Legislasi Kearsipan di Era Digital yang Sedang Berkembang
Saat ini
Translated by Rini Rusyeni
Penulis:
Elaine
Goh dan Luciana Duranti
University
of British Columbia
Simon
Chu
EASTICA,
Hong Kong
Abstrak
Makalah
ini menggambarkan beberapa tantangan yang dihadapi dalam penyusunan legislasi
kearsipan di Negara-negara Persemakmuran seperti, proses penciptaan arsip,
pengelolaan dan preservasi arsip yang meningkat dan menjadi kompleks di era
digital saat ini. Hal tersebut menjadi kompleks ketika dihubungkan dengan
peraturan kearsipan yang telah ada dan telah digunakan, atau bahkan ketika
tidak ada peraturan kearsipan yang mengatur kegiatan tersebut sama sekali
seperti kasus yang terjadi di Hongkong. Penulis berpendapat bahwa ilmu
kearsipan dapat menjembatani jarak yang ada di antara legislasi/peraturan
kearsipan yang telah ada/disusun dengan kemampuan peraturan kearsipan tersebut
untuk mengatasi isu-isu yang terjadi di era digital saat ini.
Pendahuluan
Istilah
legislasi berasal dari bahasa Latin, lex, yang berarti “peraturan
tertulis”. Menurut Macdonald, legislasi adalah “kebiasaan menulis” (Macdonald,
1999, pp. 285), dan berdasarkan tradisi hukum Anglo-Saxon, Undang-Undang dan
Amandemen Undang-Undang secara explisit merupakan dokumen peraturan “yang
dibuat berdasarkan tradisi”dan “(berisi tentang) proses penyusunan aturan yang
berisi tentang standar umum dan resolusi tepat”( Macdonald, 1999, p. 288). “Resolusi tepat” ini idealnya harus sesuai
dengan rangkaian hukum yang telah ada. Sebagai contoh, hukum dan peraturan
harus stabil dan berisi tentang serangkaian syarat bagi individu sebelum
diberlakukan (Choi, 2012). Hukum dan peraturan juga harus berisi tentang
tinjauan tentang masa depan, dalam hal ini hukum dan peraturan harus dapat
mengantisipasi kejadian yang terjadi di masa depan, situasi yang mungkin akan
terjadi sehingga dapat memberikan kerangka hukum untuk pengelolaan dan
pengaturannya (Miranda, 2010).
Namun,
kenyataannya, atribut hukum ini disebutkan sebagai sebuah “ideal kompleks yang
bahkan sangat kompleks untuk diwujudkan” (Choi, 2012). Dalam literature hukum,
terdapat sebuah pengakuan bahwa hukum bersifat reaktif terhadap perubahan
teknologi. Perry and Ballard (1993) menyatakan, “sayangnya, system hukum kita, yang
telah dilengkapi dengan penekanan untuk menganut azas keterikatan kepada hukum
sebelumnya (stare decisis) dan common
law (hukum umum), tidak dapat bereaksi cukup cepat terhadap perubahan teknologi
yang terjadi dengan sangat cepat...resiko yang terjadi adalah ketika hukum
terlalu berdasarkan pada hal yang telah terjadi di masa lalu. Resiko ini selalu
terjadi ketika teknologi mengubah secara radikal sehingga mentransformasi
masyarakat. Hukum dan lembaga peradilan tiba-tiba menjadi tidak peduli dan
tidak memiliki basis prinsip hukum untuk mengatasi masalah perubahan teknologi
yang terjadi sebelum prinsip tersebut disusun”
(p.
799). Hal yang sama juga terjadi pada literatur kearsipan, kita semua
mengetahui bahwa peraturan kearsipan cenderung berada tertinggal dari
perkembangan teknologi (Granstrom, n.d; International Council on Archives
(ICA), 1997; Suderman, Foscarini &Coulter, 2005). Komite ICA tentang Arsip
Elektronik melihat bahwa “peraturan yang mengatur tentang banyak aspek seperti
penciptaan informasi, pengelolaan,penggunaan dan preservasi tidak sesuai dengan
perkembangan teknologi yang terjadi begitu cepat dan begitupun juga dengan
peraturan kearsipan” (p. 19). Para peneliti bidang kearsipan juga mengkritik
bahwa undang-undang kearsipan di berbagai Negara tidak sesuai dengan
perkembangan yang terjadi. Undang-undang kearsipan mereka deskripsikan sebagai
sebuat peraturan yang “lemah”, “ketinggalan zaman”, “tua dan tidak konsisten”,
dan juga reaktif karena Undang-Undang tersebut berisi tentang peraturan dan
bukan perencanaan terhadap perkembangan yang terjadi di masa yang akan datang. (Berry,
1996; Hurley, 1994; The National Archives, 2003.; Shepherd, 2009).
Tantangan
Hukum dalam Menghadapi Era Digital
Pemerintah
di berbagai Negara di dunia telah mulai berinisiatif menggunakan teknologi
cloud computing-penyimpanan digital dalam jaringan, untuk meningkatkan skala
ekonomi yang berguna meningkatkan layanan teknologi informasi. Dalam perspektif
teknologi informasi, cloud computing bukanlah suatu teknologi baru. Hal yang
baru dari teknologi ini adalah bentuk layanan pengiriman dan model usahanya (Convery
2010). 1 Di Inggris Raya, penciptaan model
pengiriman dan layanan cloud (secara digital), disebut sebagai program G-Cloud.
Program ini dikeluarkan oleh Departemen Budaya, Media dan Olahraga (2009) dengan
tujuan untuk membuat “pasaran teknologi informasi (IT) pemerintah lebih efektif
dalam pembiayaannya, fleksibel dan kompetitif dengan cara meningkatkan layanan
sampai pada level berikutnya dan standarisasi serta saling berbagi layanan IT
di antara departemen-departemen” (para 32). Namun, terdapat resiko yang muncul ketika
memperluas pemakaian dan implementasi teknologi cloud computing. Salah satunya
adalah standard layanan dalam teknologi cloud computing terbatas. “Seringkali
teknologi ini menggunakan standar yang berbeda, terkadang menggunakan perangkat
proprietary interface (jenis program perangkat lunak yang terdiri dari
Microsoft windows, corel draw, dsb) dan programming languages (program yang
menggunakan instruksi komunikasi melalui perangkat elektronik seperti komputer)”
dan penggunaan perangkat ini dapat menimbulkan kesulitan ketika terjadi migrasi
sistem dan akses terhadap arsip yang tersimpan di dalamnya. Selain itu juga,
kesulitan akan muncul ketika banyak pihak yang menggunakan system ini untuk
menyimpan arsip dan menggunakan layanan pengirimannya sehingga berimplikasi
pada kerahasiaan data dan keamanan akses informasi yang berkelanjutan (Mondaq,
Business Briefing, 2010). Dari sudut pandang hukum, resiko terbesar yang dapat
muncul di sebuah Negara dapat saja berbeda karena berasal dari bagaimana
informasi di ciptakan dan digunakan dan kemudian pengaturannya dalam hukum dan
perundang-undangan (Schiller, 2011; Department of Finance and Deregulation,
Australia, 2012).
Untuk
dapat mengatasi beberapa tantangan sebagaimana disebutkan di atas, beberapa
Negara telah mulai memperbaharui legislasi/peraturan perundang-undangannya
terutama yang berhubungan dengan kerahasiaan, perlindungan data dan kekayaan
intelektual (Business Software Alliance, n.d). Pemerintah Australia, contohnya,
baru-baru saja memperkenalkan Amandemen Kerahasiaan-Privacy Amendment (Enhancing Privacy Protection-Memperkuat
Perlindungan Kerahasiaan-Rancangan Undang-Undang) 2012 yang
bertujuan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap informasi
personal dan yang sensitif dalam transaksi online.2 Pada waktu yang bersamaan, beberapa arsip nasional, termasuk juga
di Australia dan Amerika Serikat, telah mengeluarkan kebijakan dan prosedur tentang
pengalihdayaan (outsourcing) data digital dan bagaimana mengelola arsip yang
tersimpan dalam teknologi cloud computing. Namun, kebijakan dan prosedur ini
harus didukung oleh peraturan perundang-undangan kearsipan yang kuat, karena
peraturan perundang-undangan merupakan bentuk tertinggi dari kebijakan publik.
Pada tahun 1998, Komisi Reformasi Hukum Australia telah mencatat bahwa
Undang-Undang Kearsipan 1983 harus terdiri dari kerangka kerja yang
komprehensif tentang pengelolaan kearsipan, khususnya yang berhubungan dengan
pengalihdayaan (outsourcing) fungsi-fungsi pemerintah (para 3.23). oleh karena
itu, kebutuhan untuk memperbaharui undang-undang kearsipan dan menyusun
kerangka kerja legislative untuk mentatasi masalah yang berhubungan dengan
pencipataan, perawatan dan preservasi arsip digital merupakan keharusan.
Sebagaimana
telah dicatat oleh Asosiasi Arsiparis dan Pengelola Arsip Dinamis (Record
Manager) di Negara-negara Persemakmuran (Parer, 2002), legislasi kearsipan
harus mencerminkan isu-isu yang berhubungan dengan penciptaan dan preservasi arsip.
1 The National Institute of Standards Technology (2011) defines
cloud computing as a “model for enabling
ubiquitous,
convenient, on-demand network access to a shared pool of configurable computing
resources (e.g.:
networks,
servers, storage, application and services) that can be rapidly provisioned and
released with minimal
management
effort or service provider interaction” (p.2).
2 The text of the bill can be accessed via
http://www.aph.gov.au/Parliamentary_Business/Bills_Legislation/Bills_Search_Results/Result?bId=r4813 (last
accessed
20 July 2012).
Walaupun
begitu, hampir semua arsip nasional di Negara-negara Persemakmuran telah
memiliki peraturan perundang-undangan yang berdasarkan pada Undang-Undang
Public Record (Arsip Publik) Inggris tahun 1958 (Roper& Millar, 1999).
Undang-Undang ini disusun untuk arsip-arsip kertas dan tidak sesuai untuk
mengatasi tantangan yang muncul pada arsip-arsip digital (The National
Archives, n.d, p.9). Bahkan ketika digunakan untuk menghadapi masalah pada
arsip kertaspun, Undang-Undang ini memiliki satu kelemahan yaitu bahwa
Undang-Undang tersebut lemah dalam pengaturan kerangka kerja integrative
terutama untuk manajemen alur hidup
(Lifecyle) arsip dan mengindahkan tahapan penciptaan arsip dan
perawatannya (ICA 2006; Roper & Millar, 1999). Kondisi ini tentu saja tidak
memungkinkan Undang-Undang tersebut untuk dijadikan landasan untuk mengatur
arsip digital. Karena preservasi arsip digital dimulai pada saat proses
penciptaannya, maka peraturan perundang-undangan kearsipan harus secara jelas
menggambarkan aturan dan tanggung jawab pencipta dan pengelola arsip untuk
mengikuti alur hidup (life cyle) arsip. Peraturan perundang-undangan di
Negara-negara anggota Persemakmuran, khususnya Inggris, Kanada dan Singapura
umumnya mengatur tentang peranan dan tanggung jawab arsip nasional Negara
masing-masing dalam bidang akuisisi,preservasi dan akses kepada public. Di
Kanada dan Singapura, Undang-Undang Kearsipan mengatur tentang tugas arsip
nasional yang memiliki peran penting sebagai pemberi rekomendasi tentang
perkembangan dan implementasi penyelenggaraan kearsipan dan progam manajemen
informasi di pemerintah. Namun, Undang-Undang ini tidak mengatur tentang
peranan dan tanggung jawab lembaga pemerintah sebagai pencipta arsip, terlepas
dari pernyataan bahwa lembaga pemerintah harus meminta izin dari lembaga
kearsipan yang berwenang sebelum menghancurkan arsip-arsip publik.
Konsekuensi
nyata dari situasi ini dapat kita lihat pada laporan tertulis Komisi Informasi
Kanada, dalam laporan tahun 2009 menulis laporan berjudul, “Buruknya kinerja
lembaga pemerintah merupakan gejala dari krisis
manajemen informasi penting. Krisis ini diperparah dengan kemajuan
teknologi yang menciptakan jarak di antara informasi dan manajemen. Dalam
kondisi ini, akses terhadap informasi merupakan aspek yang menjadi korbannya
karena tidak ada pendekatan apapun yang dapat mengatur pengelolaan atau akses
informasi di antara lingkungan pemerintah. Beberapa lembaga bahkan tidak tahu
secara persis informasi apa sebenarnya yang mereka miliki.” (menekankan pada
aspek originalitas) (http://www.infocom.gc.ca/eng/med-roo-sal-med_spe-dis_2009_4.aspx).
Untuk menghindari krisis serupa muncul, peraturan perundang-undangan kearsipan
harus mengatur peranan arsip nasional di bidang preservasi dan bertanggung
jawab untuk mengarahkan aspek penciptaan arsip dan pengelolaan arsip. Pembagian
tanggungjawab kepada pencipta arsip dan pengelola arsip yang sesuai dengan alur
hidup arsip harus dilakukan karena berdasarkan fakta bahwa “manajemen arsip
digital harus dibuat sejak fase awal
penciptaannya, dimulai arsip dibuat, kemudian dikelola oleh penciptanya,
kemudian sampai pada fase penilaian, penyusutan dan akhirnya melalui tahapan
preservasi jangka panjang sebagai memori autentik yang bernilai guna” (Duranti
& Preston, 2008, p.734). lebih jauh lagi, karena realibitas arsip
bergantung
pada kelengkatan arsip baik dalam bentuk maupun jumlahnya maka pengendalian
kearsipan harus dilakukan sejak dalam proses penciptaannya”. Sehingga,
Undang-Undang kearsipan harus secara spesifik menyatakan bahwa lembaga
pemerintah harus secara hati-hati ketika mengalihdayakan pengelolaan
arsip-arsip pemerintah kepada pihak ketiga dengan memastikan bahwa telah ada
pengaturan bagi lembaga tersebut untuk mengendalikan identitas dan integritas
arsip-arsip yang dikerjasamakan dengan provider pihak ketiga tersebut.3
Pengaturan
ini terutama berhubungan dengan
teknologi cloud computing, dimana dalam teknologi ini terdapat ratusan
duplikasi arsip-arsip digital yang dikelola (Stuart & Bromage, 2010).
Duplikasi digital ini diciptakan sebagai akibat dari transmisi data dari satu
infrastuktur ke infrastruktur lain, terkadang kegiatan ini tidak akan
meninggalkan atau hanya sedikit meninggalkan rekam jejak prosesnya. Pengguna teknologi
ini sering menggunakan duplikasi tersebut dan mereka dapat saja “berada di
wilayah yuridiksi yang berbeda” (Mason & George, 2011). Intinya,
pencipta arsip publik dan arsip nasional harus sama-sama bertanggungjawab dan
keberadaannya diatur dalam Undang-Undang Kearsipan sebagai “agen akuntabilitas”.
Sztompka (2000) menyatakan bahwa lembaga pencipta arsip dan arsip
nasional mendapatkan atau diberikan
kepercayaan untuk pengelolaan arsip-arsip bernilai guna nasional. Lembaga
pencipta arsip dan arsip nasional selayaknya memberikan jaminan kepercayaan
untuk melaksanakan dengan sebaik-baiknya (fasilitasi, pengendalian, atau
memberikan sangsi) terhadap perseorangan, lembaga, atau system yang menjadi
target utama” (pp. 47-48). Jika kita definisikan pernyataan Sztompka dan membayangkan
proses pembuatan arsip digital, sistem pengelolaan arsip dan sistem preservasi
arsip sebagai “sasaran target utama kita”, maka kemudian lembaga pencipta arsip
dan arsip nasional memiliki peran utama untuk memonitoring kegiatan pengembangan,
pengendalian dan penguaan kendali procedural terhadap penciptaan arsip,
pengelolaan, penyusutan dan preservasi. Untuk dapat mewujudkan hal ini,
peraturan perundang-undangan kearsipan harus dapat mengidentifikasi “para agen
akuntabilitas ini” dan mengatur secara jelas kewajiban lembaga tersebut untuk
memastikan pengendalian terbaik untuk proses penciptaan, manajemen dan
preservasi arsip. Namun, tetap saja harus ada pengendalian yang tepat sehingga arsiparis
dan para pencipta arsip dapat menjadi pihak yang dipercaya dalam menjalankan
kegiatannya. Untuk dapat berhasil dengan baik, Undang-Undang Kearsipan harus
berisi tentang penjelasan bahwa pencipta arsip dan pengelola arsip wajib
menjalankan tugas dan kewajibannya sesuai dengan standar profesionalisme yang
telah ditetapkan. Sebagai contoh,Undang-undang Arsip Publik Tahun 2011
Skotlandia menyatakan bahwa badan-badan pemerintah harus menyerahkan
perencanaan manajemen arsip kepada lembaga kearispan yang berwenang. 4lembaga kearsipan yang berwenang, pada gilirannya harus
menyerahkan rencana tahunan kepada Kementerian Skonlandia yang berisi tentang
perencanaan manajemen arsip dinamis dan statis yang telah dikumpulkan dari
tiap-tiap badan pemerintah. Lembaga kearsipan yang berwenang ini harus
memasukkan perencanaan secara detail tentang bagaiman manajemen arsip statis
dan dinamis dilaksanakan dan juga penanggungjawab dan pihak-pihak mana yang
gagal memenuhi persyaratan dalam pelaksanaan kegiatan dan juga detail mengenai
perencanaan yang tidak dapat dilaksanakan ” (Public Records Scotland
Act, 2011, para 12, part 3).
Undang-Undang
Kearsipan di Negara-negara anggota Persemakmuran seperti Inggris, Kanada dan
Singapura cenderung memasukkan klausa yang menyatakan bahwa badan-badan
pemerintah harus meminta izin terlebih dahulu kepada arsip nasional sebelum menghancurkan
arsip-arsip publik. Kelemahan klausa ini adalah bahwa pernyataan ini lebih
mengarah kepada penyusutan arsip untuk kemudian kepada pemusnahan arsip dan
bukan kepada preservasi arsip. Undang-Undang Kearsipan juga mengharuskan bahwa
arsip harus diserahkan kepada lembaga kearsipan yang berwenang apabila telah
disimpan dalam jangka waktu tertentu setelah arsip tersebut menjadi inaktif (Foscarini,
2007; Hurley, 1994). Walaupun arsip dapat saja diserahkan ke lembaga kearsipan
yang berwenang ketika sebelum memasuki batas waktu yang ditentukan, namun
jangka waktu yang diatur dalam Undang-Undang Kearsipan mengimplikasikan bahwa
persyaratan preservasi cenderung menjadi bagian akhir dari alur hidup arsip,
sementara itu hal yang terjadi saat ini adalah bahwa penilaian arsip harus
dilakukan selama periode awal alur hidup arsip dengan tujuan untuk mengatasi
isu-isu yang berhubungan dengan autentifikasi arsip digital dan kemungkinan
dilakukan preservasi arsip sedini mungkin (Appraisal Task Force, InterPARES 1, 2001).
Hal ini juga sejalan dengan konsep rantai preservasi yaitu “semua aktifitas
yang berhubungan dengan manajemen arsip keberadaannya saling berhubungan dan
saling membutuhkan satu sama lain” (Eastwood, Preston & Hofman
2008, p. 230).
Terakhir,
peraturan perundang-undangan kearsipan cenderung mendefinisikan arsip dinamis
dan statis bergantung pada waktu dan konteks dari peraturan perundang-undangan
itu sendiri, dan tidak pada kealamiahan materi yang terkandung di dalamnya.
Sebagai contoh, Undang-Undang Kearsipan di Australia mendefinisikan arsip
persemakmuran sebagai “arsip yang menjadi milik Persemakmuran atau milik
institusi di bawah persemakmuran” (Archives Act, 1983).
Untuk
arsip-arsip digital, terutama ketika arsip-arsip tersebut dialihdayakan
(outsource) ke layanan provider, dimana dalam kondisi ini entitas kelembagaan
mengenai siapa yang memiliki arsip masih menjadi
4 The National Archives of Scotland
merged with the General Register Office for Scotland in April 2011 to
become
an
entity known as the National Records of Scotland. The Public Records
(Scotland) Act 2011 is accessible via
http://www.nas.gov.uk/documents/PublicRecordsScotlandActPublished.pdf (last accessed 21 July 2012).
perdebatan,
keadaan ini tentu menimbulkan masalah, ditambah lagi dengan kehadiran arsip-arsip
konvensional tidak akan menyelesaikan masalahnya. Komisi Reformasi Hukum
Australia (1998) menyebutkan bahwa ada beberapa kasus dimana arsip publik jatuh
ke tangan individu, dan sangat sulit untuk membuktikan bahwa arsip itu
sebenarnya dimiliki oleh Badan Persemakmuran. Untuk arsip dengan kondisi
seperti itu, Komisi merekomendasikan untuk menggunakan provenance berdasarkan
definisi arsip publik sehingga “peralihan kewenangan tidak lagi menjadi perdebatan
ketika dihubungkan dengan masalah kepemilikan arsip” (para 8.19). masalah lain
yang muncul disebabkan karena beberapa undang-undang kearsipan mendefinisikan
arsip satis: sebagai definisi yang dihubungkan dengan periode waktu, atau
kewajiban transfer arsip statis ke lembaga kearsipan, atau dihubungkan dengan
kegunaan arsip dinamis. Definisi-definisi seperti ini menimbulkan pemisahan
manajemen arsip dari preservasi arsip statis dan hanya berfokus pada penempatan
fisik arsip (Lemieux, 1992, p. 156). Oleh karena itu, arsip dinamis dan statis
secara konseptual harus didefinisikan dalam legislasi kearsipan karena definisi
tersebut dapat mendukung identifikasi arsip-arsip digital untuk diatur dalam
peraturan yang sama.
Kesimpulan
yang dapat diambil adalah, adanya kebutuhan untuk menjelaskan secara terperinci
mengenai peraturan perundang-undangan di bidang kearsipan secara komprehensif. Penjelasan
ini berisi tentang kerangka kerja manajemen dan preservasi arsip yang sesuai
dengan alur hidup (lifecycle) arsip. Sebuah studi mengenai kebijakan
pengendalian sumber-sumber digital menemukan fakta bahwa bahkan jika
badan-badan pemerintah yang mempunyai mandate hukum untuk mengelola dan
melestarikan arsip-arsip yang mereka ciptakan, mereka tidak selalu mengeluarkan
kebijakan dan prosedur yang mengendalikan kegiatan pengelolaan dan pelestarian
arsip-arsip mereka sendiri. Hal ini sebagian disebabkan karena, “tidak ada kewajiban
secara eksplisit pada level pembuat kebijakan, yang memberikan mandat untuk
menyusun kebijakan mengenai preservasi materi digital” (Guercio, Lograno,
Battistelli, Marini, 2003). Bahkan, jika
kebijakan pengelolaan dan pelestarian arsip tersebut ada, badan-badan
pemerintah tersebut cenderung menganggap pelaksanaan kebijakan tersebut sebagai
“ sebuah pilihan” dan “sangat jarang digunakan” (Guercio, Lograno, Battistelli,
Marini, 2003). Oleh karena itu, Undang-Undang Kearsipan memberikan kerangka
kerja pengembangan kebijakan nasional dan prosedur penciptaan arsip,
pengelolaan dan preservasi. Namun, ketika kebutuhan kebijakan dan standard
mengenai kearsipan melampaui batas yang telah ditetapkan, penyusunan peraturan
perundang-undangan kearsipan hendaknya didasarkan pada teori kearsipan.
Konsep-konsep seperti rantai preservasi dan teori provenance dapat dijadikan
prinsip panduan bagi arsiparis untuk menilai dan memperbaiki peraturan
perundang-undangan yang telah ada. Prinsip-prinsip tersebut memungkinkan para
arsiparis untuk mengatasi perubahan lingkungan yang disebabkan oleh teknologi
digital dan perubahan dalam administrasi public.
Tragedi
Arsip Publik di Hong Kong: Hong Kong Tidak Punya Undang-Undang Kearsipan
Di
tengah-tengah keadaan dimana peraturan perundang-undangan kearsipan tidak dapat
mengatasi perkembangan dunia digital, sebagai akibat dari kecenderungan para
legislator lebih menekankan pengendalian pada penciptaan dan manajemen
arsip/data digital yang terpercaya, akurat dan autentik sebagai bahan bukti
hukum dan undang-undang tentang kerahasiaan, keamanan, hak-hak intelektual dan
undang-undang lain yang sejenis, ada kasus yang lebih buruk terjadi yaitu tidak
ada undang-undang kearsipan. Kasus ini terjadi di Hong Kong. Dalam kasus ini, kemungkinan
preservasi arsip public diperlakukan dengan buruk dapat terjadi.
Apakah
itu Arsip Statis Publik?
Untuk jawaban yang tepat bagi pertanyaan seperti ‘bagaimana kita bisa
sampai ada di sini sebelumnya ada di sana?’ dan apa sebenarnya yang terjadi pada –
100 tahun lalu, 50 tahun lalu, 25 tahun lalu – seorang warga Negara seharusnya dapat
berkonsultasi mengenai arsip publik tempat asalnya. Memori dapat saja salah,
disebabkan oleh jarak atau kekosongan. Buku-buku dan surat kabar mengenai
sejarah dapat menghadirkan pandangan yang terdistorsi, dipolitisir atau
disalahartikan mengenai apa yang telah terjadi. Namun, arsip merupakan rekaman
asli kejadian yang terjadi pada masa itu dan dilestarikan untuk kebutuhan
pencerahan di masa depan.
Arsip statis publik merekam kelahiran dan kewarganegaraan,
memastikan kematian dan kepemilikan, menjelaskan hak-hak dan kewajiban,
memberikan detail mengenai kebijakan pemerintah dan keputusan dan melayani
aspek kebutuhan hukum, opersional, penelitian dan serta budaya. Arsip statis publik
merupakan komponen penting bagi kolekti memori komunitas yang ada saat ini.
Undang-Undang
Kearsipan Dibutuhkan
Semua
pertanggungjawaban pemerintah yang harus didokumentasikan yaitu kebijakan,
keputusan, aktifitas dan bagaimana pemerintah menjalakankan usaha, pelayanan
dan mengevaluasi hasil-hasil yang dicapai. Tujuannya adalah untuk mencapai
pelaksanaan yang efisien, melindungi hak-hak dan kewajiban dan memastikan
akuntabilitas dan transparansi. Singkatnya, pendokumentasian dilakukan untuk
memastikan pelaksanaan pemerintahan yang baik (good governance).
Dalam
keadaan yang sudah modern seperti saat ini, merupakan sebuah tugas publik bagi
pemerintah untuk memastikan proses penciptaan, manajemen, perlindungan dan
preservasi arsip publik berjalan dengan baik. Untuk dapat mencapai tujuan ini,
peraturan terbaru dan kewenangan yang modern harus dikeluarkan dalam wujud
undang-undang, tidak ada pengecualian.
Apa
yang akan dicapai oleh Undang-Undang Kearsipan
Undang-undang
kearsipan merupakan prasyarat kritis untuk manajemen arsip dinamis dan statis
yang efektif. Undang-undang ini merumuskan kerangka kerja yang tepat dalam
sistem arsip dinamis dan statis dan
dapat memberikan kewenangan serta mengatur mengenai pembiayaan yang dibutuhkan
untuk proses implementasinya.
Sebuah
pemerintahan yang mau mendengarkan pendapat warga negaranya dan bertanggung
jawab untuk mensahkan undang-undang kearsipan memiliki tujuan untuk:
· memastikan bahwa para staf public menciptakan dan menyimpan
arsip-arsipnya secara akurat dan mendukung pemerintahan yang transparan dan
akutabel, sehingga akan dapat membangun kepercayaan dan partisipasi public
dalam pemerintahan
· menciptakan efisiensi dan efektiftas dalam hal pembiayaan
manajemen arsip-arsip pemerintah sehingga dapat memfasilitasi pelaksanaan
fungsi-fungsi pemerintah
· mengidentifikasi dan menjaga arsip dinamis sampai periode tertentu
untuk kemudian beralih fungsi menjadi arsip statis dan dilakukan preservasi
karena merupakan aset vital dan warisan bersama bangsa
· memastikan akses yang baik dan adil kepada publik sebagai sebuah
status hukum dan bukan hanya sebagai hak keistimewaan pada pihak tertentu.
Hong
Kong Menolak Mensahkan Undang-Undang Kearsipan
Tidak
masuk akal namun benar adanya, Hong Kong tidak punya undang-undang kearsipan,
begitupun juga pemerintah Hong Hong tidak berencana untuk menyusun
undang-undang ini. Tentu saja ini mengejutkan dan membingungkan karena faktanya
Hong Kong selalu mengkalim sebagai “kota dunia paling Modern di Asia”, dan
bangga akan kebebasan hukumnya, dan kepatuhan terhadap aturan hukum yang berlaku
dan keberhasilan uniknya yang dicapai setelah tahun 1997.
Sistem
Manajemen Arsip Dinamis Publik Hong Kong: Sebuah Kegagalan
Tidak seperti manajemen keuangan publik dan pegawai negeri sipil
yang diatur oleh peraturan hukum, manajemen arsip publik dinamis diatur dalam
pengaturan administratif internal di bawah kewenangan Badan Pelayanan Arsip
Dinamis Pemerintah-Government Records
Service (GRS), yaitu sebuah divisi Administrasi yang menjadi bagian dari
Sekretaris Utama Kantor Administrasi.
GRS menjalankan aturannya dengan memberikan batasan kepada hal
sebagai berikut:
·
GRS tidak memiliki kekuasaan
untuk mengatur. GRS tidak dapat mengatur badan pemerintah untuk menyiapkan
arsip-arsipnya agar dapat dilakukan penilaian arsip atau penyerahan arsip
kepada lembaga kearsipan. Tanpa adanya peraturan kearsipan, biro-biro
pemerintahan dan departemen dapat dengan bebas untuk mengikuti atau
mengindahkan petunjuk yang dikeluarkan oleh GRS. Tidak ada prosedur untuk
pelaksanaan pinalti/hukuman terhadap staf publik yang tidak menciptakan atau
mengelola arsip dengan benar.
·
Seleksi arsip dinamis
menjadi arsip statis hanya terjadi ketika arsip dinamis sudah tidak digunakan
lagi oleh badan pemerintah. Alasan kuat yang diajukan lembaga ini untuk terus
menahan arsip adalah karena mereka masih menggunakan arsipnya sehingga tidak
dapat diserahkan ke GRS. Keadaan ini tentu menyulitkan untuk menemukan kembali
arsip publik apa yang telah diciptakan dan dimana arsip tersebut disimpan, atau
bahkan dapat saya arsip-arsip berharga tersebut telah dimusnahkan. Fakta yang
terjadi saat ini adalah banyak badan pemerintah malas untuk melakukan pemilahan
dan perawatan arsip dan GRS tidak dapat melakukan apapun untuk mengatasinya.
·
Ribuan klasifikasi arsip
dinamis yang telah diidentifikasi berada dalam status permanen sebagai arsip
statis belum juga diproses oleh badan-badan pemerintah untuk kemudian dapat
diakses oleh public. Banyak arsip statis yang sedang dalam status pinjaman yang
digunakan oleh biro pemerintahan dan departemen belum juga dikembalikan ke GRS
·
Ketiadaan Undang-Undang
kearsipan menyebabkan profesi kearsipan di anggap sebelah mata. Posisi Direktur
GRS sebagai Kepala Arsiparis, merupakan pimpinan tertinggi arsiparis. Sejak
abad ke-19 pertengahan, posisi Kepala Arsiparis selalu diisi oleh seorang
pejabat tingkatan eksekutif yang tidak pernah atau tidak berpengalaman di
bidang manajemen arsip public. Hanya 2 dari 8 arsiparis yang ada di kantor
tersebut yang merupakan seorang professional dan memiliki kualifikasi duduk
dalam jabatan tinggi manajemen organisasi kantor tersebut. Karena pekerjaan
arsip dinamis dan statis bukan merupakan tugas yang diwajibkan secara hukum
oleh pemerintah, maka tidak akan ada konsekuensi apapun jika system yang
dijalankan professional atau tidak.
·
Kapasitas para professional
di GRS yang kurang lebih jauh lagi menyebabkan kurang efektifnya pekerjaan
kearsipan. Saat ini, teknologi informasi telah berkembang secara cepat dan
menggunakan metode pengelolaan arsip dinamis. Arsip-arsip elektronik dapat saja
diganti dan dihapus dengan mudah. Untuk memastikan autentisitas arsip
elektronik, diperlukan system manajemen arsip dinamis yang dapat dengan mudah
diakses dan digunakan serta SDM yang professional di bidangnya. Karena
professional yang ada di GRS tidak memiliki kualifikasi tersebut, maka tidak
ada prosedur apapun yang dikeluarkan untuk mengatur manajemen dan preservasi
arsip elektronik.
·
Pemerintah dan publik berada
dalam posisi yang seimbang sebagai pemegang kewenangan untuk mengidentifikasi
korupsi dan penyelewenangan, dan pemberantasan penyalahgunaan kewenangan.
Pemerintah dan publik dapat mengambil keuntungan dari kewajiban penyelenggaran
manajemen arsip public dan preservasi arsip tersebut sebagai arsip statis milik
public. Ketiadaan arsip dinamis yang sesuai dengan kebutuhan publik akan
merugikan pemerintah karena mereka harus menjelaskan kerugian sejumlah $160
juta, yang diakibatkan oleh premi tanah non-payment untuk penggunaan Discovery
Bay tahun 2006, yang ditemukan oleh Direktorat Audit Investigasi. Penemuan lain
yang terbaru, kerugian atau ketidakakuratan penyelidikan menyeluruh arsip
dinamis milik Departemen Layanan Budaya dan Pariwisata karena telah melakukan
penyalahgunaan penebangan pohon-pohon tua. Hal ini ditemukan setelah seorang
siswa berusia 19 tahun meninggal di Stanley disebabkan tertular oleh pohon yang
membawa penyakit.
·
Tidak ada kewajiban bagi
sekitar 200 badan public seperti rumah sakit, biro umum pemerintah, badan
kependudukan dan keuangan, untuk menyerahkan arsip-arsipnya ke bagian
preservasi arsip dan akses publik GRS. Tindakan badan-badan tersebut berdampak
negative pada penduduk dan harus segera diberi tindakan. Tanpa adanya hukum,
kesalahan yang sama dan pengendalian menyeluruh tidak akan terjadi.
·
Ketidakhadiran undang-undang
kearsipan, kebijakan tentang arsip dinamis yang dikeluarkan
Oleh
badan publik untuk kepala kantor, unit kebijakan umum, badan investigasi Hong
Kong, badan Keuangan dan ICAC, maka tidak aka nada arsip yang diserahkan kepada
GRS untuk kemudian diberikan penilaian atau dilakukan preservasi. Tanpa adanya
Undang-Undang kearsipan, arsip-arsip mengenai kejadian bersejarah seperti yang
terjadi pada tahun 1997 yaitu ketika reunifikasi Hongkong dengan Tiongkok dan
perkenalan system kementerian pada tahun 2000, dan bagaimana terminology
kepegawaian dan kondisi politik yang terjadi pada masa itu dan proses
pemilihannya tidak akan pernah dapat diketahui.
·
Akses arsip dinamis dan
statis hendaknya dikelola melalui peraturan tentang Arsip Publik Tahun 1972,
sebagaimana telah diubah pada tahun 1996, yang dikeluarkan oleh Sekretaris
Utama, dimana beliau mengeluarkan tentang penutupan akses arsip public bahkan
setelah habisnya masa periode 30 tahun. Tidak ada mekanisme apapun yang dapat
digunakan untuk melawan keputusan tersebut.
·
Fakta di lapangan
menunjukkan bahwa berdasarkan hasil audit yang dilaksanakan oleh Komisi Audit
menyebutkan bahwa kasus tentang penyalahgunaan pengelolaan dan kewenangan saat
ini telah meningkat drastis (Laporan
Nomor 57 Direktorat Audit- Bab 10: Manajemen Arsip Dinamis Departemen Pelayanan
Arsip Dinamis Pemerintah), dan GRS telah gagal untuk mengatasi hal ini.
Saat
ini arsip dinamis public Hong Kong dalam kondisi kritis. Sekarang saatnya bagi
pemerintah Hong Kong untuk segera menjawab tantangan ini atau tidak. Semoga
pemerintah Hong Kong tidak hanya mendengarkan tetapi juga mengambil tindakan
untuk mensahkan undang-undang kearsipan segera. Jika tidak, Hong Kong akan
segera berubah menjadi wilayah penduduk yang tidak memiliki memory, sejarah dan
budaya. Tidak ada masa depan bagi Hongkong!