
secara meluas di wilayah Indonesia, tidak hanya membangkitkan rasa persatuan
tetapi juga menciptakan rasa kebersamaan di seluruh lapisan masyarakat. Seluruh
masyarakat yang sebelumnya terpecah-pecah dalam beberapa kelompok yang
menggunakan beberapa bahasa berbeda seperti bahasa Belanda, bahasa daerah
(Melayu dan Jawa), pada masa ini semua menggunakan satu bahasa yaitu bahasa
Indonesia. Bagi Jepang, walaupun sebenarnya kebijakan ini sangat berhasil
karena mereka berhasil menghilangkan pengaruh bahasa Belanda dari masyarakat
Indonesia, namun hal ini justru merupakan sebuah kebijakan yang berbuah pada
kegagalan karena seiring dengan meluasnya penggunaan bahasa Indonesia di
seluruh nusantara, keinginan bangsa Indonesia menjadi lebih kuat untuk dapat merdeka
dan bebas dari penjajahan. Hal ini tentu merugikan Jepang, yang pada saat itu
sangat membutuhkan seluruh sumberdaya yang ada di Indonesia untuk mendukung
Jepang dalam perang Pasifik. Pada akhirnya kebijakan bahasa yang dikeluarkan
oleh Jepang tersebut berdampak pada Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Indonesia
merdeka, Jepang harus angkat kaki dari Indonesia, dan bahasa Indonesia menjadi
bahasa persatuan bangsa Indonesia.
Kehadiran bahasa tak pelak
menjadi alat yang sangat penting dalam sejarah perjalanan semua bangsa di
dunia. Bahasa akan menjadi kawan atau lawan tergantung dari cara bangsa
tersebut menghayati dan menggunakannya. Belanda menggunakan bahasa pribumi
hanya untuk menggunakannya kepada sekelompok priyayi yang mereka percayai sebagai
alat kekuasaan mereka. Dengan bahasa Mereka berhasil memecah belah masyarakat
Indonesia dengan menanam kepercayaan bahwa bangsa Belanda memiliki kedudukan
lebih tinggi dari masyarakat di Hindia Belanda. Sedangkan Jepang menggunakan
bahasa untuk menunjukkan rasa kebersamaan dan persatuan sebagai sesama bangsa
di Asia. Namun, nampaknya motivasi yang
diberikan oleh bangsa Jepang tersebut malah menginspirasi bangsa Indonesia
untuk dapat bersatu, tumbuh bersama dan berkembang menjadi bangsa yang merdeka.
Bahasa bisa menjadi kawan, lawan dan bahkan bisa menjadi sumber kekuatan yang
tak terpatahkan oleh apapun. Seperti pepatah mengatakan “bahasa adalah darah yang mengalir dalam jiwa, masuk ke
dalam pemikiran dan keluar sebagai sumber kekuatan untuk tumbuh berkembang” (Oliver
Wendell Holmes).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar